Berulah Lagi

58 3 0
                                    

Aku pikir bakal dapat hukuman, ternyata tidak. Syukurlah, mungkin saja jika aku berulah lagi, mungkin akan sama, tidak dapat hukuman lagi, semoga saja begitu. Aku diam-diam menelepon ustaz Rizqy, lewat telepon genggam yang ada di ruang pengurus, karena aku sudah tahu, dan sering diajak ke ruang itu oleh ustazah Marwah. Namun, berbeda kali ini, tanpa sepengetahuannya aku berusaha menyelusup ke dalam ruangan yang bernuansa biru.

Pintu kubuka dengan pelan-pelan, kebetulan hari ini adalah hari Jumat, di mana pengajian diliburkan, otomatis ustazah juga tidak mengajar, dan tidak ada di dalam ruangan. Ah sayangnya, pintunya terkunci. Aku berusaha mencari kunci ke sana kemari.

"Apa aku harus tanya ustazah Marwah ya?" Tanyaku dalam hati.

Tanpa berpikir panjang, aku membangunkan ustazah Marwah yang tengah tertidur di dalam masjid. Seperti biasa ia suka ketiduran pas murojaah Al-Qur'an.

"Ustazah, ustazah," panggilku, serayu menepuk-nepuk pundaknya dengan sangat pelan.

"Mmm, apa Keenan, diam ustazah ngantuk, pengen istirahat dulu," jawabnya datar, lalu melanjutkan tidurnya.

"Ustazah, ruangan pengurus kan kosong ya, karena kan para ustazah nya tidak mengajar--

"Hmm, terus?"

"Emang gak di kunci? Kan takutnya ada yang masuk ke sana," ucapku untuk memulai aksi. Padahal aku tahu, pintu itu sudah dikunci, tapi aku tidak tahu kuncinya ada di mana.

"Di konci, kok," ucapnya singkat.

"Ouh iyakah, yang suka nguncinya siapa ustazah?" Tanyaku penasaran.

"Ustazah."

"Ouh, ustazah? Emang ustazah suka bawa kunci ya? Kok aku gak pernah lihat?" Tanyaku berkali-kali, yang berhasil membuatnya kesal.

"Bawel, ah. Yah di simpen Keen di almari," ketusnya kesal.

"Oh oke ustazah, Keenan pergi dulu ya, silahkan ustazah lanjutin lagi istirahatnya," ucapku santai.

"Hmm."

Aku langsung berlari menuju asrama. Mengecek almari ustazah Marwah, siapa tau ada kunci di sana. Alhamdulillah, kunci telah aku temukan, tersimpan rapi di pojok sebelah kanan. Tanpa membuang waktu aku langsung membuka ruangan pengurus.

Kriek!

Pintu kubuka, aku langsung berlari menuju telepon genggam yang ada di sana, menghubungi ustaz Rizqy, karena saking rindunya yang terus berkecamuk dalam hati.

"Assalamualaikum ustaz?"

"Waalaikumussalam, iya kenapa ustazah.

"Euu-- ini bukan ustazah, tapi ini--

"Keenandyra?" Tanyanya dengan cepat, memotong pembicaraanku.

"Hehe, itu ustaz tahu," ucapku bahagia.

"Mau apa nelepon? Lagian kamu sudah ijin belum ke ustazah? Main masuk-masuk aja ke ruangan pengurus?! Matiin gak?!" Tegasnya, yang berhasil membuatku tersentak.

"Ustaz marah-marah terus, nanti cepet tua. Lagian apa salahnya coba, Keenan tuh rindu, emang ustaz gak rindu sama Keenan?"

"Rindu, Keen--

"Hah, asli ustaz?" Tanyaku tidak percaya.

"Iya, rindu menghukum mu! Buru matiin teleponnya! Kunci lagi ruangannya! Apa mau saya laporkan ke ustazah? Ke umi abi? Biar kamu dihukum langsung oleh mereka!" Tegasnya dengan nada tinggi.

"Lah, ustaz gak seru ah, gak kayak sinetron di televisi, dan gak kayak cerita novel di karangan fiksi--

"Bodo amat!" Teriaknya, seraya mematikan telepon genggamnya.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang