Prolog a

1.1K 54 3
                                    

Lima Tahun Yang Lalu.

"Aku lihat, akhir-akhir ini kau dekat dengan Dito. Kalian pacaran?" tebak Putri.

Lina langsung gelagapan. Terkejut bahkan telepon lipat yang tengah ia genggam nyaris jatuh.

"Kau pacaran dengan Dito? Yang benar?" Viona tak kalah kaget. Gadis itu menjeda kegiatannya yang sedang memasukkan poninya ke rol pengeriting rambut.

Gina memilih diam. Berpura-pura membalas pesan pacarnya saat Lina melirik dirinya.

Saat ini, tengah jam kosong. Guru yang bertugas berhalangan hadir sehingga kelas tampak ribut. Mereka dibolehkan ribut di kelas asal jangan keluar kelas jika tidak ingin disuruh mencatat. Makanya Dito tetap di kelas. Pria itu tengah menelungkupkan kepala ke lipatan lengannya. Mungkin tidur.

"A--aku... " Lina meneguk ludah gugup. Putri dan Viona menunggu jawabannya.

"Kenapa kalian bisa berpikir seperti itu?" tanya Lina akhirnya berusaha menghindar.

"Karena aku sering melihatmu pulang bersama dengan Dito satu angkutan umum, " jawab Putri.

"Satu angkot bukan berarti ada hubungan, kan? Lagipula, anak-anak lain juga naik angkot bukan hanya kami saja." Jemari-jemari Lina bergerak gelisah di bawah meja.

"Iya juga, sih." Putri mengendikkan bahunya, ia melirik Lina kembali, " Takut saja, kau yang tidak pernah pacaran, tiba-tiba mendapatkan pacar pertamamu yang jauh dari standar. Cukup Gina saja yang dibutakan pria sederhana. Kau jangan," ujar Putri mewanti-wanti tangannya menggoyangkan BlackBerri yang sedang eksis saat itu.

Di kelas itu hanya beberapa siswa yang memiliki handphone dan pastinya di kalangan mampu secara ekonomi.

Dan Lina, masuk ke dalam geng yang rata-rata anak berduit. Tapi, hanya Gina yang lebih dekat dengannya. Dia tidak tau, awal masuk ke kelompok ini. Seolah ada kotak-kotak transparan yang membuat siswa berkelompok menurut standar ekonomi mereka.

Putri tak berhenti pada ucapan sebelumnya. Ia masih melanjutkan petuah lainnya yang agak nyelekit jika sampai terdengar orang lain. "Pacar Gina sederhana. Sedangkan Dito itu serba kurang. Jangan pacaran dengan cowok kere, nanti diajaknya susah terus. Apalagi kalau dia punya sifat suka memanfaatkan. Tambah bahaya itu. Masa ngedate, tapi traktirannya gantian. Itu modus kalau kurang duit. Jauh-jauh dari cowok seperti itu."

Gina yang merasa termasuk ke dalam perkataan Putri menyipitkan matanya. Menatap Putri yang masih berlagak santai.

"Mending sederhana, awet. Dibanding gonta-ganti pacar dan yang satunya lagi putus-nyambung-putus-nyambung. Gantian traktir itu karena aku sendiri bukan Roy yang minta." Akhirnya Gina membela dirinya.

"Coba pikir ya Gina. Kelompok kita itu sudah terkenal di kelas bahkan sampai keluar kelas. Nggak ada anak sembarang yang bisa masuk ke kelompok kita. Ayahku, Tentara. Ibu Viona, Manajer Perusahaan. Ayahmu, Dokter. Lina, ayahnya punya bisnis dan ibunya karyawan di suatu perusahaan. Lihat, kita ini kelompok elit. Harusnya standar kita juga tinggi. Jangan merendahkan diri sendiri dengan menerima sembarang cowok yang nggak jelas asal-usulnya," balas Putri. Gina menghela napas jengah.

Viona tidak tau apa yang harus ia lakukan memilih mengangguk. "Aku setuju dengan Putri."

Putri berbalik ke Lina, menatapnya lekat, "Kasihan jika kau harus terjebak dengan pria yang salah, Lina. Jangan menghabiskan waktumu untuk pria-pria seperti itu. Kata ibuku, cinta tidak membuat kenyang. Jadi harus gunakan logika."

***
5 1 24

Tolong tekan bintang dan komennya :)

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang