Pesona Ukhty Barbar

105 4 0
                                    

"Keen, ikut ke pengajian, yuk. Kebetulan ustaz Rizqy mau ngisi tausyiah," ajak ustazah Marwah.

"Siap ustazah, ayo kita lihat ustaz Rizqy," ucapku cepat-cepat, seraya melabuhkan sorban hingga betisku tertutup dengan rapat dan tidak terlihat aurat.

"Lah, kamu ini ke sana tuh buat dengerin tausyiahnya, bukan mau liat orangnya, Keen," ujar ustazah memaparkan.

"Hehe lihat ustaz nya harus, kalau dengerin tausiyahnya mah bonus."

"Kebalik, Keen,"  rengek ustazah seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Para santriwati lalu lalang, bukan hanya santri, tapi para tamu undangan termasuk wali santri juga ikut hadir dalam pengajian bulanan, pengajian itu dilaksanakan setiap akhir bulan, kebetulan tausiah kali ini akan diisi oleh putra dari seorang kyai pendiri pondok yaitu Muhammad Rizqy Hasbillah atau yang sering disapa dengan ustaz Rizqy.

Ah lagi lagi aku dibuat kagum olehnya bagaimana tidak, dia seorang pemuda yang paham ilmu agama, lembut tutur katanya, dan yang jelas dia belum menikah. Andai aku bisa memilikinya.

"Keen," panggil ustazah membuyarkan lamunanku.

"Euu-- iya ustazah?" Sahutku kikuk.

"Dengerin kalau ustaz lagi tausyiah tuh."

"Iya ustazah."

Bangunan masjid yang megah, lengkap dengan menara cantiknya, dua lantai tersusun, menjulang tinggi seperti sebuah harapan, ya harapanku tinggi ingin menikah dengan putra kyai. Namun itu hanyalah sebuah harapan, dan harapan itu berlabuh untuk manusia, pasti ujungnya akan kecewa, karena sebaik-baiknya harapan itu hanyalah berharap kepada tuhan.

Lantunan salawat menggema terdengar syahdu menyenangkan hati yang kian sendu, "Busyrolana nilnal muna."

"Ustazah, yang jadi vocal siapa?" Tanyaku penasaran karena sungguh suaranya menenangkan hati dan perasaan.

"Ustaz Rizqy, kenapa? Kamu suka?"

"Euu-- enggak, gak ada sejarahnya Keenan suka sama ustaz galak itu," alasanku yang sedikit memendam.

"Haha, dia gak galak, Keen," tutur ustazah untuk meyakinkan.

"Nggak galak dari mana, toh tiap hari Keenan  diberi hukuman terus," ocehku kesal.

"Itu mah salah kamunya, yang tidak nurut dan tidak taat peraturan, coba kalau kamu gampang diaturnya, rajin mengajinya, banyak hafalannya, pasti ustaz Rizqy juga bakal respect ke kamu, bahkan bisa jadi dia suka kalau kamu sholihah, ditambah kamu cantik parasnya, tapi alangkah indahnya jika paras cantikmu dibaluti dengan akhlak baikmu," papar ustazah menasehatiku.

"Benar juga ustazah Marwah, andai saja aku bisa ngaji, banyak hafalannya, paham ilmu agama, mungkin harapan itu akan aku perjuangkan, tapi apalah daya boro-boro aku pintar ngaji, baca iqro saja aku tidak bisa, ah sudahlah," batinku berkecamuk campur aduk.

Menyesal itu datangnya dari akhir kenapa pas umurku menginjak 17 tahun, aku baru mengenal dunia ke pesantrenan, kenapa nggak dari dulu saja. Teringat 10 tahun yang lalu ketika ibu masih ada, Ibu mengenalkan kepadaku siapa itu Sang Pencipta dan kekasih-Nya.

Lantunan salawat terus menggema menjadi pembukanya suatu acara, lengkap dengan tim hadroh santri putra, berjajar rapi di panggung yang sudah tersedia. Lagi-lagi terdengar suara ustaz Rizqy , "Wajah yang cantik yang cantik, akan lebih menarik, dengan perilaku yang baik, agar lebih mempesona taat Agama, berhijab lillahita'ala."

Lirik salawat itu seketika menamparku sakit tapi tidak berdarah.

"Tuh, apa kata ustaz juga dalam salawatnya Keen, percuma cantik tapi hatinya tidak baik," ujar ustazah Marwah.

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala, seraya termenung hanyut dalam kegelisahan.

Acara sebentar lagi dimulai, betapa kerennya pesona ustaz muda, selain pintar ceramah, ia juga jago salawat, dan sayangnya dia hanya sebatas guruku, bukan calon imamku.

Ustaz Rizqy selepas salawatan ia langsung naik ke atas mimbar yang sudah disediakan. Jubah yang berlabuh dalam tubuhnya, peci putih yang senada dengan warna jubahnya, tapi ada yang kurang lengkap dia tidak memakai sorban, karena sorban putihnya aku pakai sekarang.

"Bentar ya, ustazah," ucapku, seraya langsung pergi menghampiri Ustaz Rizqy.

Aku menelusuri tangga menuju lantai satu, di mana ustaz Rizqy itu berada, beserta jaamaah lelaki di sana. Aku naik ke tangga, lewat belakang, dan betapa terkejutnya ustaz Rizqy ketika dia melihatku. Aku heran kenapa ustaz Rizqy sangat beda menatapku, apakah dia suka ya, melihat penampilanku seperti ini.

Ustaz Rizqy memejamkan matanya.

Lagi-lagi aku dibuatnya heran, apakah ustaz Rizqy terpesona melihatku, hingga memejamkan kedua matanya.

Para jemaah lelaki terdiam seribu bahasa, bahkan tidak berkedip matanya.

Aku yang semakin heran menyaksikan para jemaah, kenapa mereka menatapku seperti itu, apa aku seperti bidadari yang turun dari kayangan, yang membuat mereka terdiam penasaran.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung memberikan sorban yang aku bawa di genggaman tangan kepada pemiliknya yaitu ustaz Rizqy, seraya berkata, "ini ustaz sorbannya."

"Keen--

"Iya Keenan tau kok ustaz suka sama Keenan," ucapku memotong pembicaraannya.

"Keen--

"Udah, ustaz itu kurang lengkap kalau belum pakai sorban," ujarku lagi, seraya kekeh memberikan sorbannya.

"Keenan!"

"Apasi ustaz, bilang aja cin--

"Keenaaaaaaan, kamu ini bikin ustaz, ustazah malu aja," rengek ustazah, seraya menarik tanganku untuk turun dari panggung menuju keluar masjid.

Ternyata ustazah diam-diam mengikutiku dari arah belakang.

"Apasi ustazah, Keenan mau memberikan sorban doang, kok," ucapku kesal.

Sesampainya di pelataran masjid.

"Liat, apa yang kamu pakai di bawah!" Sentak ustazah, seraya tangannya menunjuk ke arah bawah

"Kaos kaki," ucapku lugu.

"Iya, kaki yang sunah ditutupin, wajah yang sunah ditutupin, tapi betismu itu wajib ditutup, dan kenapa kau malah membukanya Keenan?!" Tanya ustazah, seraya matanya memerah, menandakan ia sedang marah.

"Euu-- Keenan salah ya, ustazah?" Tanyaku, seraya menunduk karena takut.

"Ya!"

"Maafin Keenan ustazah."

"Minta maaf tuh. Ke ustaz Rizqy."

"Ta-- kut," ucapku gemetar.

"Huh," ustazah menghela nafas, lalu ia pergi berlari keluar, menuju ruang pengurus.

Sementara aku ditinggal sendirian di depan masjid, menangis sejadi-jadinya, seperti anak kecil yang ditinggal ibunya, sampai suaranya terdengar ke arah mimbar.

"Huhuhu, ayahhhhh," tangisku pecah membuat para jemaah tidak fokus mendengarkan tausyiahnya, karena suasana yang gaduh, akhirnya ustaz Rizqy menutup tausyiahnya dengan doa, dan ia langsung menghampiriku yang tengah meringkuk di pelataran masjid.

"Keen--

"Jangan deket-deket, ustaz jahat! Huhuhu," tangisku semakin kencang, karena takut mendapat hukuman.

"Syuttt, udah jangan nangis, kayak anak kecil aja ah," rajuk ustaz Rizqy menangkan.

"Lagian, tadi pas Keenan memberi sorban bukannya terima kasih malah disentak, ditambah Keenan juga dimarahin sama ustazah Marwah, huhuhu," rengekku kesal, seraya terus menangis.

"Syut, udah atuh jangan nangis lagi, iya saya minta maaf, ya. Yasudah ayo ke asrama, ganti bajunya! Pakai training dulu, nanti saya beliin androknya," ujarnya dengan penuh kelembutan.

"Tapi jangan hukum Keenan," rengekku manja.

"Iya, iya, bawel."

"Anterin!"

"Manja amat si, eh mandaaa ini anterin besti kamu ke asrama," teriak ustaz Rizqy.

"Siap ustaz."

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang