Sudah tiga bulan kami di kota ini, dan tiga bulan juga usia kandunganku. Alhamdulillah, rasanya aku sangat bahagia, tapi ada sedikit duka, aku belum siap merindu, ya merindukan kota tercinta. Aku harap bisa kembali lagi ke kota ini, kotanya seribu wali.
Aku mengusap perut yang masih datar, ntah di usia berapa bulan perut ini akan membesar, rasanya aku tidak sabar. Menantikan buah hati, tinggal menunggu beberapa bulan lagi. Terima kasih ya Rabb.
"Nak, ingatlah kita pernah ke kota Tarim Hadramaut Yaman, yang di mana di kota ini penuh dengan keberkahan, karena itu umi harap kau tumbuh menjadi anak yang shalih-shalihah ya," lirihku seraya mengelus perut dengan lembut.
Mas Angkasa yang berada di sampingku, tersenyum seraya tangannya mulai meraba mengelus perutku yang tak tertutup oleh baju, karena bajunya sengaja aku singkap karena pengap, kemudian ia berkata, "Nak, semoga nanti kau tumbuh dengan baik, menjadi penghafal Qur'an, berkat keberkahan kota Tarim Hadramaut Yaman."
"Aamiin."
Tuk! Tuk! Tuk!
"Keen?" Panggil seseorang di ambang pintu.
Bentar-bentar, kok aku seperti hafal suaranya, Ayah? Benarkah Ayah?
"Ayah?" Aku bertanya-tanya.
"Iyah, ini ayahmu!"
"Ayahhh," teriakku, seraya langsung bangkit dari tidur, dan langsung membuka pintu kamar.
Kriek!
"Ayah, aku rindu," teriakku seraya memeluk badannya yang tengah berdiri tegap di ambang pintu.
"Ayah juga," jawabnya, seraya mengusap kepalaku.
Tidak ada angin tidak ada hujan, ayah menyusul ku ke kota tarim Hadramaut Yaman.
"Kenapa ayah tidak mengabari, bahwa Ayah mau menyusul aku ke sini?" Tanyaku heran.
"Ya tidak apa-apa, toh ayah ke sini bukan untuk menyusul mu--
"Lah, terus?" Tanyaku.
"Mau ziarah lah, Ayah ke sini tidak sendiri, ditemani Kyai Rozaq dan Bu Nyai--
"Masya Allah, mana Ayah?"
"Itu," ucap Ayah, seraya menunjuk ke ruang tamu.
Hadirlah sosok guruku sedang asyik bertegur sapa dengan putra dan menantunya. Kami ke sana, hingga dua keluarga bertemu, berkumpul mengobati rindu.
Bu Nyai anggun dengan abaya hitam yang berlabuh di badan, Kyai Rozaq apalagi tidak kalah gagahnya, seorang pendiri pondok pesantren Miftahul Jannah, telah hadir di tengah-tengah kami.
"Kenapa Ayah, Kyai Rozaq, dan Bu Nyai datang ke kota Tarim nya sekarang pas kami hendak pulang? Kenapa nggak dari dulu saja bareng-bareng?" Tanyaku yang heran.
"Malas ketemu sama Ukhty Barbar," canda Kyai Rozaq, yang berhasil membuat semua orang tertawa.
"Ih, Kyai masih sama kayak yang dulu, ngejailin Keenan terus," ketusku kesal.
"Haha."
"Jadi gini Keen, kami mau tinggal di kota ini selamanya--
"Lah terus pondoknya?" Tanyaku dengan cepat.
"Nah, pondoknya nanti Kyai serahkan kepada Ustaz Rizqy, biarkan dia yang melanjutkan," tuturnya.
"Masya Allah Kyai Rizqy," gurauku seraya menatap sinis ke arah ustaz Rizqy, yang tengah sibuk menyuguhkan kopi.
Kami asyik berbincang bersama, hingga waktunya tiba, kami terpaksa harus kembali ke tanah air tercinta yaitu negara Indonesia. Kami berpisah dari orang tua, bukan lagi beda desa, ataupun kota, melainkan ini beda Negara. Aku harap Ayah, Kyai, dan Bu Nyai mereka diberikan kesehatan, sehingga aku tak khawatir untuk meninggalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomanceBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.