Antara Angkasa dan Bintang

56 1 0
                                    

PoV Angkasa.

Sudah sepekan aku ikut bersama ustaz Rizky, menghidmahkan diri di pondok pesantren milik Abinya. Dalam sepekan ini aku belum mengajar, melainkan beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan sekitar.

Menurutku lingkungan ini sangat nyaman, karena lagi dan lagi aku selalu dibuatnya tenang, oleh lantunan dzikir siang dan malam, lantunan ayat suci Al-Qur'an, dan suara santriwati yang menenangkan hati dan pikiran. Astaghfirullah, baru juga sepekan aku mulai goyah oleh perasaan.

Mulai hari ini, aku mulai mengajar di asrama putra, tepat di kelas 4 ibtida. Para santri antusias menyambut ku di gerbang asrama, bercium tangan bersalaman, dan menyapaku dengan sebutan ustaz tampan. Ah ada-ada saja tingkah mereka, mampu membuatku bahagia.

"Eh, eh ada ustaz tampan. Ayo masuk-masuk," ucap salah satu santri putra, kepada temannya.

"Ustaz tampan dari mana? Kan saya pakai masker (penutup wajah)" ujarku heran.

"Tetap saja tampan, keliatan dari matanya juga," ucapnya yang semakin ngaco.

"Haha, ada-ada saja kamu ini, ayo masuk. Sekarang kita belajar Bahasa Arab, ya."

"Iya ustaz tampan," ucap santri serempak.

Aku tersenyum dalam hati. Jangan sampai aku punya rasa sombong dalam diri, rasa ingin dipuji, disanjung tinggi, apalagi merasa diri lebih baik dari yang lain. Tidak! Aku tidak mau seperti itu, dan kenapa aku selalu memakai penutup wajah di saat keluar rumah? Karena aku tidak mau, tatkala penutup wajah dibuka, orang-orang akan memujiku disebabkan ketampanan yang aku punya. Sungguh aku tidak mau hal itu terjadi, karena hal itu yang membuat berkaratnya hati.

"Bintang Gemintang," panggilku, seraya mengabsen satu persatu.

"Hadir," sahutnya, seraya mengacungkan tangan.

"Nama yang sangat bagus, buy the way nama kita sama, sama-sama di langit. Saya Angkasa, kamu Bintang," ujarku, mencairkan suasana.

"Matanya juga sama kak, coba deh liat," ujar salah satu santri.

"Iyakah?" Tanyaku, seraya mengernyitkan dahi.

Setelah ku tatap, Masya Allah, bukan hanya sorot mata yang sama, tapi dari keseluruhan rupaku hampir sama dengannya. Hidungnya, bibir tipisnya, lesung pipinya, ah itu semua gambaranku ketika duduk di bangku sekolah dasar, dulu sekitar tiga belas tahun yang lalu.

"Coba di sini siapa yang berani maju ke depan, untuk menjelaskan kembali materi yang sudah disampaikan?" Tanyaku kepada para santri kelas 4 ibtida, diakhir pelajaran.

"Saya, ustaz," sahut salah satu santri jajaran depan pojok kanan, seraya mengacungkan tangan. Ternyata santri itu Bintang, dia paling aktif dikelas, selalu juara dan selalu mendapat nilai baik dari gurunya.

"Ya, silahkan Bintang maju ke depan, untuk menjelaskan kembali materi yang sudah saya sampaikan," pintaku, seraya tanganku mempersilahkan Bintang untuk segera maju.

"Baik, ustaz. Jadi materi kali ini yaitu tentang dhomir, sebut saja kata ganti untuk orang pertama, ke-dua, dan ke-tiga, diantaranya ada, huwa, huma, hum, hiya, huma, hunna, anta, antuma, antum, anti, antuma, antunna, ana, nahnu. Contoh kalimatnya yaitu, ana adhabu ilal madrasah, artinya saya pergi ke sekolah, jadi kata ana itu sebagai pengganti dari orang pertama 'aku' menunjukkan bahwa si aku ini hendak pergi ke sekolah," tuturnya, dengan sangat jelas.

"Bagus sekali, beri tepuk tangan," ucapku mengapresiasi.

Prok! Prok! Prok!

Usai mengajar, aku sempat berbincang dengan Bintang, anak yang pintar, tampan, dan berjiwa tegar. Dia bercerita awal mula masuk ke pondok pesantren Miftahul Jannah

"Tiga tahun yang lalu, ketika aku berjalan dengan Ibu di siang hari, tiba-tiba ada pengendara motor yang berlaju dengan sangat kencang, hingga tubuhku yang kecil tersenggol, lalu terbanting ke pinggir jalan, sempat terjerembab ke semak-semak rerumputan--

"Astaghfirullah, yang nabraknya siapa? Tega bener!" Ketusku memotong pembicaraannya.

"Santriwati, dan sekarang dia sudah ku anggap kakak ku sendiri," lanjutnya.

"Hah? Santriwati? Apa pembalap motor, Bintang?" Tanyaku, yang masih tidak percaya.

"Santriwati, Ustaz--

"Siapa namanya?" Tanyaku mulai penasaran.

"Dia yang sering di cap 'Ukhty Barbar' oleh kalangan santri, ustazah, dan Kyai," tuturnya.

"Calonnya ustaz Rizqy?" Tanyaku dalam hati. Selang tiga detik, "Kok bisa, seorang ustaz jatuh cinta ke wanita yang barbarnya diatas rata-rata," hatiku bertanya-tanya.

"Kamu menganggapnya sebagai kakak?" Tanyaku yang tidak habis pikir.

Bintang mengangguk.

Punggung tanganku menempel di atas dahinya seraya berkata, "Kamu waras, Bintang? Nggak sakit?" Tanyaku heran.

"Nggak, ustaz. Serius dia kakak aku, toh dia baik, mau saya salamin, ustaz?" Tanyanya seraya tertawa.

"Astaghfirullah, amit-amit ya Allah, boro-boro aku suka, dari tingkahnya saja bikin aku pusing kepala," omelku tiada henti.

"Ah, ustaz. Amit-amit, apa aamiin-aamiin," ledeknya seraya kembali tertawa, hingga tawanya kencang sampai terdengar ke ustaz Rizqy yang masih mengajar.

"Angka," panggil ustaz Rizqy.

"Euu-- iya-iya ustaz barbar," sahutku, yang salah memanggil.

Tiba-tiba tanpa diminta, ustaz Rizqy sudah berada diambang pintu seraya berkata, "Apa-apa?"

"Ampun, ustaz ampun," ujarku, seraya cengar-cengir.

"Eh, siapa itu anak kamu, Angka?" Tanyanya heran, seraya menunjuk Bintang yang berada di sampingku.

"Bukan, dia santri baru sekitar tiga tahun yang lalu, tahu tidak ustaz? Dia adiknya si Ukhty Barbar," tuturku memberi tahu.

"Hah? Gimana ceritanya? Orang dia mah gak punya adik!" Tegasnya tidak percaya.

"Haha, nanti saya ceritain deh di rumah, ayo makanya ustaz pulang, rajin amat dah, sudah jam 12 belum beres-beres ngajarnya," omelku.

"Iya ini udah, saya mau pulang."

"Gas!"

Kami berdua pulang ke rumah ustaz Rizqy yang berada di komplek asrama putri, padahal hanya beberapa puluh langkah saja, cuma kami malas untuk jalan kaki, jadi memilih untuk naik mobil Kyai, ditengah perjalanan kami asik berbincang menceritakan kehidupan si Bintang. Awal mula dia ke pondok, latar belakangnya, kronologisnya, sampai ustaz Rizqy kaget, bahwa yang menabraknya yaitu si Ukhty Barbar yang sekarang ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

"Why? Kenapa si Ukhty Barbar jago balapan liar?" Tanya ustaz Rizqy keheranan.

"Haha, tau ah, ustaz tuh suka ke yang begituan, santriwati banyak yang shalihah, staz banyak para ustazah yang belum pada nikah, eh tetap saja milih dia, susah si dibilanginnya!" Ocehku.

"Andai kamu tau parasnya Angkasa, pasti kamu juga akan jatuh cinta," tuturnya serius.

"Ah, masih cantikan wanita idamanku," ucapku dengan pedenya.

"Siapa? Yang cewek luar itu? Yang gak pakai hijab? Ih, mending si--

"Eh, asli ustaz dia cantik, pas jaman saya sekolah di SMA, dia tercap wanita paling cantik di sekolah, bahkan para guru muda kalah oleh pesonanya," kekehku yang tidak mau kalah.

"Tapi sekarang dia gak ada, kan. Haha," ledeknya seraya tertawa kencang.

"Iya si," ujarku datar.

"Andai si Keenandyra masih ada, pasti si Ukhty Barbar akan kalah kecantikannya. Ah, kini dia hanya tinggal nama yang terus terukir dalam jiwa, ntah raganya di mana," batinku sendu.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang