Miftahul Jannah. Pondok pesantren yang begitu megah bangunannya. Para santriwati diwajibkan memakai selembar kain, yang sering disapa dengan cadar. Apalah daya denganku. Aku belum pernah memakai kain itu, kain yang menutup kecantikanku, dan kain yang membuatku sesak untuk bernapas.
“Ukhty?” Sapa Ustazah Marwah.
“Apa? kunti? Enak aja Ustazah panggil gue kunti!”
Ustazah Marwah tertawa geli mendengar ucapanku.
“Ukhty itu panggilan buat saudara perempuan. Bukan kunti, Keen,” jelas Ustazah.
“Ouh, Kunti. Eh, apa tadi Ustazah?”
“Ukhty.”
“ouh, itu.”
“Apa, coba?”
“Kunti. Hehe gak bisa, lah Ustazah.”
Lagi-lagi Ustazah tertawa.
Ustazah Marwah mengajaku untuk berkeliling di sekitar asrama. Sambil memperkenalkan setiap ruangan yang berderet rapih memanjang. Ustazah yang berpakaian anggun, layaknya seorang perempuan pada umumnya. Namun, berbeda denganku.
“Ustazah, kok Keenan gak dihukum, si?”
“Syut! Dieum, manda!”
“Hukum Ustazah. Mana ada ukhty pake training!”
“Heh, syirik aja, lu!” Sentaku.
“Amanda! Kata Ustazah dieum! Santri baru, dia!”
“Hehe, boleh ikut keliling, Ustazah?” ujar Amanda, santriwati yang pertama kali aku kenal.
“Boleh. Ouh iya Keen ini kenalin, namanya Amandyra. Panggil saja Manda. Tingkahnya barbar si, sebelas dua belas sama kamu,” canda Ustazah.
“Namanya juga Ustazah, hampir sama,” tuturku.
“Ouh, emang siapa namanya, Ukh?” Tanya Manda penasaran.
“Keenandyra.”
“Owalah, semoga jodohnyamah nggak sama, ya Aamiin,” ucap Manda, seraya tangannya menengadah.
Aku heran kenapa santriwati harus memakai gamis, kenapa tidak pakai celana saja yang lebih simpel kayak aku. Semua tatapan tersorot kepadaku. Apa ada yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Sedangkan Ustazah Marwah sibuk menjelaskan aturan pondok.
“Keen, karena kamu sudah diterima di pondok pesantren ini. Sekarang tinggal menjalankan kewajibanmu saja, yaitu menaati peraturan pondok. Ini peraturan pondoknya,” tutur Ustazah, seraya memberikan selembar kertas.
“Banyak banget, Ustazah.”
“Namanya juga peraturan. Supaya hidupmu lebih teratur ke depannya. Semangat! Ustazah pamit dulu. Manda, temenin Keenan!”
“Baik Ustazah,” jawab Manda.
Islam mengatur sedemikian rupa. Mulai dari cara berpenampilan, cara bersikap, dan banyak lagi aturan lainnya. Akulah si gadis keturunan inggris, belum paham betul tentang aspek pengetahuan agama, sebab yang aku kenal hanyalah sebatas dunia yang fana, bahagia dengan hidup berfoya-foya, dan bangga punya sikap barbar kemana-mana. Namun, semua itu tidak berguna, karena manusia diciptakan oleh Allah ke dunia, itu hanya untuk beribadah kepada Nya.
Amandyra. Namanya hampir sama denganku, sikap babarnya juga tidak jauh berbeda. Gadis sepantaranku ini cukup konyol, dan selalu menghiburku dengan sikap anehnya. Terkadang, dia menjengkelkan, lagi-lagi meledeku dengan panggilannya yang khas.
“Ukhty barbar!”
“Apasi, lu Manda?!”
Ukhty barbar. Panggilan yang asing ditelingaku. Barbar itu artinya sedikit liar. Namun, ditambah dengan kata ukhty, itu sedikit anggun untuk didengar.
Barbar tidak menjadi penghalang, terhadap seseorang yang melakukan kebaikan. Barbar boleh, tapi jangan sampai sikap itu merugikan. Pilihlah barang yang tidak hanya menarik dipandang, tapi coba lirik sejenak barang yang walaupun sederhana, tapi nyaman untuk dipegang. Begitupun, dengan pasangan. Jangan hanya memilih bodi yang menarik, tapi pilihlah yang akhlaknya cantik.
Aku terbangun di sepertiga malam. Kebetulan malam itu mati lampu. Aku menyorotkan lampu senter bergiliran ke arah Santriwati yang masih tertidur lelap. Berbagai macam gaya tidur, ada yang tengkurap, terlentang dan ada juga yang kakinya mengapung ke atas, layaknya pemanasan yang belum tuntas. Suara yang aneh berkolaborasi. Ntah, itu dengkuran, mengigau dan suara decitan gigi-gigi yang tidak berdosa, suara itu saling menyatu. Ranjang Asrama pun bergoyang, layaknya konser dangdutan.
Haus berlebihan, hingga aku pun terpaksa berjalan ke arah galon, tepat di sudut ruangan. Mata yang masih mengantuk. Berjalan lunglai, seraya menjinjing cangkir berwarna pink dan menyorotkan lampu senter ke lantai. Matanya masih terpejam, menandakan aku malas untuk bangun tengah malam. Suara kakiku terdengar oleh Amanda, maklum kaki perempuan yang cara berjalannya seperti laki-laki. Ya, dibarengi dengan tenaga.
Srek!
"Keen, mau ke mana?"
"Ke neraka, ikut?"
"Astagfirullah, kumat dah kalau tengah malam."
Pluk!
Amanda yang sempat terbangun oleh suara gesekan kaki dan mendengar jawaban dariku. Eh, mendarat kembali ke pulau kapuk yang empuk. Aku celingak-celinguk memperhatikan isi ruangan asrama yang ada. Mulai dari lemari, ranjang, sampai ke kolong ranjang yang kotor belum dibersihkan.
Kriek!
Pintu asrama dibuka. Memaksakan untuk bersuci, lalu salat tahajud. Itu bukan pekerjaan yang ringan bagiku, aku harus memaksakan, supaya terbiasa nantinya. Teringat dulu aku suka bangun malam, tapi hanya sekedar buat ke kamar mandi saja, lalu tidur kembali tanpa bermunajat ke Sang Ilahi.
Aku ketawa mengingat kejadian itu. Ketawa di tempat yang ramai dan banyak orang itu sudah terbiasa. Tapi, apa jadinya, jika aku tertawa di tempat yang sepi, tidak ada orang kecuali diriku sendiri. Tengah malam, tanpa ada cahaya, kecuali lampu senter kecilku yang menyorot ke permukaan. Ah, dasar Ukhty barbar yang berani, layaknya laki-laki.
Ustazah Marwah mengikutiku di belakang. Ia curiga, kenapa aku tertawa sendiri, sedangkan tidak ada teman disisiku. Sampailah di kamar mandi yang gelap dan sepi. Hanya ada aku dan ustazah. Aku masuk ke kamar mandi, sedangkan Ustazah Marwah menunggu di luar. Berniat memergokinya, ketika aku keluar nanti.
Kriek!
Pintu kamar mandi terbuka.
Ustazah Marwah kira, yang membuka pintu itu adalah aku. Hingga ia memulai aksinya dengan lampu senter tersorot ke wajahnya yang putih karena sudah make up. Matanya melotot ke arahku, dilapisi celak hitam tebal. Badannya tegap, mirip hantu pendiam yang suka meloncat. Suaranya menggeram misteri, menggema di kamar mandi.
Selang beberapa menit, tidak ada reaksi dari yang membukakan pintu. Malah, ketika Ustazah menyorotkan lampu senter ke orang yang membukakan pintu. Tampak, seseorang yang memakai mukena putih, tapi bukan aku. Wajahnya pucat, datar dan tidak ada senyum. Ditambah, matanya terpejam kaku.
"HUWAAA!"
Ustazah Marwah berteriak. Kakinya kaku tidak bisa digerakkan. Bacaan ayat-ayat suci Al-Quran tidak bisa dilantunkan. Mengucapkan kata 'Ya Allah' pun susah, apalagi melafalkan ayat kursi. Hanya teriakanlah yang menggema di kamar mandi yang penuh misteri. Detik-detik ketakutan mulai merajai ditubuhnya.
Sosok wanita itu tidak segera menghilang dari pelupuk matanya. Malah, ia tersenyum dan masih berdiri tegap, layaknya seseorang yang sedang memimpin upacara di tengah lapang. Ustazah Marwah curiga, kenapa makhluk halus bisa menginjakkan kaki di permukaan.
"Keen?" sahutnya dengan suara gemetar.
"Iya, Ustazah?" Aku yang masih berdiri di hadapannya, menjawab. Seraya, tertawa terbahak-bahak.
"KEENANNN!"
"Kaburrr," teriakku, seraya lari terbirit-birit menuju asrama.
"Awas aja kamu ya besok," teriak ustazah kesal.
"Haha, ustazah maafin Keenan," ucapnya dari kejauhan, dengan nada yang cengengesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
Storie d'amoreBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.