Pukul delapan malam. Ia harus lembur. Tapi, tugasnya tinggal sedikit lagi selesai. Ia ke pantri untuk membuat kopi. Rasa kantuk dan lelahnya tak tertahankan lagi. Namun, tidur sebentar di meja pantri mungkin tidak apa-apa dan setengah sepuluh pulang ke rumah bersiap-siap lalu pergi lagi. Sepertinya boleh di coba. Lagipula kantor sepi. Apa hanya ia sendiri yang lembur? Sampai jalan kemari, ia tidak menemukan satu orang pun. Baguslah. Ia bisa beristirahat sebentar. Mengaktifkan alarm. Kemudian merebahkan kepala. Dan pikirannya langsung melayang ke alam mimpi setelah sepuluh detik ia memejamkan mata.
Bunyi berisik. Terasa familiar. Itu dering handphonenya. Lina meraba. Mengintip dari celah matanya yang mengantuk. Alarm pukul sembilan malam. Kenapa ia membuat alarm? Pukul sembilan malam lagi? Ah, ia ingat. Ia membuat ini untuk mengingatkan dirinya bangun. Menyelesaikan pekerjaan. Lalu pergi untuk kerja selanjutnya.
Lina mengerang. Astaga tubuhnya sangat lelah. Ia belum puas istirahat. Tapi, beban tugas terus berdatangan. Menghindari juga ia tidak punya saudara lain untuk berbagi beban bersama. Tidak ada jalan lain selain menghadapinya.
Lina akhirnya membuka mata setelah mengumpulkan niat dan menyemangati diri. Namun, ujian lain sudah ada di depan mata. Sepasang mata coklat paling gelap yang sampai hari ini membuat jantungnya berdebar. Menatapnya lurus dengan posisi sama-sama merebahkan kepala. Jarak yang begitu dekat. Cuma di pisahkan handphonenya di tengah-tengah mereka.
Bibir Lina terkatup. Ia seketika membeku. Benaknya sibuk mempertanyakan keadaan. Apa yang dilakukan Dito di sini? Kenapa dia ikut duduk di sebelah? Apa yang harus ia lakukan? Haruskah menyapanya lalu pergi? Atau pergi saja? Bagaimana cara mengatakannya? Bangun lalu menyapa? Atau menyapanya langsung?
"Aku minta maaf." Suara Dito yang mengalun dalam keheningan belum lagi perkataannya mengejutkan Lina.
"Kenapa anda minta maaf? Anda tidak salah apa-apa, Pak." Lina berusaha tersenyum yang berakhir cengiran aneh. Atau posisi mereka yang aneh?
"Aku hanya ingin minta maaf. Dan lagi, jangan memanggilku Pak. Kita hanya berdua di sini dan satpam."
Lina bereaksi diam. Kedekatan ini benar-benar mengikis akal sehatnya. Aroma parfum yang jantan. Deruh napas yang hangat. Dan bola mata itu sungguh membuatnya tersesat.
Dia tidak mengerti maksud Dito dan Dito pun tidak menjelaskan maksud permintaan maafnya lebih lanjut.
"Aku ingat, kita pernah seperti ini. Kamu yang tertidur saat jam kosong dengan posisi yang sama seperti sekarang. Dan aku memandangimu dengan meniru tingkahmu. Pipimu menggelembung tertekan meja juga memerah terkena cahaya matahari dari jendela.
Lina berharap waktu benar-benar berhenti. Membiarkan mereka hanya berdua. Dengan keheningan dan suara Dito yang mengalun pelan. Dia menatap pria itu yang tengah mengenang masa lalu. Menceritakan seseorang dengan binar kerinduan di matanya. Tentang seorang pada masa lalu. Seolah kenangan itu begitu berharga bagi Dito. Hati Lina membuncah.
"Teman-teman membuat lingkaran kelompok masing-masing. Keadaan begitu berisik. Ada yang langsung pergi ke kantin. Dan ada yang menjaga di pintu kelas. Para wanita membicarakan laki-laki yang di sukainya, dan pria-pria sibuk berduel dalam game. Walau Farhan menawariku game aksi terbaru yang digandrungi laki-laki saat itu, tapi helai ponimu yang sesekali tertiup angin mengusikku.
Lina ikut terhanyut dalam kenangan Dito.
"Aku tidak tau, mengapa mengamatimu terasa lebih seru daripada game-game hebat lainnya dan menghanyutkan daripada buku-buku best seller yang terjual berjuta-juta lembar. Saat itu, aku hanya ingin memandangimu sampai kamu terbangun ataupun lebih lama lagi tanpa aku tau bilangannya. Aku sudah tersesat terlalu lama. Hingga mengamati dari jauh tidak cukup untukku." Dito berhenti sejenak. Matanya kembali menatap mata Lina setelah lama berkelana ke mana-mana.
"Itu sudah lama berlalu," ucap Lina tak kalah pelan.
"Iya, sangat lama sekali." Dito menyanggupi. "Tapi, bagiku terasa seperti kemarin. Pandangan mata kita suka bertemu namun kamu selalu berpaling lebih dulu. Bahkan aku yakin, kamu tak sadar kita pernah dua tahun menjadi teman sekelas."
"Maaf, aku tidak ingat." Pandangan Lina turun. Kalah dari tatapan Dito yang terus berlabuh di wajahnya.
"Tidak perlu minta maaf, itu sudah lama berlalu." Dito mengembalikan kata-katanya.
Lina menggigit bibirnya.
"Jadi, kamu mau apa? Dengan mengungkit itu semua?"
Lina bernapas pelan saat tangan Dito memainkan ujung rambutnya yang menjuntai di pinggiran meja.
"Tidak ada, aku hanya ingin mengenangnya. Untuk sejenak. Bahwa aku pernah memilikimu." Matanya kembali menatap Lina. Kini tangannya sudah berada di pipi Lina. Menelusuri dengan jemarinya betapa lembutnya pipi itu.
"Dito." Pandangan Lina tersiksa.
"Jangan berbuat sesuatu yang akan kamu sesali nantinya. Hargai dirimu. Sayangi tubuhmu. Karena kamu harus mengingat, bahwa kamu... adalah hal paling berharga yang dimiliki seseorang."
Kenapa dia berkata begitu? Apa dia masih terpikir cerita Fiana yang melihatku di hotel? Ah iya, aku yang berbohong bahwa aku pernah bercinta dengan Arga. Jelas dia akan berpikir begitu. Dasar bodoh kau, Lina. Tapi, apa maksudnya seseorang?
"Kamu?" Lina mencetuskan pikirannya.
"Orang tuamu."
Lina merasa malu. Tentu saja! Dasar Lina bodoh!
"Tapi, kamu pernah menjadi pusat duniaku. Dulu," lanjut Dito.
Dito berlalu meninggalkan Lina yang kaku. Walau kata-kata itu tidak memiliki makna bagi Dito, tapi berefek semu pada pipi Lina. Dadanya mengembang teringat bahwa dirinya pernah menjadi satu-satunya ratu di hati Dito. Meskipun kata terakhir Dito, sekali lagi menghapus kebahagiaannya secepat dia datang dan secepat itu pula lenyap.
***
29324
Ayo tekan bintang dan komennya ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)
Romance*Seluruh hak cipta karya ini dilindungi undang-undang Lima tahun yang lalu, Dito adalah siswa miskin di kelasnya dan Lina adalah anak berkecukupan. Masalahnya, Dito sudah memendam lama perasaannya pada Lina. Berkat suruhan Gina -temannya- dan kasiha...