Sejak kedatangan Juni beberapa saat lalu tatapan ketiga cowok dikeluarga ini sinis dengan tamu dirumahnya. Cowok itu sekarang tengah membereskan barang-barannya di kamar tamu dengan malvia sedangkan disana mereka berbisik satu sama lain juga ada papanya di sofa lain sibuk berkutat dengan laptopnya.
Kavan yang pikirannya curigaan, Papa itu brengsek menurutnya lalu membawa remaja seusia mereka. Kavan menggagguk-angguk yakin dengan pikirannya.
Abian mendekati adiknya berbisik, memberikan tambahan percikan api didiri adik bungsunya. Azoya juga Beta yang kembali duduk menyambut tamu tidak diundang itu juga mendengar apa yang dibisikkan kakanya itu.
Mereka duduk satu sofa panjang yang sama. "Jangan jangan anak haram papa lagi. Wah, wah, gawat, nih. Jatah warisan kita bisa-bisa jadi bagi empat."
Azoya mengerutkan alisnya mendengar tuturan Abian yang agak membinggukan." Loh, kok, bagi empat, bang? Pan, harusnya bagi lima, kan?"
"Yah, cewek, mah, gak ada hak gitu-gituan. Jadi loh kagak kebagian," balas Abian enteng dengan wajah mengejeknya disertai anggukan yang lain.
"IHHHH, MANA PATEN!!"
Azoya kelepasan berteriak lantang, ketiga saudaranya melototinya tidak ia hiraukan. Papa mereka yang tadi sibuk dengan laptop mendongak kearah meraka. "Kenapa, Zo?"
Abian juga Kavan memicingkan mata mengancam. Tidak lupa juga dengan injakan kencang dikakinya dari Beta disebelah.
"Ini, loh, papa! Katanya, Zo, gak bakal dapet warisan. Soalnya, Zo, cewek. Gak adil banget, kan? Gitu, mah, mending ganti kelamin aja, lah!!" cerocos Azoya blak-blakan.
Mereka mengumpat dalam hati benar benar pelu dikasih pelajaran. Mungkin nanti Kavan bakal meng-riset smartphone Azoya sehingga cewek itu meraung sebab kehilangan foto cowok-cowok yang katanya ganteng. Foto itu Azoya ambil secara diam saat tidak sengaja ketemu, dengan harapan salah satu atau dua tiga itu jodohnnya.
Alga tertohok mengetahui apa sedang asik mereka bisikan. Menatap masing-masing seperti mengintrogasi. "Heh! Papa masih hidup sehat wal Afiat gini pada bahas gituan. Gak ada warisan-warisan! Umur papa panjang."
"Yaelah, Pa. Itu, mah, gampang. Racun tikus, sianida ada, noh dibelakang. Bisa jadi alternatif mudah juga murah. Otw, cair deh, bagian Kavan."
Alga berdiri berkacak pinggang menghadap meraka, rahangnya mengeras. Sedangkan mereka tidak ada takut-takutnya, meskipun kedua orang tuanya megomel sampai berdenging kedengerannya ke depan komplek semuanya hanya mangut-mangut.
"Bagian kamu gak ada. Papa kasih ke Eka, kucing piraan Mama. Julid terus kerjaannya, sana minta tetangga."
"Yahhh, papa!! Kavan, kan, cuma bercanda. Lagian, Papa, mah, gak ngasih uang cukup buat perawatan biar bisa ke Korea. Om Fian, mah, katanya temenan sama siwonnn! Pasti, debut, dah, jalur orang dalam."
Bukannya minta maaf atau merasa bersalah remaja lima belas tahun itu menghentakkan kaki, memandang Alga penuh permusuhan lalu membuang muka.
Ia dengan asal masuk kamar Azoya, membanting pintu kencang. Padahal ia sendiri yang suka julid juga sensitif, tapi pas dibalas malah ngamuk-ngamuk seolah yang paling tersakiti.
Belum selesai dengan Kavan yang labil sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari Anak sulungnya.
"Papa gak ada tanam benih, di tempat lain, kan?"
"Apaan, lagi juga, nih!"
Sekali lagi Alga heran dengan anaknya. Ia menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa, melanjutkan memainkan geme angry bird di laptopnya. Dari pada melandeni anak, sama saja menghitung kendaraan lewat dijalan raya. Selain tidak ada habisnya juga kurang kerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
STOP SINGLE(Tahap Revisi)
Fiksi Remaja"Jomblo itu kenyataan bukan keinginan." Saat memasuki masa remaja, Azoya bertekad untuk berhenti dari status jomblo. Yang jadi masalah, meskipun hati dapat menerima siapa saja asal tampan dan enak dipandang, tidak ada satupun cowok yang mendekat ber...