Mas Angkasa Menghukumku

48 3 0
                                    

Sampailah di negara timur tengah, yang indah dengan gurun pasirnya. Seolah-olah setiap butirannya mengisyaratkan kita agar senantiasa memuji-Nya. Sungguh betapa Indah ciptaan-Nya, aku memandangnya, seolah-olah mengingatkanku pada-Nya.

"Subhanallah. Maha suci Allah."

Hanya kalimat itu yang bisa terucap dari mulutku, mataku dibuat takjub, tersihir lembut dengan pesona sebuah kota yang dijuluki Tarim Al-Ghana. Palang yang membentang panjang, membatasi antara kota Tarim dengan kota lainnya, membuatku tak henti-hentinya menangis karena saking terharunya.

Jalanannya, rumah sederhananya, para wanitanya yang tak terlihat di sejauh mata memandang, tetap ia terjaga dan tak bisa dipandang oleh sembarang orang. Benar-benar terjaga, rasa malunya tinggi, tak ingin melihat dan dilihat laki-laki.

"Allahuakbar, Allah maha besar."

Hatiku bertakbir, bagaimana tidak? Berulangkali aku dibuat terpesona oleh pemandangannya, tenang, damai, dan tentram. Sungguh betapa teduhnya kota ini, dipenuhi para wali yang selalu mengingat Sang Ilahi.

Kami berempat menelusuri jalanan kota Tarim, sangat menakjubkan, ditambah aku sama ustazah Marwah, baru pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi para wali ini. Kami berdua tak henti-hentinya bersalawat dan salam kepada Baginda Nabi, air mata bahagia terus berjatuhan, karena pada akhirnya aku telah menemukan obat kerinduan, yaitu bertemu denganmu wahai kota yang aku damba, kotanya para pecinta.

Sampailah kami disebuah apartemen tempat penginapan, kami berempat di satu apartemen yang sama, hanya kamarnya saja yang berbeda. Mas Angkasa langsung merebahkan badannya, kayaknya dia sangat lelah menggendongku selama beberapa langkah. Ku lihat sudut matanya yang masih ngantuk, kayaknya semalaman dia tidak istirahat, karena terus menjagaku yang hampir sekarat.

"Mas?" Panggilku, yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam almari.

"Hmm," gumamnya singkat.

"Mau aku buatkan kopi? Teh? Atau--

"Susu aja," jawabnya cepat.

"Ouh, baiklah aku ke dapur dulu ya, mas," pintaku seraya beranjak pergi. Namun saat beberapa langkah hendak keluar dari kamar, tanganku langsung ditarik untuk masuk kembali, tangannya dengan sigap langsung menutup pintu, dan menguncinya.

"Hah? Kenapa? Toh, katanya mau susu," protesku heran.

"Iya, kan di sini juga ada, kenapa harus repot-repot pergi keluar," tuturnya, seraya memangku tubuhku ke tempat tidur. Aneh emang, katanya lelah, tapi malah terus menerus menggendongku yang berat badannya kian bertambah, semenjak nikah.

"Hah, kita tidak beli susu di Indonesia, Mas! Kamu lupa, ya!" Ketusku dengan polosnya.

"Berisik, bawel ih istriku! Diem ya, udah diem," pintanya, seraya membekap mulutku dengan tangannya.

"Mas, mmm mmm mmm," racauku tidak jelas, karena mulutku masih dibekap olehnya.

"Haha," ia hanya tertawa puas, melihatku pasrah, sepasrah-pasrahnya.

"Biarin, suruh siapa manja, pengen di gendong segala, ya ini hukumannya," jelasnya.

"Mmm, mas udah berhenti!"

"Haha."

"Jahil banget, ah!"

"Hehe, maafin ya. Oh iya dek badan mas pegal-pegal, tolong kerokin, boleh?" Pintanya manja.

"Mas juga manja, ke adek aj--

"Barangsiapa seorang wanita yang melaksanakan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan patuh kepada suaminya, maka ia berhak masuk surga dari pintu mana saja yang ia mau, tuh Dek," dalihnya, yang membawa dalil segala.

"Iya deh ustadz iya," jawabku seraya bermuka masam.

"Dan hendaklah para wanita menyenangkan hati suaminya, dengan raut wajah yang enak ketika dipandang, tidak dengan bermuka masam," jelasnya lagi.

Aku tersenyum seraya nyengir karena merasa bersalah atas apa yang aku lakukan terhadapnya.

"Maafkan aku wahai suamiku."

"Ya khoir, aku sudah memaafkanmu wahai istriku, sebelum kamu meminta maaf juga."

Sungguh betapa bersyukurnya aku jadi istrinya, selalu diingatkan kepada kebaikan, dan selalu ditegur ketika berbuat kesalahan. Bukti bahwa dirinya tidak hanya ingin bersamaku di dunia saja, melainkan di akhirat kelak kami ingin bersama kembali di surga-Nya nanti, Aamiin.

Kubuka baju Mas Angkasa, begitupun dengan kaos dalamnya. Ku percikan minyak GPU ke punggungnya, ku kerok perlahan kulitnya dengan sangat hati-hati, hingga meninggalkan bekas merah yang warnanya pekat sekali. Kesian ia, pegal-pegal badannya, karena sudah menggendongku selama berjam-jam lamanya.

"Aw, dek pelan-pelan," rengeknya, seraya berusaha memegang tanganku yang tak terjangkau olehnya.

"Kan ini Pelan-pelan, mas," ucapku, seraya mengusap-usap punggungnya yang memerah bekas kerokan.

Usai sudah, kini tinggal memijit kakinya, kesian pasti kakinya pegal.

"Mas capek, ya gendong aku seharian?" Tanyaku yang tengah asik memijit kaki sebelah kirinya.

"Kayak anak kecil pengennya digendong terus, kalau disuruh turun nangis!" Ledeknya.

"Hehe."

"Sudah, mas ya. Ayo istirahat, pasti lelah," tuturku, seraya menatap wajah tampannya.

Ah sangat meresahkan makhluk yang satu ini, mau selelah apapun dirinya, tetap dia adalah pemuda paling tampan yang pernah aku kenal. Belum mandi saja sudah tampan, apalagi kalau sudah mandi, bisa-bisa aku tidak bisa menjaga pandangan.

"Ouh gak bisa! Sini mas pijitin juga, pasti kamu sama lelahnya," pintanya, seraya menarik tanganku.

Aku melepaskan tangannya, "Euu-- tidak, sungguh aku tidak lelah, Mas. Toh aku yang digen--

"Tetap saja, pasti gak enak badan. Ayo sini! Buka! Apa mau dibukain?" Tanyanya yang berhasil membuatku kikuk.

"Hah, mas mas please aku tidak lelah, badanku baik-baik saja, serius aku--

"Terus kenapa semalam tubuhmu gemetar kedinginan? Pasti masuk angin, kan? Sini mas kerokin dulu!" kekehnya, seraya menarik paksa tanganku, hingga aku terjatuh menubruk tubuhnya.

"Tapi mas--

"Syut udah! Diem bawel!"

Di sana aku hanya pasrah. Oh jadi seperti ini berumah tangga tuh, suami istri yang saling melengkapi, satu tubuh kesakitan, tubuh lainnya mengobati, begitupun sebaliknya. Namun aku hanya pasrah saja, menerima perlakuannya, asalkan itu baik untuk kami berdua. Memang baik si, cuma akunya saja yang susah diaturnya, "Maafkan aku wahai suamiku," lagi-lagi aku mengucap hal yang sama.

"Minta maaf kenapa, Dek?" Tanyanya keheranan.

"Aku yang susah diaturnya, Mas," tuturku.

"Tidak apa-apa, justru mas suka semuanya, apapun itu tentangmu, kelebihanmu ya harus mas syukuri, kekuranganmu ya itumah harus di sabari," tuturnya.

Masya Allah, Tabarakallah, sungguh beruntung aku memilikimu, mas. Hanya kamu yang paling sabar, menghadapi sikapku yang barbar.

"Ya karena aku bersyukur memilikimu, dan kamu harus bersabar memilikiku. Ya kan mas?"

"Haha, bisa aja."

"Yaudah yuk istirahat," ajaknya, seraya menarik tubuhku ke dekapannya.

Mentang-mentang badanku kecil, dia memperlakukanku seperti anak kecil, dipangku, dipeluk, digendong, tapi tidak dibanting. Ya kali kayak barang aja.

Kelak kita akan mengerti bahwa memilih pasangan itu tidak hanya karena cinta, tapi juga tentang siapa yang akan menemani hingga menutup mata, dan kita usahakan memilih lelaki yang nada bicaranya lembut, paham Agama, cukup sama satu wanita, dan keluarganya menerima kita.

Setiap membahas pernikahan yang wanita takutkan sebenarnya bukan perihal 'mahar' Tapi mampukah pasangannya menegur tanpa membentak, menasehati tanpa membenci, menghargai dan mengapresiasi tanpa harus diminta, serta membimbing dalam urusan ilmu Agama. Ternyata aku sudah mendapatkan itu semua. Terima kasih ya Rabb.





Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang