PoV Angkasa
Sudah genap 22 tahun, aku jauh dari syariat Agama, salat jarang, apalagi membaca Al-Qur'an, bahkan huruf Hijaiyah pun aku tidak hapal. Ntah kenapa Allah memberiku sebuah hidayah, hingga aku ditempatkan di tempat yang mulia, didekatkan dengan teman yang selalu menasehati agar aku senantiasa dekat ke Sang Ilahi. Salat bareng, puasa bareng, ngaji bareng, bahkan aku sudah menganggapnya sebagai guru kehidupan, yang di mana ia bagaikan cahaya, ditengah-tengah kegelapan.
Cahaya itu bisa memberiku petunjuk, hingga aku tidak tersesat, karena ia memegang tanganku dengan sangat erat, menggandengnya, dan Insya Allah senantiasa bersama menuju surga-Nya. Tentu saja, dialah 'Ustaz Rizqy' yang sudah ku anggap sebagai saudara, sekaligus Murobbi Ruhina. Guru yang mengenalkan kepadaku, siapa itu Sang Pencipta, Rasul kekasih-Nya, dan Al-Qur'an sebagai kalam-Nya.
"Ustaz, setiap saya terbangun pada malam hari, selalu saja saya dengar ustaz mengaji, apakah ustaz tidak tidur ya?" Tanyaku heran.
"Kata siapa, Angka. Ingat gak dua tahun yang lalu aku pernah bilang apa?" Tanyanya balik.
Aku terdiam, seraya mengingat-ingat kejadian.
"Ouh, iya ustaz pernah bilang, bahwa ustaz juga manusia, ya kan?" Tanyaku.
Ustaz Rizqy mengangguk seraya berkata, "Iya betul, ustaz juga manusia, yang namanya manusia itu butuh tidur, butuh makan dan minum, toh saya ngaji setiap malam juga, karena saya sudah tidur sebelumnya. Kamu tidur saya juga tidur, cuma bedanya kamu bangun tengah malam untuk membuka handphone, kalau saya bukanya Al-Qur'an, kalau kamu bangun tengah malam karena punya hajat ke kamar mandi, kalau saya dipakai untuk munajat ke Sang Ilahi. Kita sama kok, sama-sama bangun, tapi aktivitas kita saja yang berbeda," tuturnya.
Aku mengangguk-anggukan kepala.
"Ouh gitu ya ustaz, jadi pengen ngaji bareng, boleh gak?" Tanyaku tanpa rasa gengsi.
"Ouh tentu saja boleh sahabatku, saya senang. Nanti malam kalau ada yang gedor-gedor pintu, berarti itu saya, hendak mengajakmu ngaji bareng, oke?"
"Siap, ustaz Muhammad Rizqy Hasbillah," jawabku semangat.
***
Malam pun tiba, yang di mana malam ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Malam yang sangat dingin, angin kencang masuk dari sela-sela ventilasi kamar, tapi malam ini juga aku sangat bahagia karena akan ngaji bareng bersama ustaz muda, sekaligus teman berbagi cerita.
Aku terlelap dalam tidur, dan aku bermimpi yang di mana mimpi itu seperti nyata terjadi, aku berada di sebuah gurun yang sangat panas, tidak ada air, matahari sangat dekat, hingga tubuhku basah, seperti mandi keringat, aku berusaha untuk bangun. Namun sangat sulit, aku tahu ini hanyalah sebuah mimpi, lalu aku cubit kulit, hingga terasa sakit.
"Astaghfirullah."
Aku terbangun, dan benar saja. Tubuhku basah, bermandikan keringat, cahaya matahari tersorot ke gorden, hingga nampak terang dan terasa gersang. Tidak! Aku bangun kesiangan, apa ustaz Rizqy tidak membangunkan ku tengah malam?
Tanpa pikir panjang, aku langsung keluar dari kamar, menuju kamarnya ustaz Rizqy, yang masih tertutup rapat.
Tuk! Tuk!
"Assalamualaikum, ustaz!" Teriakku kesal.
"Waalaikumussalam, kenapa Angka? Kamu sudah salat subuh belum?" Tanyanya langsung.
"Belum, jangan salahkan aku. Ini semua salah ustaz yang gak ngebangunin!" Tegasku, seraya menyender ke pintu yang belum dibuka.
Kriek! Brak!
"Aw, aw, sumpah ustaz jahat banget," rengekku, yang tersungkur ke permukaan, seraya memegang bahu sebelah kiri, terasa menyakitkan.
"Allahuakbar, Angka hati-hati--
"Telat!"
"Haha."
"Bukannya di tolongin, malah ketawa," ketusku kesal.
"Haha, lagian kamu ngapain coba pagi-pagi," omelnya, seraya membantuku untuk berdiri, dan mempersilahkan duduk di kasurnya yang sudah tertata rapi.
"Ustaz katanya janji, mau ngebangunin aku, mau gedor-gedor pintu, bohong!" Ucapku datar.
"Allahu, Angka Sudah ada sepuluh kali saya bolak-balik ke kamar kamu, buat gedor-gedor pintu, sampe engsel pintu kamarmu mau rusak, coba liat saja sana, betapa kesal, saya punya sahabat yang susah dibangunin pas waktu salat! Eh yang bangun bukannya, kamu Angka, malah si Keenandra, dia marah-marah karena terganggu waktu tidurnya!" Tegas Ustaz Rizqy, seraya mulutnya komat-kamit tidak terima.
"Ah, yang bener," ucapku pura-pura tidak percaya.
"Coba, pernah gak saya berbohong selama ini?" Tanyanya balik, seraya tangannya memegang kedua bahu ku untuk berhadapan dengannya.
"Ustaz romantis banget," ledekku pakai nada becanda.
"Bodoamat, dah!" Ketusnya, seraya langsung pergi keluar meninggalkanku sendirian di kamar.
"Haha."
Tidak terasa sudah genap tiga tahun aku menuntut ilmu di kota seribu wali, Tarim Hadramaut Yaman, tinggal menunggu satu tahun lagi aku akan menyelesaikan tugas akhir, dan pulang ke tanah air. Bertemu dengan keluarga, dan berkumpul bersama orang-orang yang aku cinta. Namun ada yang kurang, aku masih merasa kehilangan seseorang. Ntah di mana dia, apakah dia masih hidup atau tidak, aku tidak tahu, ku harap dia bahagia dan baik-baik saja.
Begitupun dengan Ustaz Rizqy, dia juga sama akan menggelar sarjananya, sama-sama dari Indonesia, dan kemungkinan aku akan ikut bersamanya, untuk mengabdi di pondok pesantren milik Abinya, yaitu Kyai Rozaq. Aku tidak menyangka akan sejauh ini, dan tidak menyangka juga akan ketemu para santri, dan Kyai. Alhamdulillah, terima kasih, Ya Rabb.
"Ustaz Rizqy, mau ke mana? Saya ikut!" Pintaku, seraya berjalan dibelakangnya.
"Sehari saja, jangan ikuti saya. Stres saya lama-lama dekat kamu, Angka ngeselin!" Ketusnya yang masih kesal.
"Allahu, ustaz. Jangan begitu, tidak baik. Gak papa ngeselin, tapi ngangenin, awas aja nanti kalau sudah pulang ke tanah air, siapa yang akan kangen duluan," candaku, seraya berjalan di sampingnya.
"Iya deh iya, maafin ya. Mau ikut Angka? Saya mau ngisi pengajian," ajaknya.
"Wajib ikutlah."
"Emang sudah salat subuh?"
"Belum."
"Bagaimana mungkin kamu nurut akan perintah dan ajakan saya sebagai makhluk-Nya, tapi kamu malah mengabaikan perintah Sang Maha Pencipta, yang sudah menciptakanmu, aku dan makhluk yang lainnya!" Tegasnya memperingatkan.
Aku hanya menunduk.
"Ayo, salat dulu. Saya tunggu, ya," tuturnya lembut.
"Siap Abi Rizqy."
"Abi? Uminya mana?"
"Tuh!" Ucapku, seraya menunjuk handphone nya yang ber wallpaper seorang wanita bercadar tengah memanjat gerbang.
"Astaghfirullah," ucapnya yang langsung mendaya matikan handphonenya.
"Hayoh siapa, ah diam-diam punya calon juga, nih," ledekku.
"Diam, ah!"
"Barbar lagi Ukhty nya, haha," ledekku kembali.
"Angkasaaa, bisa diam gak?!"
"Cie, Ukhty Barbar."
"Sama kayak kamu tuh sebelas dua belas, barbarnya gak ketulungan, selalu bikin orang kesel!"
"Kesel tapi cinta, haha," ledekku berkali-kali.
Ustaz Rizqy hanya diam, seraya langsung berjalan cepat meninggalkanku, tanda ia benar-benar marah, sampai mukanya memerah.
"Iya deh iya, maafin aku Ustaz," teriakku.
"Mandi! Salat subuh! Nanti nyusul ke pengajian!" Tegasnya.
"Hehe, siap ustaz Barbar!" Teriakku.
"Terserah!"
"Haha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomanceBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.