Aku bosan dengan suasana pondok tidak ada pemandangan lain, selain melihat santri yang sedang mengaji, ustazah yang sibuk mengajar dari pagi, hingga melihat Bu Nyai, yang tetap terjaga, selalu berada dalam rumahnya, kecuali keluar untuk mengajar santrinya. Sungguh sangat membosankan, inginku pulang ke rumah, bebas keluyuran, balapan bersama teman-teman.
"Oh, iya si Angkasa masih ada gak ya? Apa dia sudah dipanggil sama Tuhannya? Haha," aku tertawa sendiri.
"Astaghfirullah, kenapa si aku, lama-lama stres hidup di lingkungan ini, benar-benar tidak bebas, semuanya terbatas. Main handphone jangan, main ke luar gerbang jangan, apalagi balapan kali ya, mungkin aku sudah dikeluarkan," batinku.
"Ahaaa, aku punya ide. Bagaimana kalau kabur aja dah, susah amat. Sekalipun dikeluarkan tidak apa-apa, yang ada aku bahagia, bisa bebas lagi seperti dulu kala," ideku yang tiba-tiba muncul.
Kenapa aku tidak merencanakan semua ini dari awal. Pusing-pusing aku belajar, dapat hukuman, diceramahin terus-terusan. Mending aku kabur saja lewat belakang. Kebetulan belakang halaman pondok pesantren Miftahul Jannah, itu adalah sawah yang membentang panjang, untuk sampai ke jalan, aku harus menyusuri petaknya, ah sungguh ini butuh perjuangan.
Diam-diam aku kabur menuju rumah, tanpa sepengetahuan ustazah Marwah, dan santri lainnya. Di tengah perjalanan kakiku banyak luka, karena tidak biasa menginjak sawah yang cukup banyak bebatuannya.
"Aw aw," jeritku, karena sandalku berhasil menginjak androk yang berlabuh ke permukaan tanah.
"Kenapa neng, cantik-cantik masa mainnya ke sawah, kayak Ukhty Barbar aja," tegur pak petani di siang bolong, seraya terus menatapku dari kejauhan.
Betapa seringnya aku dipanggil 'Ukhty Barbar' satu, dua, tiga, empat, ah tidak terhitung sudah. Mulai dari ustaz Rizqy, ustazah Marwah, Amanda, santri lainnya, bahkan pak petani pun dia jadi ikut-ikutan, memanggil dengan panggilan yang serupa. Tanpa berpikir panjang aku langsung membuka androk, hanya memakai celana training saja, seperti awal mula aku menjadi santri di Miftahul Jannah. Cadar kubuka lalu dibuang hingga terbang, hijab pashmina syar'i ku aku lipat, lalu melilitkannya ke leher. Hingga tubuh eloku terekspos dengan sempurna.
Pak petani hanya melihatku dari kejauhan, dengan tatapan yang sangat mengherankan. Aku tidak peduli, langsung berlari menjauhi, hingga sampailah di pinggir jalan, tepat di tepi sawah aku mencari angkot menuju rumahku yang tidak jauh dari sana. Namun sayangnya, aku tidak membawa uang sepeser pun untuk membayar angkotnya.
"Berhenti!" Teriakku, seraya melambai-lambaikan tangan ke arah angkot yang sedang melaju cukup kencang.
"Ayo naik, mau ke mana?" Tanya supir angkot.
"Mau ke rumah, tapi aku tidak membawa uang gim--
"Gak papa ayo naik aja, gratis karena kamu cantik," godanya seraya tersenyum genit.
Ntah apa yang aku rasakan di samping aku bahagia, tapi di sisi lain jujur aku merasa diri yang paling hina. Namun Alhamdulillah ada hikmahnya juga aku membuka cadar, karena aku telah sampai di depan rumah, tempat yang paling nyaman untuk pulang dan berbagi cerita kepada Ayahanda tercinta.
"Assalamualaikum, yah, ayah. Ayah ini Keenan. Emang ayah gak rindu sama Keenan?" Teriakku di balik pintu.
"Waalaikumussalam, kenapa kamu pulang? Pasti kamu kabur ke rumah dan gak izin dulu sama ustazah! Ya, kan?!" Tanyanya, yang tak kunjung membuka pintu.
"Ihhh, ayah bukannya disambut, malah diomelin," ketusku kesal, seraya bibirku manyun ke depan.
"Keen, balik lagi ayo!" Tegasnya.
"Gak!"
"Balik lagi!"
"Gak mau, lebih baik Keenan tidur di depan rumah, dari pada harus balik lagi ke sana," ucapku kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
Любовные романыBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.