Sudah genap satu tahun aku menuntut ilmu di pondok pesantren Miftahul Jannah. Pondok pesantren yang megah, khas dengan bangunan yang bernuansa Islaminya, memperindah tempat tersebut. Ruangan berjajar rapi mengelilingi salah satu masjid besar yang ada di sana, lengkap dengan taman mengajinya.
Santri semuanya mengaji dengan khidmat. Suaranya menggema dibeberapa tempat, suara yang membuat tenang pikiran dan perasaan, dan suara yang nyaris menjadi obat hati yang kian berkarat.
"Keen, 2 Juz lagi ya kamu tamat Qur'an?" Tanya Manda, seraya menepuk pundaku yang tengah fokus melihat mushaf Al-Qur'an.
"Aamiin, bismillahirrahmanirrahim Yaa Ayyuhalladziina Aamanu--
"Yaelah, semangat bener, Bu Haji," ledek Manda, seraya tertawa.
"Mandaaaa! Bisa diam sejenak, ndak? Dari tadi bicara terus, ayo ngaji lagi, nanti sore setoran ke Bu Nyai, udah siap?
Manda menggeleng. Seraya menjawab datar, "belum."
Dengan sungguh-sungguh aku menghapal Al-Qur'an. Hingga 2 Juz lagi aku akan mengkhatamkan nya.
Luar biasa sekali jika ada seseorang yang senantiasa dekat dengan Al-Qur'an, hatinya menjadi tentram dan perasannya menjadi damai. Bukan hanya itu, para penghafal Qur'an adalah orang-orang pilihan, yang di mana ia sudah dipilih dan dipercaya oleh Allah untuk senantiasa dekat dengan Al-Qur'an. Sungguh berbahagia bagi orang-orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya, dan sebaik-baiknya petunjuk yang nyata.
Dua bulan kemudian, aku sudah mengkhatamkan Al-Qur'an.
"Keenandyra, wisudawati tahfidzul Qur'an angkatan ke 30, penghafal Qur'an asal Jakarta, menyandang predikat mutqin. Kepadanya waktu dan tempat saya persilahkan untuk maju ke atas mimbar menyampaikan pesan kesan," suara di balik speaker menggema, di ruang acara wisuda.
Aku maju ke atas panggung, Abaya hitam lengkap dengan selempang mas nya. Berjalan melewati sederet para santri yang tengah duduk menyaksikan.
"Huhhhh, Keenandyra. Aku padamu," teriak santri putra dengan hebohnya.
Siapa yang tidak kenal denganku? Namaku booming seantero santri Miftahul Jannah, apalagi dikalangan santri putra, aku menjadi sosok idaman yang didamba-dambakan. Setiap dinding asramanya, pasti ada coretan yang bertuliskan namaku, ah entahlah aku malu.
Naik ke atas panggung, kemudian menyampaikan kesan pesan selama menghapal Al-Qur'an. Para orang tua yang menyaksikannya pun ikut terharu, apalagi Ayahku sendiri yang tengah menangis menyaksikan moment yang penuh dengan kebahagiaan.
"Nak, karena kamu sudah mengkhatamkan Al-Qur'an, Ayah akan memberikan sesuatu buat kamu," ujar Ayah, seraya tangannya memegang kotak kecil berbentuk persegi panjang.
"Apa, Yah?" Tanyaku penasaran.
"Ini, buat kamu. Buka saja, pasti kamu akan senang melihatnya," ucap Ayah, seraya tangannya menyodorkan kotak kecil berbentuk persegi panjang.
Aku membuka kotak kecil itu, dan betapa senang, ketika melihat isinya. Handphone, ya sebut saja setan gepeng kini telah berada di tanganku.
"Huwaaaa, terima kasih Ayah, aku sangat senang," ujarku, seraya memeluk Ayah.
"Dan satu lagi, ini," ucap Ayah, seraya memberikan sebuah kunci motor.
"Hah? Asli, Yah? Keenan punya motor baru?" Tanyaku tidak menyangka.
Ayah mengangguk, seraya tersenyum.
"Yey, terima kasih, Ayah kok tahu apa yang Keenan mau?" Tanyaku, seraya memeluknya.
"Iya, asal kamunya ngaji yang bener ya, di pondoknya, jangan nakal, harus nurut sama ustaz, ustazah," tutur Ayah menasehati.
"Siap Ayahanda tercinta," ucapku, seraya mendongakkan kepala untuk menatap Ayah, karena ia berpostur tinggi, sementara aku bagaikan kurcaci.
Handphone di tambah sebuah kendaraan beroda dua, itu sudah cukup membuat hatiku bahagia. Akhirnya setalah melewati proses yang lama, aku bisa bebas lagi seperti semula, di mana handphone selalu berada di genggaman tangan, dan motor yang akan ku pakai untuk balapan.
Satu bulan kemudian.
Dulu, yang di mana aku selalu dekat dengan Al-Qur'an, kini yang sering ada digenggaman tangan bukan lagi Al-Qur'an, melainkan setan. Ya betul sekali, setan gepeng yang telah mengubah kebiasaan baik, hingga aku lupa terhadap ayat-ayat yang sudah dihapal.
Dulu, setelah usai salat berjamaah. Aku selalu membuka dan membaca Al-Qur'an, memurojaah ayat yang sudah dihapal. Kini boro-boro salat berjamaah, salat tepat waktu saja aku sangat susah, karena pengaruh dari setan gepeng yang menghipnotis mata.
Dulu, yang di mana ketika bangun tidur, aku senantiasa wudhu untuk menunaikan salat dua rakaat, kemudian mengaji dengan tartilnya, kini kebiasaan baik itu berubah, hingga tatkala bangun tidur tiba, aku langsung memainkan setan gepeng yang ada gambar apelnya.
"Keenandyra," panggil Bu Kyai dibalik pintu asrama putri.
"Nggih, Bu Nyai?" Aku menjawab panggilannya, seraya tanganku langsung menyembunyikan handphone kesayangan di dalam almari.
Kriek! Pintu dibuka.
"Lagi apa, Keen? Ke mana aja kamu? Di dalam kamar terus?" Tanya Bu Nyai keheranan.
"Hehe, nggih Bu Nyai," jawabku gemetar ketakutan, karena ada sesuatu yang disembunyikan.
"Besok ada acara semaan, kamu ikut ya juz awal sampai akhir, di murojaah lagi!" Perintah Bu Nyai, seraya menepuk pelan pundakku.
"Eu, tapi--
"Syut! Gak ada tapi-tapian, udah! Hapalin aja, siap-siap besok ya."
Aku hanya mengangguk pasrah.
Bu Nyai tidak tahu bahwa aku membawa handphone ke asrama, yang ia tahu bahwa aku hanyalah santri putra yang rajin hapalan dan murojaahnya, padahal 180° aku berbeda dengan sebelumnya.
Keesokan harinya, tibalah di mana acara semaan pondok berlangsung. Aku dengan gugupnya memegang mikrofon, tangan dan kakiku bergetar tanda belum siap tampil di depan. Mulailah aku mentasmi Al-Qur'an dengan membaca taawudz dan basmalah diawal.
Belum juga satu lembar, aku mentasmi Al-Qur'an, tiba-tiba suaraku terhenti tanda aku tidak bisa melanjutkan ayat yang sudah ku hapal.
Bu Nyai yang sedang menyimak semaanku, hingga akhirnya ia langsung memberikan sedikit arahan.
"Walahum--
"Walahum bikulli--
"Hmm-
"Walahum bima--
"Hmm-
"Walahum...," ucapku, seraya memandang ke atas, berharap mendapat hidayah agar bisa melanjutkan ayatnya.
"Walahum?" arahan Bu Nyai lagi-lagi lolos dari lisannya, seraya menatap ke arahku.
Aku hanya menggeleng pasrah.
"Tidak hapal?" Tanya Bu Nyai keheranan.
Aku lagi-lagi memberi isyarat, dengan sedikit menganggukkan kepala.
Baru kali ini Aku mengecewakan Bu Nyai. Baru kali ini juga aku tidak lancar dengan ayat yang dilantunkan, dan baru kali ini aku berhenti dan tidak melanjutkan ayat yang sudah dihapal.
"Ada apa Keenandyra? Kamu sedang memikirkan apa? Pengen nikah?" Tanya Bu Nyai berkali-kali, seraya menghampiriku yang terus menunduk menahan malu.
Aku hanya menggeleng, air mataku tidak bisa terbendung. Aku merasakan kehilangan, dan yang paling menyakitkan diantara kehilangan yaitu kehilangan hapalan Al-Qur'an. Ke mana hapalanku? Ke mana ayat suci Al-Qur'an yang sudah aku hapal selama setahun? Apakah hapalanku hilang gara-gara setan gepeng yang aku sembunyikan?
"Maafin Keenan, Bu Nyai," lirihku, seraya langsung mencium tangannya diiringi Isak tangis.
Bu Nyai hanya bisa tersenyum. Tangan kirinya mengusap punggungku, tanda ia sangat sayang. Mau bagaimanapun akhlak ku, tetap aku adalah santrinya, yang di mana kewajiban seorang Bu Nyai terhadap santrinya yaitu mendidik dan mengarahkan ke hal yang baik.
![](https://img.wattpad.com/cover/353174122-288-k517712.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomanceBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.