Tiga tahun berlalu, aku masih menuntut ilmu di pondok pesantren yang sama, satu tahun aku menamatkan hafalan Qur'an, satu tahun aku hapal nadzom alfiyah seribu bait, dan satu tahunnya lagi aku butuh seorang pendamping hidup, namun tak kunjung hadir karena belum takdir.
Bukannya tidak ada yang melamar, banyak malah, dari yang remaja sampai ke yang tua renta, cuma ntah kenapa aku hanya menunggu sosoknya, yang aku kagumi dan kehadirannya sangat dinanti. Sungguh lama, hingga dalam penantian, ujian selalu datang untuk menggoda perasaan.
Salah satunya ujian dari seorang ustaz yang sudah menikah, punya istri di rumah, punya anak lebih dari dua, dan umurnya sudah kepala lima, yang jadi permasalahannya ustaznya ngejar aku, katanya si cinta, cuma aku tidak mau merusak hubungan rumah tangga yang sudah dibina selama bertahun-tahun lamanya.
"Keenan ada?" Tanya ustaz kepada santri putri.
"Ada, di belakang, ustaz," jawab salah satu santri.
"Mana? Sini maju Keenan ke depan! Depan saya, sini!" Pintanya, seraya melambai-lambaikan tangannya.
Awalnya aku biasa saja, toh dia seorang guru, yang mengerti akan ilmu, dan aku sebagai santri harus nurut kepada seorang kyai. Akhirnya aku maju di jajaran paling depan, tepat di hadapan ustaz tersebut.
Pertemuan dengan ustaz diadakan seminggu sekali, tepatnya di malam Senin, dan setiap kali pertemuan, anehnya lagi dan lagi aku disuruh maju ke depan. Oke, aku masih memakluminya, karena toh aku yang paling dewasa di sana.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasakan sebuah kejanggalan, di mana aku diperlakukan beda dengan santri yang lainnya, dikasih uang, dibelikan jajan, diberi perhatian, dan dicari-cari ketika aku tidak mengaji.
PoV Penulis
"Keenan, ke mana?" Tanya ustaz dihadapan para santri.
"Nggak masuk, ustaz. Lagi disuruh Bu Nyai, jaga Asrama," jawab salah satu santri.
"Ouh, kasih surat ini kepada Keenan," ujarnya, seraya memberikan sepucuk surat.
***
Sudah lima kali pertemuan aku tidak masuk kelas, bukannya aku pemalas, tapi ini suruhan Bu Nyai dan Kyai Rozaq, bahwa ada yang tidak beres dengan ustaznya, hingga setiap kali pertemuan, aku disuruh diam di asrama sebagai bentuk penjagaan.
"Keenan! Kalau misalnya kamu sekali lagi merespon ustaz yang sudah berumah tangga, atau lelaki di luar sana, maka sudah! Keluar saja kamu dari pondok ini!" Tegas Kyai Rozaq.
Deug!
Aku hanya diam, tertunduk. Apalah daya aku tidak punya apa-apa, tidak punya kuasa, hanya sebatas santri yang harus nurut ke Kyai, dan tidak membantah guru mengaji.
Tiba-tiba Amanda tergopoh-gopoh menghampiriku, seraya memanggil, "Keen, Keen, tau gak?!" Tanyanya, ngos-ngosan, karena nafasnya tidak beraturan.
"Apasi Manda, ah suka ngagetin," ujarku penasaran.
"Ustaz Keen, Ustaz!" Tegasnya, seraya menunjuk-nunjuk ke arah luar.
"Hah? Ada ustaz? Mana?" Tanyaku panik, seraya langsung bersembunyi dibalik almari.
Amanda menepuk jidatnya seraya berkata, "Bukan, Keen. Maksudnya ini aku bawa surat dari Ustaz buat kamu!" Tegasnya.
"Hah? Surat apa dah, ah, buang aja! Bakar! Bakar!" Pintaku, seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Syut! Jangan gituh, nggak barokah nanti ilmumu, Keen. Coba buka dulu!" Pintanya merajuk.
Aku membuka perlahan suratnya, dan betapa kaget surat itu bertuliskan, "Keen, besok saya akan kejar-kejar kamu!"
Deug!
"Apa? Apa isi suratnya?" Tanya Amanda penasaran.
Aku hanya menggeleng, dan langsung berlari menuju rumah Kyai. Aku langsung mengadukan perlakuan ustaz kepadaku selama ini, bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, butuh penjagaan, butuh perlindungan, dan kepada siapa lagi setelah kepada Allah akan mengharap perlindungan? Kalau bukan ke Bu Nyai dan Kyai Rozaq, yang sudah ku anggap orang tua sendiri di pondok pesantren yang selama ini aku diami.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, ada apa Keen?" Tanya Kyai Rozaq, seraya membukakan pintu.
"Maaf Kyai, Keenan dapat surat dari Ustaz lewat Amanda. Katanya Keenan akan dikejar-kejar besok," tuturku, seraya menangis sejadi-jadinya.
Kyai Rozaq langsung panik, ia khawatir kepada santrinya, terkhusus kepadaku, yang terus dikejar, padahal sudah menghindar. Lalu ia putuskan untuk mengeluarkan Ustaz, demi menjaga dan takut terjadi hal yang tidak diduga-duga.
"Aduh Allahuakbar! Yasudah jangan menangis, kamu tidak salah kok Keen, ayo kembali ke asrama, biar saya selesaikan masalah ini," tutur Kyai menenangkan.
Aku mengangguk.
Ternyata benar, bukan hanya mengejar yang sakit, dikejar juga tidak kalah sakit. Apalagi dikejar sama yang tidak kita cinta, malah yang ada kita terluka, dan terus berduka. Ya, seperti sebuah bencana, hadirnya membawa hikmah dalam jiwa, bahwa kita harus lebih hati-hati dan menjaga, apalagi seorang wanita ia sangat menarik dan mudah tergoda, jadi tingkatkan rasa malumu wahai wanita yang ada dibelahan dunia.
Merdeka! Ustaz tidak lagi ngajar di pondok kami, karena perbuatannya sendiri yang mengganggu kenyamanan santriwati.
"Cie mau jadi istri ke dua," ledek ustazah Marwah.
"Apasi ustazah, ah buat ustazah aja, kan sama-sama pengajar, haha," ledekku.
"Ih, ndak mau! Bukan kriteriaku, Keen. Akan aku usahakan, calon suamiku nanti yang Sholih, yang paham ilmu agama--
"Nah, cocok berarti ustazah! Kan ustaznya juga pintar ilmu agama--
"Bentar belum selesai, Keen! Maksud Ustazah tuh, yang muda, berwibawa, dahlah intinya belum berumah tangga, ya kalau sudah kepala lima mah skip ah, gak minat!" Tegasnya tidak menerima.
"Haha."
Ada-ada saja perjalananku menuntut ilmu, karena ujiannya seoarang santri yaitu kalau tidak futur (malas) maka dia akan jatuh cinta sebelum halal. Allah dekatkan dia seolah-olah membawa cinta, padahal itu hanya hawa nafsu belaka.
"Keen, katanya jodohnya pengen ke ustaz! Giliran udah dikasih sama Allah, eh gak mau, gimana si!" Ketus ustazah meledekku.
"Apasi ustazah! Ustaznya yang kayak gimana dulu. Kalau ustaz Rizqy, aku mau, haha," candaku seraya tertawa.
"Haha, bisa aja kamu ini."
***
Triling, drrrt, drrrt!
Tepat pukul 01.30 jam beker telah berbunyi nyaring ditengah-tengah ruangan. Ruangan kecil yang menyimpan sejuta kenangan, dan ruangan kecil pula menampung jiwa-jiwa kesatria yang paham ilmu Agama. Sunyi senyap, hanya jam beker yang terus berdering dengan kerasnya, memekakkan telinga, sehingga aku terbangun malam itu juga.
Celingak-celinguk mencari jam beker yang masih berdering, setelah aku berhasil menggapai jam beker tersebut, aku langsung memencet tombol off, seketika bunyi jam beker terhenti. Terkadang aku suka kesal dengan sesuatu yang mengganggu istirahat, tapi ini sudah menjadi kewajibanku yang harus taat. Bukan hanya taat ke Sang Pencipta dengan menunaikan ibadah ditengah malam yang gelap gulita, tapi ini juga termasuk taat ke Murobbi Ruhina, guru ngaji yang mengajarkan Ilmu Agama.
Aku tenggelam dalam cinta-Nya, bermunajat di sepertiga malam-Nya, lalu aku berbisik dalam sujud yang panjang, "Terima kasih Ya Rabb, karena engkaulah sebaik-baiknya pelindung, yang sudah melindungi ku kapan pun di mana pun, thanks Allah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomanceBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.