Istighfarnya Ustaz Rizqy

120 4 0
                                    

PoV Ustaz Rizky

"Kenapa kau datangkan  santriwati yang seperti Keenan, Ya Allah," tuturku di sepertiga malam.

"Apakah kau sedang menghukumku ya? Untung saja dia hanya sekedar santriwati, bukan seorang istri," ocehku tak henti-henti.

"Kalau seorang istri mungkin aku sudah gila tiap hari menghadapi sikapnya Ya Rabb, sungguh satu hari saja aku lelah, apalagi seumur hidup," keluhku berkali-kali, seraya tanganku terus menengadah ke langit.

"Astaghfirullah, Rizky! Sabarkan hatimu, mungkin dia datang hanya untuk menguji mu saja," ucapaku menenangkan diri sendiri.

***

Pagi tiba, menyapaku disela-sela kantuk yang menerpa, aku tepis rasa kantuk itu, lalu bermunajat ke Sang Pencipta, lewat salat subuh berjamaah di masjid dekat rumah. Adzan berkumandang, tanda salat subuh akan segera dilaksanakan, tapi seperti biasanya, seorang iqomah tidak langsung melafalkan iqomahnya, sebelum seorang imam masjid datang. Siapa lagi kalau bukan aku yang menjadi imamnya.

"Allahuakbar,"

"Sami Allahuliman Hamidah."

Rangkaian salat tertata sebagai mestinya, hingga rakaat terakhir tiba.

"Assalamualaikum warahmatullah,"

"Waalaikumussalam warahmatullah," ucap Keenan, yang tiba-tiba suaranya terdengar sampai ke tempatku sebagai imam.

Setelah usai salat, para santri tertawa riuh, hingga membuat suasana masjid terasa gaduh.

"Keenan!" Panggilku tegas, disela-sela kegaduhan.

Suasana yang asalnya ramai, menjadi tenang kembali, karena para santri segan terhadapku, jangankan suaraku, mendengar aku berdehem saja, mereka sudah ketakutan. Namun anehnya, ada salah satu santri yang tidak takut, malah dia selalu ngajak ribut, ya si Ukhty Barbar.

"Iya kenapa wahai imam?" Tanyanya lugu.

"Akan saya beri pelajaran kamu!" Tegasku kesal.

"Ndak papa, nanti kita belajar bersama ya, ustaz," tuturnya yang tidak paham.

"Astaghfirullahaladzim, Keenan Keenan," ucapku lirih.

Belum juga sepekan aku sudah pusing tujuh keliling, mengurus si Keenan seperti mengurus santri seasrama, bahkan lebih dari itu. Namun, aku harus sabar untuk menghadapi sikapnya, ditambah dia santri baru, yang belum paham betul ilmu Agama.

Seusai salat berjamaah, aku menghampiri ustadzah Marwah.

"Ustadzah, tolong bimbing si Keenan, kasih dia pemahaman tentang Agama, supaya tingkahnya gak kayak tadi lagi pas salat subuh, masa imam salam, malah dijawab salamnya sama makmum, kan gak lucu," tuturku.

"Haha, iya deh ustaz siap nanti saya akan didik tuh anak, Insyaallah," ucap ustazah seraya tertawa geli.

"Bagus ustadzah, nanti kalau nakal lapor lagi ya ke saya, biar saya hukum tuh anak sampai jera," ujarku seraya balik badan meninggalkan ustadzah Marwah.

"Siap, ustaz."

Aku tak henti-hentinya memikirkan kejadian pas salat subuh tadi, perasaanku campur aduk, antara kesal, marah, tapi sedikit konyol juga, karena baru pertama aku punya santri yang seperti itu, banyak tingkah, banyak gaya, dan tidak ada sopan santunnya.

Sebuah ruangan yang sederhana, tidak ada kursi dan tidak ada meja, hanya ada amparan berwarna abu muda, ditambah foto para habib yang terpajang indah di dinding. Se dus aqua gelas tersimpan rapih di sudut ruangan, dan aneka makanan berjajar ditengah-tengah ruangan. Sebut saja ini ruang tamu, untuk menjamu para wali santri yang datang ke rumahku.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang