6. Pindah

158 128 4
                                    

"Papi! Papi! Tau gak?! Itu loh si-Nora, temen sekelas aku! Tinggal ke kampung sebelah gegera rumahnya bekas pesugihan!"

Alga, kini duduk di kursi teras rumah dengan kaca mata tergantung diujung hidungnya. Tangan menggenggam koran, diturunkan. Membalas tatapan anaknya yang kini duduk disebelahnya.

Sebelah alis pria paruh baya itu naik keatas, mimiknya wajahnya tampak penasaran dengan kelanjutannya cerita." Terus?"

Azoya kedua tangannya, bersiap kembali bercerita dengan wajah riang. Mulut cewek sudah terbuka siap mengeluarkan banyak kata, tapi Alga memotong seenaknya.

"Harus Papi bilang Wow gitu? Woww," canda Alga menjahili.

Azoya menghentakan kedua kakinya, ia sedang serius disela." Ihh, Papi, ih! Ngeselin!"

Alga tidak bisa menahan tawa mendapati Azoya, ia menutup lembaran kertas itu, meletakan disisi meja dan fokus meladeni cewek berambut sepinggang dengan outfit serba merah muda. Benar-benar nyentrik dimata Alga.

"Yaudah kenapa? Mau pindah juga?" jawab Alga bertanya.

Azoya mengacungkan kedua jempol setuju dengan kepala terus digerakkan atas bawah beberapa kali saking senangnya.

"Hooh, pindah, yuk, Pi! Dikomplek sebelah, tuh, asoyy! Kampung cogan semua! Bening, mulus! Lah, disini? Udah bikin sakit mata, brengsek lagi. Kek, Abang," jawabnya mantap.

Abian yang tengah menyiram tanaman didekat mereka berbalik menghadap Azoya, melototi-nya.  "Heh, apa bawa-bawa gue?!"

"Hehe, enggak, becanda, bang. Abang ganteng biarpun pengguran."

Cewek itu menyengir memperlihatkan dua jari kepada kakaknya yang tampak tambah garang dengan mata bulat menyorotnya. Ais, seperti preman saja.

Mulut Abian berkomat-kamit mengejek dalam benaknya. Kembali melakukan rutinitas paginya, menyiram berbagai kebun pekarangan miliknya dari pada meladeni Azoya yang mulutnya suka mencari ribut dipagi buta. Raut cewek itu jadi kusut karna Abian tidak mau berdebat dengannya. Padahal, kan, mengasikkan.

Tangan Alga menggapai gagang cangkir berisi teh dimeja, menyerupnya nikmat. "Dapat hoax dari mana coba? Rumah Nora itu di-renovasi. Lagian ngapain kita ikutan pindah juga? Rumah masih sehat wal Afiat gini. Mami, biarpun galak masih bisa dipake. Gak perlu ganti, lah, kayaknya."

"Apa ganti-ganti?!"

Alga terasa  menjerit saat telinganya dipulas kencang seseorang dibelakang sana. Wanita itu megang sapu disebelah tangannya."Akhh!! Yang! Yang! Copot telinga aku ini! Aduh, Mamii!"

"Memiii! Ngomong apa tadi, hah?!" Malvia memekik tetap didepan telinga suaminya. Tidak daun telinganya yang dibuat nyeri namun gendang telinga terasa amat berdenging sampai tubuhnya ikut merinding.

"Aduh, duh, duh, Yang! Ampun, Yang! Bercanda, doang, tadi, kok! Huaa, Zo, tolong papaa!"

Pulasan itu semakin terasa kencang, Alfa menjerit meminta pertolongan anaknya. Tapi, Azoya malah sibuk memakan cemilan dimeja juga menyeduh teh berlakon seperti Ayahnya. Abian tidak jauh berbeda, ia malah berhenti menyiram tanaman, keasikan menyoraki agar mamanya lebih kencang lagi.

"Yok, Ma, tambah volume-nya lagi. Abi, bantu doa! Mangat 69!" tukas Abian semangat. Alga melotot tajam kepadanya barulah mulutnya cowok itu terkantup.

"Ma! Ma! Tar, uang bulanan naik, deh! Dua kali lipat, ya!!" Alga membujuk dengan iming-iming, sudah bibir cewek tertarik bersamanya cekatan ditelinga alga terlepas lalu berbalik masuk tanpa rasa bersalah.

"Ah, gak asik, ih, kok, udahan." Azoya juga Abian tercengang melihat kedua orang tua tidak jadi bertengkar karna tawaran papanya. Pria itu megelus telinga memerah, wajahnya yang tampak menyedihkan membuat dua saudara menahan tawa.

Azoya menepuk pundak Ayahnya, rautnya tampak memahami kesakitan-nya." Jadi pindah rumah gak, Pi? Biar mata seger. Dikelas udah pada dekil-dekil, terus dirumah, ya, gitu. Juki, suka nyengir sendiri. Abang Adit yang suka godain, Zo, bininya otw delapan. Asep tetangga sebelah kumis tipis, suka nyekap cewek dikamar. Persis Abang!"

Kamu tuh, yah..." Alga mengelangkan kepalanya. Jangan terlalu berharap dengan Azoya atau anaknya yang lainnya begitu faktanya. Sumber pening kepala. Alga menuang teh di wadahnya ke cangkir, kembali menghirupnya santai mengabaikan mereka.

Pukk

Sebuah gayung melayang tepat kearah Azoya, cewek itu diam sambil memasang wajah mengejek. lemparan itu jauh melewatinya. Abian mengambil sebuah batu, melambung-lambungkan." Ngajak debat loh! Gue mulu!"

Azoya sontak berdiri, menahan pergerakan Abian dengan kedua tangan direntangkan kedepannya. Waspada.

"Yay, yah, gak asik main kasar. Yaudah, deh, Zo, ngebual!  Abang baek gak suka begitu!" sosor Azoya panik. Namun bukan Azoya namanya kalau mengalah." Paling di kosan mas Bagas ngegay! Weee ketauan!"

"Gue sekap juga loh! Terus minta tebusan!" Abian mengubah tatapannya dingin menyeramkan. Alga menyerit tajam sehingga cowok itu berhenti menakuti Azoya. "Yay, Papi, mah, gak asik. Duit tebusan, tar, buat bahagia papi padahal."

Azoya tadi awalnya berlidung disamping papi-nya, takut melihat wajah Abian balik terbahak menertawakan cowok itu. Wajah Abian kecut, ia mengambil tongkat sapu, menyapu asal dedaunan. "Bilein tiris impi, Bi, jinggitin," decak Abian pelan.

Sedangkan Azoya masih mengganggu Alga, hari Minggu bukan tenang malah sudah dicerca pertanyaan gila anaknya. Alga memijit pelipisnya." Udah, Zo, papa pening. Juni, kan, ada. Liatin aja ampe minus. Gak usah kelayapan ke kampung sebelah nyariin si-tukang ikan cupang itu."

Azoya berdecak mendengar tuturan Alga. Melontarkan alasan lain." Juni, mah, kaku, Pi! Masa, yah, pas, Zo, tanya duluan telor apa ayam, dia malah jawab Ayam. Padahal, kan, yang bener dinosaurus dulu! Meteor jatuh terus jadi telor ayam. Andai jadi cogan, Zo, gak sengsara."

Cewek itu menampilkan ekspresi sedihnya, berkaca-kaca." Papi mau anak semata wayang ini jadi perawan tuaa!!"

"Zo, umur kamu baru 16 taon! Jangan banyak halu, tar, Papi malu!"

Habis sudah kesabaran Alga. Ia menolak keinginan cewek itu dengan nada tegas. Cewek itu diam kaku, menunduk dengan kedua matanya luruh butiran bening.

Kaki-kakinya beranajak dari tempat, berjalan kedepan sambil mengusap wajah dengan lengan baju merah muda. " Gak, ih. Gak ada yang mau, Zo, bahagia. Zo, hidup tanpa jodoh ampe tua huaa! Jahat! Termaksud Abang!"

Cowok yang tengah menyapu itu menegakan badannya. Proses, dia selalu dibawa bawa. "Apaaan!"

Saat hendak keluar gerbang cewek itu berpapasan dengan Juni yang datang dari luar. Ia mengenakan seragam basket tanpa lengan juga sebuah bola ditangan. Latihan dilapangan kota yang tidak jauh dari sana.

"Mau kemana, Zo? Gue temenin, yah?" tawar Juni ramah.

Tidak mendapat jawaban, cowok itu mendekat penasaran melihat Azoya dengan dera air mata tapi Azoya mendorong Juni sampai mundur kebelakang. Hampir tersungkuk, raut wajah kaget dengan apa yang Azoya lakukan.

"Bacot! J-juni sama aja! Gak, ngerti, Zo!" sahutnya terbata-bata. Suaranya parau.

Ia berlari ke arah lain, Juni yang sudah menegakan tubuhnya memandangi  punggung Azoya mejauh. Jelas dia khawatir. Menarik langkah berat memasuki are tempat tinggal sementaranya.

"Zo, kenapa, Om?" Juni bertanya, saat menemukan Alga juga Bian santai diteras.

Pria paru baya itu mengedikan bahu acuh. "Biasa kebanyakan pikiran. Lebay emang."

"Yaudah, Juni masuk dulu," ucap Juni. Alga mengaguk kepalanya baru cowok remaja itu beralih dari tempatnya.

Langkahnya lebarnya terhenti, masih memikirkan sikap Azoya padanya. Perkataan cewek itu enah kenapa mengganggu pikiran Juni, harusnya Azoya tertawa menyambut kedatangannya dengan senyum semringan seperti biasa, bukan mengabaikan. Cowok itu mengacak-acak rambut gusar. Kenapa dengannya? Tidak biasa ia begini.

"Ais, gue kenapa! Udah, lah. Mending mandi," putus Juni. Berjalan menuju kamar mandi, menarik kasar haduh tergantung di luar. Lalu memasuki ruangan itu untuk mendinginkan kepala.

STOP SINGLE(Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang