Dua kata adalah air mata

83 2 0
                                    

Keesokan harinya aku diperbolehkan untuk pulang ke asrama, karena kondisiku mulai membaik. Namun ketika aku sampai di asrama, ada sebuah berita yang membuatku meneteskan air mata. Berita itu datang dari santriwati yang lainnya, bahwasanya ustaz Rizqy baru saja ke bandara, dan hendak pergi ke kota seribu wali untuk bertholabul Ilmi.

Seketika hatiku hancur, baru juga sembuh rasanya aku kembali rapuh.

"Sudah lama Ustaz Rizqy berangkatnya, Manda?" Tanyaku pada Manda yang sedang mengunyah permen karet.

"Pwaling swekitar satwu jam  yang lawlu," racaunya tidak jelas.

Aku langsung berlari menuju ruang pengurus. Seraya, mengambil telepon genggam warna hitam yang tergeletak di meja depan. Mencoba untuk menghubungi ustaz Rizqy. Tapi sayangnya panggilan di luar jangkauan. Aku tidak ingin meminta lebih, aku hanya ingin mengutarakan sebuah rasa saja, bahwa aku sangat mencintainya.

Aku menghela napas dalam-dalam. Saat aku mau keluar dari ruang pengurus, tiba-tiba telepon genggam berdering. Pertanda, bahwa ada yang menelepon. Aku langsung kembali mengangkat telepon. Seraya berkata, "Assalamualaikum?"

"Wa'alaikumussalam, Ustazah?" Jawab Ustaz Rizqy dibalik telepon.

"Euu--

Tuttt! Panggilan tidak terhubung harap periksa kembali koneksi internet anda.

Panggilan terputus.

Aku langsung berlari menemui Kyai Rozaq, yang tengah duduk bersantai di taman dekat masjid, seraya matanya fokus membaca buku.

"Assalamualaikum Kyai," ucapku buru-buru.

"Waalaikumussalam iya kenapa Keen?" Tanya Kyai Rozaq, seraya menutup buku bacaannya.

"Euu-- apakah bener ustaz Rizqy sudah berangkat ke Tarim untuk menuntut ilmu?" Tanyaku gemetar, karena menahan rasa malu.

"Iya, rencananya 4 tahun di sana."

"Apakah sudah lama kyai, ustaz Rizqy berangkatnya?"

"Sekitar satu jam yang lalu."

"Baiklah, terima kasih Kyai, Keenan pamit dulu ya, wassalamu'alaikum," ucapku mengakhiri pembicaraan.

Kyai Rozaq mengangguk, seraya menjawab salam, "Waalaikumussalam."

Aku langsung berangkat ke bandara, dan sesampainya di sana aku langsung berlari mencari Ustaz Rizqy. Suasana jelas ramai dari yang rambut pirang, sampai ke yang rambut gimbal. Aku melihat Ustaz Rizqy sedang memesan tiket di dalam. Aku berusaha untuk masuk, dan ketika kembali melihat Ustaz Rizqy sudah tidak ada di sejauh mata memandang.

Aku berusaha berlari lagi menuju arah pemberangkatan. Terlihat dari kejauhan peci putih ditambah sorban hitam putih yang berlabuh teduh, Aku yakin bahwa itu Ustaz Rizqy.

"Ustaz Rizqyyy ...."

Ketika sebuah harapan tergambarkan, maka harus siap menerima kekecewaan. Suara jet memecahkan kericuhan sore itu, dengan pesawat yang lalu lalang beterbangan di atas kepalaku. Orang-orang lalu lalang mempersiapkan pemberangkatan. Terdengar di telingaku suara jerit tangis seseorang yang melepaskan kerinduan. Aku memanggil Ustaz Rizqy beberapa kali, hingga yang ke-tiga kalinya.

"Ustaz Rizqyyy ...."

Ustaz Rizqy sebenarnya mendengar panggilan itu. Tapi, ia tidak peduli. Pemberangkatan pesawat Indonesia-Yaman akan segera dimulai. Tinggal menghitung menit, ia buru-buru menjauhiku yang sedang berusaha bertemu dengannya untuk mengobati rindu, dan mengungkapkan sebuah rasa yang terus membelenggu hatiku. Aku yang terus berlari, tampak tidak peduli dengan keadaan di sekitarku, sehingga anak kecil tersenggol olehku, sampai-sampai koper yang dipegang oleh nenek berkulit sawo matang terbanting ke sebelah kanan.

"Ustaz Rizqyyy ...."

Hanya dua kata yang terucap dari bibirku, aku terus berlari mendekati lorong-lorong pemberangkatan. Tatapan semua orang tajam dan heran, serasa aku tidak mau ditinggalkan oleh kekasih yang sudah halal. Air mata berjatuhan ke permukaan. Gamis yang berlabuh panjang menghalangiku untuk berlari kencang, dan cadar yang menyapa wajahku, terkadang menutupi mata sebelah kanan, hingga aku melihat ke arah depan terhalang oleh kain transparan.

Ustaz Rizqy yang sudah persiapan, tinggal masuk ke pesawat bernuansa putih. Tapi, ia mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia menunggu penumpang yang lain untuk masuk lebih awal. Haus yang berlebihan, hingga tangannya bergerak mengeluarkan botol yang berisikan air yang sudah dikaji oleh Abinya. Tepat waktu aku melihatnya yang sedang duduk, meminum air tersebut. Ia melihatku yang sedang menghampirinya, hingga menyudahi minumnya dan langsung masuk ke pesawat yang akan diterbangkan beberapa menit ke depan.

"Ustaz Rizqyyy ...."

Lagi-lagi aku berteriak memanggil nama itu. Tapi, seolah-olah Ustaz Rizqy tidak peduli denganku. Mungkin, sudah terlanjur kecewa dengan tingkahku yang Barbar ke mana-mana. Panggilan yang seharusnya terbalaskan dengan sahutan. Tapi, malah terbalaskan dengan sejuta kejutekan. Aku berhasil menghampiri Ustaz Rizqy dengan menjambak sorbannya yang berlabuh di pundaknya. Sorban itu ada di genggamanku. Tapi, Ustaz Rizqy? Berhasil masuk ke pesawat dan terbang melayang jauh dari pandangan.

"Ustaz Rizqyyy ...."

Dua kata terulang kembali, dengan tatapanku yang terus tertuju kepada satu titik. Ya, pesawat yang membawa dua kata dan meninggalkan air mata. Pesawat itu seketika sudah hilang dari pandangan, dan hanya ada sorban hitam putih yang berlabuh di tangan.

Rencana yang telah ditetapkan dengan sempurna, hingga akhirnya gagal menyimpan segudang luka yang seharusnya tawa. Aku tersungkur di lantai dan menangis sesenggukan, sesekali mengusap air mataku dengan sorban yang wanginya khas santriwan.

Usty Rizqy selalu menatap ke arah luar, lewat jendela yang berada di sebelahnya. Hatinya bertanya-tanya dengan dua kata yang menemaninya saat di bandara. Ia menghembuskan nafas berkali-kali ke arah kaca, hingga kaca itu samar mengembun, ia menggores dua kata, seraya meneteskan air mata 'Ustaz Rizqyyy.Mungkin ini yang terbaik bagi kami.

Bukan waktu yang tepat aku mengutarakan sebuah rasa. Berjarak mungkin sebuah pilihan yang berbuah ketenangan, dibandingkan dekat selalu menghasilkan keributan. Aku kembali ke pondok pesantren Miftahul jannah, dengan membawa sorban yang ku genggam di tangan.

Jauh di mata. Namun, Kang Rizqy akan selalu ada dalam bait-bait doa. Biarkan dia fokus mencari ilmunya di negeri para ulama. Sedangkan, aku di sini, akan terus memperbaiki diri.

"Keen abis dari mana? Baru sembuh juga, udah pergi ke luar aja," omel ustazah Marwah.

"Hehe, ini ustazah habis beli sorban," alasanku.

"Allahu, yasudah ayo sarapan dulu, diminum obatnya. Nanti abis itu ke masjid ya buat pengajian, ada uminya ustaz Rizqy mau ngisi tausyiah sore ini," tutur ustazah.

"Iya siap ustazah, Keenan mau siap-siap dulu, ya," ucapku semangat, seraya langsung lari ke kamar mandi.

Ustazah hanya menggeleng-geleng kepalanya, melihat tingkahnya yang tidak pernah berubah.

Empat tahun bukan waktu yang sebentar, aku harus menahan rindu dengan sabar. Ya, aku rindu mata tajamnya, alis tebalnya, suara lembutnya, hingga postur tubuhnya yang nyaris sempurna dan selalu menyejukkan mata ketika aku menatapnya. Namun, sekarang tatapanku hampa, ustaz muda telah hilang di sejauh mata memandang.

"Keen, rencananya umi mau bikin forum. Nama forumnya 'wanita tarim' kamu mau ikut ndak? Sebenarnya forum ini khusus untuk para ustazah saja. Namun karena kamu suka ikut ustazah Marwah ke mana-mana jadi umi ngajak kamu, gimana?" Tanya uminya Ustaz Rizqy.

"Maulah mi, mau banget," ucapku seraya tersenyum bahagia.

"Alhamdulillah," ucap ustazah serempak.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang