20.c

244 42 11
                                    

"Ayo."

"Apa?" tanya Lina bingung.

"Mencari rumah sakit atau puskesmas. Kita pakai mobilku. Semakin di biarkan lama, maka lukamu bisa kena infeksi."

Tak ada gunanya keras kepala karena ini menyangkut masa depannya. Jika ia terus keras kepala, ia bisa saja kehilangan tangannya. Lebih buruknya diberhentikan, tidak ada perusahaan yang mau menerimanya lagi, dan hutang-hutang yang harus dilunasi. Ini bukan waktunya memikirkan harga diri.

"Tapi, tidak ada Gina." Pandangan Lina mengedar ke sekitar. Ke mana saja Gina? Kenapa lebih dulu Dito mengambil kotak obatnya?

"Apa aku tidak cukup? " Tatap Dito.

Lina memilih menatap sendal jepit yang dipakai Dito sore ini.

"Lagipula... Gina sedang sibuk," gumam Dito lagi dan berhasil membuat mata Lina membalasnya. "Ayo."

Melihat Lina masih bergeming. Dito menarik lengan Lina yang tidak sakit dan menuntunnya ke arah mobilnya yang terparkir.

Suasana mobil yang hening terpecahkan karena pertanyaan Dito yang sudah di lupakan Lina.

"Di dapur waktu itu, apakah kamu sedang lapar dan mengganjalnya dengan buah-buahan itu?"

"Puskesmasnya dimana sih? Tidak jauhkan?" Lina balik bertanya untuk mengalihkan pertanyaan.

"Yang menitip makanan itu, bohongkan? Apa paginya kamu makan? Kenapa tidak meminta tolong padaku?" Nampaknya Dito belum menyerah. Lina menghela napas. Lalu menoleh lelah.

"Lalu apa? Tiba-tiba aku datang dan mengatakan 'Hei, Dito. Aku teman SMA mu yang di teriaki barusan. Bisa aku minta tolong? aku belum makan. Bisa aku ikut menitip nasi bungkus yang jual di gerbang depan?' Sementara Fiana di restoran mewah. Dan orang-orang akan berkata cuman karyawan baru menyuruh Manajer hanya karena dia mantan teman SMAnya. Apa dia tidak punya malu?" Lina benar-benar memperagakan nada suara dan argumen orang-orang yang merendahkannya. Lalu menatap Dito sangsi.

Dito melirik disela-sela menyetirnya saat Lina menyambung kalimatnya kembali.

"Kamu ingin aku melakukan apa? Benar, katamu. Aku hanya masa lalumu. Apa hakku? Kamu dan aku tidak sama lagi. Kita berbeda. Dan sekarang tak lebih hanya mantan kekasihmu yang tidak penting." Mengatur napas, Lina menatap reaksi Dito yang diam.

"Aku sudah terbiasa dengan rasa malu ini bahkan menebalkan wajah setiap hari sampai aku muak dengan diriku sendiri dan keadaan. Tapi, aku tidak bisa menolak. Aku harus menerima dan menjalankan hari-hariku. Aku pembohong. Aku membohongi orang di sekelilingku. Entah siapa yang ku bohongi mereka atau diriku sendiri dengan mengatakan baik-baik saja padahal sebaliknya. Haruskah aku memperlihatkan kerapuhanku? Lalu siapa yanh peduli?" Lina memalingkan wajahnya. Air matanya tak bisa di bendung lagi. Ia berusaha menghapusnya secepat mungkin tapi air mata itu tetap jatuh menelusuri pipinya. Suaranya mulai parau dan tersendat. Bahu bergetar dan berusaha menahan isakan yang mulai lolos dari bibirnya.

"Kenapa juga aku mengatakan hal bodoh ini... " Sesalnya pada diri sendiri. Namun, mampu di dengar Dito yang telah menepikan mobilnya.

Dito menyodorkan sapu tangannya. Tidak di ambil Lina. Pria itu berinisiatif menghapus sendiri air mata Lina yamg segera di tepis pemiliknya dan bodohnya Lina menepis menggunakan tangannya yang terluka. Ia mengaduh kesakitan karena terantuk setir.

Dito panik. Ia melepas sabuk pengaman dan hendak memeriksa tangan Lina.

"Jangan pegang!" bentak Lina tajam.

Dito mengangkat kedua tangannya di udara. Tanda menyerah seraya menghembuskan napas. Berbicara sesabar dan selembut mungkin. "Ok, baiklah. Tidak pegang. Tapi, ayo keluar dan kita obati lukamu itu agar tidak sakit lagi. Kita sudah sampai di puskesmas."

Lina mendongak dan bangunan puskesmas itu berada di depan mereka. Tanpa melihat Dito, Lina segera membuka pintu dan berjalan kesana.

"Apanya yang beda. Tetap keras kepala." Ujar Dito pada dirinya sendiri. Sepertinya ia butuh stok sabar yang lebih banyak.

***
11324
Ayo tekan bintang dan komennya :)

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang