Bintang Gemintang

52 3 0
                                    

Anak kecil berusia lima tahun itu, dinamai 'Bintang' olehku. Aku harap ia tumbuh menjadi pribadi yang baik, bersinar terang layaknya bintang gemintang, yang dapat menyinari sekitar. Tubuhnya yang kedinginan kini terselimuti oleh hangatnya sebuah ruangan, kasih sayang, dan perhatian.

"Sungguh tampan anak ini," gumamku dalam hati, usai memakaikan pakaian bekas ustaz Rizqy pas masih kecil, yang dikasih oleh Bu Nyai.

"Andai dia tumbuh dewasa, mungkin aku akan jatuh cinta dengan ketampanannya," lirihku, seraya tersenyum.

Tanganku bergerak mengambil sisir, lalu menyisir rambutnya yang tidak disisir selama berbulan-bulan lamanya. Rambut itu yang semula kusut, kini tertata rapi, alisnya tebal tersusun bak semut yang berkumpul, matanya tajam, bulu matanya lentik, dengan hidung yang mancung, di tambah lesung yang mengukir pipinya. Ah, semakin tampan saja dia.

"Angkasa?"

"Bintang?"

"Kenapa mereka hampir sama, sama-sama tampan, dan sama punya lesung di pipi sebelah kirinya," gumamku.

Bentar, aku tidak tahu suara Bintang seperti apa, karena dia belum berani buka suara sejak pertama berjumpa. Ia hanya mengisyaratkan saja, kalau tidak mengangguk, pasti ia akan menggelengkan kepala. Aku mulai memancing percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan kecil, seraya tubuhku berhadapan dengan tubuhnya yang mungil.

"Bintang?" Panggilku, seraya menatapnya.

Ia tidak menyahut, lagi-lagi menjawab dengan isyarat matanya, yang menatapku balik.

"Bintang? Kamu kelas berapa?" Tanyaku, seraya mendongakkan kepala agar lebih dekat.

Ia tidak menjawab, lagi dan lagi ia memberiku isyarat dengan jarinya, bahwa ia kelas 1.

"Kelas satu? Terus sekarang sekolah nya gimana? Apakah masih sekolah?" Tanyaku kembali.

Kemudian ia menggeleng.

Aku bingung, peristiwa apa yang membuat dia diam membisu seperti itu? Seperti menyimpan rasa sakit yang sangat dalam, hingga membuatnya terus diam membungkam. Sungguh aku ingin mendengar suaranya. Apa mungkin dia masih trauma dengan luka yang bersumber dari keluarganya? Ah, aku tidak tahu, yang jelas aku sangat khawatir.

"Yasudah, nanti sekolahnya di sini ya, sambil mondok, nanti diajarnya sama kakak. Sekarang kamu istirahat ya," ujarku, seraya mengusap lembut kepalanya.

Bintang hanya mengangguk-anggukan kepala.

Aku tidak berharap lebih. Harapanku hanya satu, ingin memberikan yang terbaik untuk anak ini. Anak yang pernah ku tabrak, hingga terbanting ke semak-semak yang ada dipinggir jalan. Namun dia tegar, tidak menangis seperti anak yang lainnya. Hatinya kuat, tapi ntah dengan batinnya. Mungkin dia sedang menangis menahan luka yang terus menganga.

Aku bisa mengambil pembelajaran, bahwa banyak orang yang lebih susah, sakit, perih, letih, di luar sana. Namun, mereka tidak berisik seperti kita. Contohnya Bintang, dia hanya diam seribu bahasa, dan tidak mengutarakan isi hatinya.

***

PoV ustaz Rizqy

Triling!

Ada pesan masuk ke grup WhatsApp berupa video, seperti biasa grup 'Keluarga Besar Pondok Pesantren Miftahul Jannah' kali ini bukan umi yang ngirimnya, melainkan mang Heru, satpam yang suka menjaga gerbang setiap harinya.

"Ah, dari Mang Heru. Pasti gak penting!" Ketusku, seraya menyimpan kembali handphone ke saku bagian depan.

Belum juga beberapa menit, handphone ku sudah ramai berdering.

Triling! Drrrt, drrrt, drrrt.

"Ih apasi!" Ketusku kembali.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka grup WhatsApp yang terus bermunculan notifikasinya. Terlihat di grup, para ustazah sedang gaduh, memperbincangkan seseorang yang nekat kabur dari asrama.

"Siapa itu Mang Heru? Apakah si Keenandyra?" Tanya ustazah Sabil.

"Siapa lagi kalau bukan si Keenan, ustazah," jawab Mang Heru.

"Allahuakbar, itu anak ngapain lagi? Akumah pusing ngurus anak satu, kayak ngurus anak kembar 12 yang masih pada kecil," tukas ustazah Marwah dengan emot menangisnya.

"Ukhty Barbar? Beraksi lagi?" Tanyaku dalam hati.

"Bukannya ia sudah insaf ya, jadi penghafal Qur'an," lirihku.

Aku langsung membuka vidionya. Belum juga vidio itu diputar terlihat si Ukhty Barbar sedang berada di atas puncak gerbang dengan santainya. Allahuakbar, dia wanita apa makhluk jadi-jadian si, barbar banget dah. Ku putar vidionya, terlihat ia yang sedang mengenakan abaya hitam, hijab pashmina, ditambah cadar. Namun karena berada di atas gerbang, hingga celana legging nya nampak terlihat dan membentuk kaki jenjangnya. Sungguh seksi ia, terlihat lekuk tubuhnya, karena abayanya ia singkapkan, tanpa rasa malu kepada Mang Heru yang memvideokan.

Aku ikut berkomentar di grup.

"Innalilahi, Ustazah Marwah itu kenapa adiknya? Berulah lagi?" Tanyaku lewat pesan ke grup WhatsApp.

"Ah, Ndak tahu ustaz. Rasanya saya sudah gagal mendidiknya. Kayaknya harus sama ustaz langsung deh, baru bisa," ujarnya memakai emot tertawa.

"Iya, pasti bisa. Ayo makanya tuh ustaz nikah muda sama si Keenandyra," pesan ustazah yang lainnya.

"Oh, gak bisa. Kalau saya seatap dengannya, lama-lama kepala saya pecah, haha," ucapku memakai pesan suara.

"Haha."

"Terus sekarang gimana ustazah, Keenan sudah kembali ke asrama?" Tanyaku khawatir.

"Kalau khawatir bilang saja nak Rizqy," ujar umi, ditengah-tengah percakapan.

Deug!

"Euu-- enggak, mi boro-boro Rizqy khawatir, malah bersyukur kalau si Ukhty Barbar gak ke asrama lagi," ucapku yang sedikit menutupi.

Tanpa berbincang-bincang lebih lama di grup WhatsApp, aku putuskan untuk tidak membalas pesan, karena aku sudah tahu endingnya, pasti aku yang akan terpojokkan, dan itu sangat mengesalkan. Untung saja Abi tidak ikut nimbrung, ah kalau sampai ikut-ikutan, malunya sampe menusuk ke tulang.

Diary kecil yang selalu aku bawa ke mana-mana, pena yang berisikan tinta menggoreskan kata yang mewakili rasa di dalamnya, yang bertuliskan:

ku tumpahkan rasaku dalam setiap tulian yang bermakna. Ku sampaikan pujian demi pujian padamu duhai kasih di dalamnya. Sungguh tatap mu disudut mata, mampu menggoyahkan dinding dibalik dada, debarannya kian kuat saat tatap mu mulai melekat dibenak.

Mampukah raga ini menahan hati yg kian tak terkendali, menyebut nama dan menginginkanmu jadi milku seutuhnya?

Ku percayakan padaMu ya Robbi, ku mohonkan padaMu ya Robbi, izinkan diriku didampingi bidadariMu ini di Dunia dan Akhirat nanti.

Begitulah Aku mengagumiMu, cantikmu abadi dalam tulisanku.

Tak ternoda olah debu, tak usang dilahap zaman, menjadi begitu elok bak cahaya rembulan yang begitu tampak dibalik sehelai kain hitam seperti pekatnya malam.

Tatap mu membuatku menetap.

Biarkanlah diam ini menjadi penjaga bagi langkah dan gerak yang kadang mendekati salah. Biarlah hening ini menjadi penambah, penambah rasa dalam rindu yang belum berujung temu. Biarlah bila tidak saling menatap, tapi saling mendo'akan agar pada saatnya kita saling menetap di satu atap bersama.

Tiada yang sia-sia, tiada yang terbuang percuma. Semuanya akan terbalaskan sesuai dengan yang telah kita usahakan.

Hapuskan lah segala resah dan bimbang yang kadang datang saat ragu mulai menghujam. Yakinkan lah ini jalan yang terbaik untuk diriMu, diriKu dan kita dimasa yang akan datang.

Berkali-kali aku tepis perlahan keinginan yang menjauhkan ku dari Sang Pemilik Qolbu

Biarlah cinta ini berada di jalan yang semestinya. Aku sibuk dengan-Nya, dan kamu juga sibuk dengan-Nya, hingga pada akhirnya aku dan kamu bersatu atas takdir-Nya.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang