Suasana setelah itu berganti canggung atau bahkan dingin untuk Lina. Kadang-kadang jika mereka saling melewati di jalan atau berada di satu ruangan, Lina menunduk memerhatikan jalan dan Dito benar-benar menganggapnya seperti orang asing. Meskipun dulu ia yang selalu tampak berpura-pura tak kenal kini diperlakukan sama ternyata rasanya tidak menyenangkan.
"Lina, ayahmu minggu ini bakal cuci darah. Kamu punya uangnya, Nak?" tanya Ibunya di seberang telepon.
Ah, ia lupa jadwal kontrol Ayahnya. Lina mengecek kalender di hpnya, ternyata sebentar lagi. Ia mengusap wajahnya bingung. Dia baru beberapa minggu kerja di sini, apakah mungkin bisa diminta duluan? Tabungannya habis. Karena jeda menganggur waktu itu. Ia hanya punya satu lembar seratus ribuan untuk bertahan dua minggu lagi.
"Aku belum gajian, Bu. Tapi, akan ku tanya apa boleh diminta di muka." Ia akan coba. Setidaknya harus mencoba, kan? Disambil dengan usaha lainnya.
"Iya, Nak. Tidak apa-apa, jangan dipaksakan. Kamu jaga kesehatan di sana dan makan teratur. Kalau nggak ada, nanti ibu pinjam sama Keluarga ayahmu."
Lina refleks menggelengkan kepala. Tau ibunya tidak melihat, ia lantas berbicara lebih mantap, "Jangan Bu. Aku akan usahakan sampai dapat. Ibu jangan kesana lagi. Sudah cukup mereka menghina kita. Pokoknya jangan datang tanpa sepengetahuanku."
Setelah mengucap salam dan memberi nasihat pada anak semata wayangnya, panggilan terputus. Lina menyandarkan kepala pada kaca pembatas gedung dimana ia sekarang tengah duduk di tangga darurat lantai delapan. Memejamkan mata putus asa. Rasanya ingin menangis tapi ia dipaksa untuk kuat. Menyangga kepalanya dengan sebelah tangan dan sesekali mengurut pelipis. Sungguh tidak tau harus bagaimana mendeskripsikan betapa kusut benaknya. Masalah demi masalah seakan berdatangan. Belum selesai satu datang lagi masalah lainnya.
Ia memilah-milah kontak handphone. Berharap pada manusia kadang-kadang memperoleh kecewa tapi untuk sekarang ia tidak tau harus meminta tolong pada siapa lagi. Ia tidak mungkin merepotkan Gina lagi. Sudah terlalu banyak. Memasuki dirinya ke kantor ini, meminjami pakaian, bahkan hutang ia pinjam belum lunas. Tidak mungkin ia meminta tolong pada Gina lagi. Ia pasti punya kebutuhan lain.
Ia tidak akan sepusing ini jika hanya mencuci darah. Tapi, biaya obat ayahnya yang habis dan hutang-hutang lain, tidak akan cukup jika seandainya gajinya boleh di cairkan di muka.
"Hai, Hana," sapa Lina begitu panggilannya di jawab. Menghubungi siapa saja yang ia kenali dulu dan cukup dianggap baik di matanya.
"Siapa ya?"
"Ini aku, Lina. Teman kampusmu dulu." Lina mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Ia sesekali menggigit bibirnya gelisah.
"Oh, Lina. Kenapa? Tapi maaf ya yang pesanmu waktu itu belum ku balas. Kantorku sedang tidak butuh karyawan malah sebagian ada yang di pecat. Jadi belum menerima lowongan."
Oh, iya ya. Ia pernah mengirim pesan pada Hana untuk menanyakan lowongan di tempat kerjanya. Sudah berapa lama pesan itu yang bahkan sudah terlupakan olehnya. Tapi, berhubung ia memiliki kebutuhan mendesak lainnya, ia mengesampingkan dulu hal itu.
"Oh, aku... bukan menanyakan itu. Apa kau ada acara minggu ini?"
"Minggu ini tidak ada. Ah ya, sebentar! Lina, maaf. Aku sedang sibuk. Kerjaan sedang banyak. Kita ngobrol lain kali ya."
"A---"
Klik. Memang ramai sih tadi suara di sekitar Hana. Mungkin dia memang sibuk. Pikir positif, pikir positif, pikir positif, jangan menyerah dulu.
***
17324
Ayo tekan bintang dan komennya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)
Romance*Seluruh hak cipta karya ini dilindungi undang-undang Lima tahun yang lalu, Dito adalah siswa miskin di kelasnya dan Lina adalah anak berkecukupan. Masalahnya, Dito sudah memendam lama perasaannya pada Lina. Berkat suruhan Gina -temannya- dan kasiha...