21.a

273 41 8
                                    

Acara outbound telah selesai dua hari yang lalu. Kini mereka kembali masuk kantor dan menekuni kewajiban sebagai karyawan. Di mana Lina harus menerima panggilan telepon, mengarsip dan merekap data yang masuk, pengiriman dan penjadwalan surat atau email, mengelola dokumen kantor, dan melakukan input data yang diperlukan.

Entah kenapa sejak kejadian di outbound, ia semakin sering melihat Dito di sekitarnya. Termasuk sekarang, lagi-lagi pria itu bersama Fiana. Dan lagi-lagi dengan bodohnya Lina ada di antara mereka berdua.

"Oh ya, apa aku boleh bertanya sesuatu? Sebelum aku lupa. Itupun kalau di bolehkan."

Lina merasakan perasaan tidak nyaman. Seakan ia bisa menebak pertanyaan Fiana karena pasti tidak jauh-jauh dari masa lalu yang ingin di kuburnya. Tapi, menolak tidaklah sopan. "Iya, boleh."

"Aku agak minim tentang percintaan. Ayahku suka protektif jadi tidak banyak laki-laki yang mendekatiku. Bahkan pacaran pun aku belum pernah."

Dito menggumam terkejut dan sorot matanya seakan mengatakan, sungguh? Kok aku ragu ya...

Fiana menampar lembut lengan Dito yang fokus menyetir. Ia berkata dengan suara lantang dan pipi yang merah, "Iya, sumpah. Aku tidak pernah pacaran. Ini semua karena ayahku. Tiap laki-laki yang mendekatiku pasti dijumpai ayahku juga. Entah sepengetahuanku ataupun tidak, dia bertanya banyak hal sehingga banyak laki-laki yang mundur. Termasuk kamu, untung kamu tidak pergi dan sekarang selalu disampingku sekarang. Berarti kamu sudah lolos dari ujian ayah."

"Aku?" tanya Dito yang tiba-tiba ikut masuk ke daftar list. Bingung. Alisnya menukik. Namun, Lina sulit mengartikan reaksi laki-laki itu apakah candaan untuk membuat Fiana kesal saja atau benar-benar tidak tau. Tapi, itu semua tidak penting. Ucapan Fiana membuat tatapan Lina turun. Memandangi sepatunya.  "Aku kerja di perusahaan ayahmu, Fiana. Dan aku tidak mengenalmu saat melamar maupun menjadi karyawan. Baru ketika manajer ini."

"Iya, tapi pasti setiap laki-laki di sekeliling ku di uji ayah dulu. Lagipula aku sudah tau ketika kamu karyawan ayah, cuma hanya sebatas mengamati saja."

"Apa ini? Kamu mengamatiku sejak dulu? Apa ini ungkapan rasa suka terselubung?" Dito tertawa kecil apalayhi melihat Fiana bersikeras menyangkal meskipun tak bisa menutupi semu merah di pipinya.

"Tidak! Jangan... jangan salah paham! Aku melakukannya ke semua karyawan ayah kok."

"Oh, aku percaya." Tapi kerlingan jahil dan senyuman jenaka itu seakan mengatakan sebaliknya.

Pipi Fiana bertambah merah hingga menjalar ke telinganya.

"Dito, kamu menyebalkan."

Dito tergelak. Sementara mereka di depan sana sibuk dengan pelangi-pelangi cerah di sekeliling mereka. Lina yang merasa salah tempat dan terlupakan memilih memalingkan wajah dan mengamati mendung gelap di luar sana bagai menunjukkan isi hatinya saat ini. Ia berjanji dalam hatinya, meskipun hujan batu di luar sana ia tidak akan naik mobil Dito lagi.

Harusnya tidak ku terima tawaran tadi. Kenapa aku tidak pernah belajar dari pengalaman sih?

***
12324
Ayo tekan bintang dan komennya :)
Di karyakarsa sudah bab 38 :)

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang