PoV Angkasa
Sudah sepekan, aku menemani ustaz Rizqy di dalam kamar, hingga akhirnya kami berani untuk keluar. Berkumpul bersama di ruang keluarga seperti sedia kala, walau aku bukan putra dari seorang Kyai, tapi aku sudah dianggap keluarga sendiri di rumah ini.
Kami sempat berbincang-bincang di ruang depan, aku, ustaz Rizqy, Kyai Rozaq, dan Bu Nyai, duduk berkumpul di atas tikar yang tergelar, seraya menikmati hangatnya teh tubruk di pagi hari, ditambah goreng pisang, rasanya aku senang dan tenang. Dari pada di rumahku sendiri yang mewah, megah, tapi tidak tentram di dalamnya, karena orang tuaku lebih sayang kepada anak perempuannya, yang bernama 'Amandyra' dia gadis manja, yang tidak mengenali kakaknya. Ntah sekarang dia ada di mana.
"Nak Angkasa," panggil Bu Nyai lembut.
"Euu-- iya, Bu nyai?" Sahutku.
"Jangan panggil saya Bu Nyai, panggil saja dengan sebutan Umi Abi, seperti Nak Rizqy ketika memanggil kami. Jangan sungkan, nak. Anggap saja ini keluargamu sendiri," jelas Bu Nyai, seraya tersenyum.
"Euu-- iya Umi," ucapku grogi.
"Umi mau bicara sesuatu hal kepada kalian," ujar Umi dengan ekspresi wajah yang serius.
"Apa mi?" Tanya kami kompak.
"Berhubung kalian sudah dewasa, sudah bisa membina rumah tangga, jadi bagaimana kalau misalnya kami jodohkan kalian dengan santriwati pilihan kamu?" Tanya umi, yang tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba membahas soal pernikahan.
Deug!
Aku dan ustaz Rizqy langsung terdiam, karena kaget dengan apa yang umi bicarakan barusan.
Suasana yang asalnya tenang berubah menjadi tegang. Pisang goreng tidak kami sentuh, karena kalah dengan hati dan pikiran kami yang sangat riuh dan gaduh. Bagaimana tidak, aku yang tidak dewasa-dewasa, masih suka merengek manja, tidak pernah memikirkan soal wanita, tiba-tiba umi menawarkan santriwati pilihannya.
"Bagaimana?" Tanya Umi kembali, yang membuyarkan pikiran kami.
Aku hanya mengangguk, dan berusaha untuk nurut seraya berkata, "Jika ini yang terbaik untuk kami, maka Angka siap untuk membina rumah tangga dengan santri pilihan umi dan Abi."
"Alhamdulillah," ucap Kyai Rozaq, selang tiga detik, "Bagaimana Rizky? Apakah kamu sama seperti Angkasa yang sama-sama siap membangun rumah tangga?" Tanya Abi, seraya tatapannya tertuju pada Ustaz Rizqy.
Ustaz Rizqy menggelengkan kepalanya. Maklum, ia baru sembuh dari rasa yang membuatnya runtuh, ia masih trauma dengan lamaran yang ditolak oleh seorang wanita yang ia cinta, dan kini ia mati rasa, tidak ingin kenal dengan yang namanya cinta, apalagi berharap kepada manusia yang membuatnya benar-benar kecewa
"Masih trauma ya, dengan kejadian pekan kemarin?" Tanya Kyai Rozaq.
Ustaz Rizqy hanya mengangguk, tanpa berkata satu katapun.
"Jadi gini, nak. Umi sudah memilih santriwati buat kalian, siapa tahu kalian juga suka, nak Rizqy bagaimana kamu kalau sama ustazah Marwah?" Tanya umi serius.
"Sebenarnya Rizqy suka sama ustazah Marwah, sejak awal bertemu juga, sekitar sepuluh tahun yang lalu, cuma ntah kenapa sejak kedatangan santri baru, yaitu si Ukhty Barbar, hati ini lebih condong padanya, Rizqy kira itu cinta, padahal itu hanya hawa nafsu belaka," tutur Ustaz Rizqy sejujur-jujurnya.
"Alhamdulillah, kalau begitu umi senang mendengarnya."
"Alhamdulillah, apa kata Abi juga? Dari dulu Abi sudah bilang, kamu cocoknya sama ustazah Marwah. Namun kamunya ngeyel," omel Abi seraya menatap sinis ustaz Rizqy.
"Kalau Nak Angka, nah baru dia cocok sama si Ukhty Barbar," lanjut Abi, seraya menatapku serius.
Deug!
"Hah? Gak gak bi, ustaz Rizqy saja ditolak lamarannya--
"Pasti kamu diterima," lanjut umi, memotong pembicaraanku.
"Bukan begitu maksudnya mi, Angka gak suka sama tingkahnya, boro-boro suka, yang ada nanti Angka stres setiap harinya, tidak pokoknya Mi, Bi please," rengekku manja.
"Haha."
Sempurna. Satu keluarga menertawakan ku. Kenapa aku dijodoh-jodohkan dengan orang yang tidak aku kenal, dan orang yang selalu bikin aku kesal. Benar-benar si Ukhty Barbar sangat meresahkan, kehadirannya sungguh membuatku tertekan.
"Ah, mi apakah tidak ada santriwati yang lain selain dia?" Tanyaku kembali.
"Pertanyaannya apakah kamu tidak mau santriwati pilihan umi Abi?" Tanya Abi balik.
"Ya, maulah, bi. Tapikan--
"Berarti gak mau?"
"Euu-- iya iya deh Angka mau," ucapku datar.
"Alhamdulillah."
Kenapa endingnya akan seperti ini? Di mana perahu cintaku berlayar tersibak ombak yang kencang, bagaimana tidak? Kenapa aku didatangkan seorang gadis yang barbar, yang tidak enak ketika dilihat dan dipandang. Aku tidak tahu rupanya, yang aku tahu hanya akhlaknya saja yang barbar ke mana-mana.
"Nak Angkasa? Jadi bagaimana?" Tanya Umi untuk memastikan.
"Jika dia yang terbaik, yang sudah dipilih umi dan Abi, maka Angka terima, ikhlas lillahita'ala," tuturku, seraya senyum terpaksa.
"Alhamdulillah."
"Jika itu jawaban kalian, maka umi sama Abi akan bicarakan hal yang sama kepada mereka berdua, Bismillah," tutur umi lembut.
Kami berdua mengangguk.
Usai sudah perbincangan singkat itu, kemudian kami masuk kembali ke dalam kamar. Ntah kenapa tempat yang sering dikunjungi, yaitu kamar, karena nyaman, tenang, dan tidak membosankan. Seolah-olah kamar adalah saksi bisu, ketika seseorang menjalani kehidupan, menjadi tempat curhat disetiap moment yang sudah terlewatkan, mengekspresikan mimik wajah bahagia, atau bahkan meringkuk meneteskan airmata.
"Benci jadi cinta," ledek ustaz Rizqy, yang baru saja membuka pintu kamar.
"Nggak! Kata siapa cinta?!" Ketusku kesal.
"Ah, bener nih. Awas aja nanti punya anak 10," ledek ustaz Rizqy kembali.
"Ah! Kenapa ujungnya jadi aku yang kena! Padahal aku sedang menunggu orang yang sama, tapi ntahlah dia ke mana! Terus? Apa maksudnya aku dijodoh-jodohkan dengan orang yang tidak aku cinta?" Omelku tiada hentinya.
"Bawel, tuh dari sini juga kamu sudah cocok bersanding dengannya, sama-sama bawel, haha," ledeknya berkali-kali.
"Ih, nih ustaz Rizqy, saya itu tidak tau dia, namanya juga saya tidak tahu, apalagi rupanya! Dari mana coba cocoknya?!" Ketusku kesal.
"Terus yang kamu tahu apa?" Tanyanya heran.
"Yang aku tahu dia si Ukhty Barbar, yang siapapun dekat dengannya harus sabar," tuturku.
"Tuh, tahu. Berarti kamu adalah orang yang sabar."
"Emang siapa namanya, staz?"
"Keenandyra."
Deug!
"Hah?!"
"Iya, emang kenapa?"
"Kenapa namanya bisa sama, dengan seseorang yang selama ini aku tunggu selama kurang lebih lima tahun?" Tanyaku heran.
"Ntah! Mungkin dia?"
"Tidak! Dia tidak seperti itu dalam penampilannya juga, mana mungkin dia mau mondok di asrama!"
Sungguh betapa sempitnya dunia, hingga nama pun banyak yang sama. Akhirnya aku bertemu kembali dengan nama 'Keenandyra' ah betapa pasaran nama itu, tapi Keenandyra yang aku tuju, tidak ada di hidupku. Ntah dia berada di mana sekarang, semoga saja dia tenang. Boleh aku tidak bersanding dengannya, asal dengan namanya saja sudah membuatku bahagia.
'Keenandyra'
Nama itu terukir kembali. Namun bukan sosok yang aku kenali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomansaBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.