Melepas Rindu

60 1 0
                                    

Sudah empat tahun aku menunggu, ya menunggu orang yang sama, yang tak kunjung datang ke negara Indonesia, mungkin ia masih betah di negara timur tengah. Siapa lagi kalau bukan Ustaz Rizqy, Pondok Pesantren ini hampa tanpa kehadirannya, aku belum menemukan obat rindu, selain bertemu dengan dia yang dirindu.

Aku rindu tatapan tajamnya, senyum manisnya, dada bidangnya, ah pokoknya semua tentangnya aku rindu.

"Keen, masih ingat gak apa yang di informasikan oleh Bu Nyai, pas malam?" Tanya Amanda, yang tiba-tiba datang menghampiriku.

Aku menggeleng seraya bertanya, "Tidak, emang apa, Manda?"

"Kan, pas malam Bu Nyai bilang, besok kita mau kedatangan tamu dari luar--

"Ya, terus?" Tanyaku dengan cepat.

"Tau tidak siapa yang datang?" Tanyanya yang masih teka-teki.

"Tidak, emang siapa?" Tanyaku penasaran.

"Haha."

Amanda hanya tertawa, seraya berlari keluar asrama. Aku heran dengan sikapnya, ada apa si, emang tamunya se-sepesial apa sampai memberitahuku segala. Saking penasaran, aku menyusul Amanda untuk memastikan siapa tamu yang ditunggu-tunggu sejak tadi malam.

"Amanda tunggu!" Teriakku, seraya berlari menyusulnya.

"Ayooo, Keen!" Teriaknya dari kejauhan.

Santriwati keluar dari asramanya, menyaksikan tamu yang paling dinanti oleh Kyai Rozaq dan Bu Nyai. 2 mobil hitam putih masuk ke lapangan, tak berselang lama turunlah dua orang pemuda yang sama-sama gagahnya. Dua-duanya tampan, sepantaran, tapi sangat disayangkan seorang pemuda yang tepat disebelah Ustaz Rizqy, memakai masker wajah, hingga tak dapat dikenali.

Ya salah satu dari pemuda itu, ialah sosok yang aku rindukan. Setelah empat tahun aku menanti, kini penantian itu telah terobati. Rinduku telah terbayar sudah, dengan melihatnya, walau hanya sesaat, tapi moment ini sangat melekat. Moment yang aku nantikan, di mana aku bertemu sosok idaman.

"Ustaz Rizqy," desir ku dalam hati.

"Ustaz Rizqy," teriak santriwati, memekakkan telingaku.

"Ternyata yang mengagumimu bukan hanya aku," batinku pasrah.

Sungguh yang mengagumimu bukan hanya aku, bahkan ketika menyebut namamu suaraku samar tak terdengar, hanya detak jantung saja yang kian berdebar kencang. Suaraku terkalahkan oleh suara wanita lain yang lebih lantang, tapi tak akan ku biarkan mereka menang.

Namun aku heran, siapa sosok pemuda yang bersamanya, kenapa dia mirip Angkasa dan Bintang dari sorot matanya, ah tidak mungkin mana ada si Angkasa pakai peci, dan sarung kayak mang santri, mustahil, yang aku kenal Angkasa adalah cowok cool, gengsian, mementingkan outfit, hingga pakaiannya modis, kayak selebritis.

***

Malam pun tiba, santri ramai menggelar acara. Aku bersama ustazah Marwah sibuk menerima tamu, dengan menjamu. Menyuguhkan kopi, kepada para kyai. Diantara para kyai, nyempil dua pemuda di tengah-tengah, tentu saja dua pemuda itu Ustaz Rizqy bersama temannya. Jantungku berdebar, hingga tanganku bergetar. Belum juga kopi mendarat di permukaan, sudah tumpah oleh sebuah getaran.

"Allahuakbar!" Pekik teman Ustaz Rizqy kaget, karena kopi itu tumpah mengenai jubah putihnya.

"Ya Allah," ujar Ustaz Rizqy.

"Astaghfirullah," ucapku cepat, seraya memejamkan mata, karena merasa bersalah.

"Kenapa-kenapa?" Tanya ustazah Marwah keheranan, yang tengah melihat kegaduhan.

"Ini ustazah, kopinya tumpah, hehe," ucapku dengan santainya.

"Allahu, kenapa kamu? Grogi ya ada Ustaz Rizqy," ledek Ustazah, seraya memberiku beberapa lembaran tisu.

"Euu--nggak, nggak!"

Akan ditaruh di mana wajahku, sungguh malu kenapa di saat yang seperti ini, aku menumpahkan kopi, ada-ada saja. Tanganku langsung membersihkan genangan kopi yang mengenai jubah temanya Ustaz Rizqy.

"Lain kali, Pelan-pelan, ya Humaira," bisik Ustaz Rizqy samar.

Di sana hatiku langsung bergetar tak karuan. Ada apa dengan perasaan? Kenapa seorang perempuan sangat mudah baper. Oh tidak! Jangan salahkan perempuan! Ini semua salah lelaki! Perempuan tidak akan baper, jika lelakinya tidak caper.

Aku tersenyum, dibalik selembar kain yang menutup parasku.

"Tanggung jawab! Jadi merah mukanya, ustaz," ujar temannya Ustaz Rizqy, seraya tatapannya tertuju kepadaku.

"Haha, iya sengaja. Aku sering membuatnya seperti itu, dan aku rindu rona merahnya," tutur Ustaz Rizqy santai.

Aku tidak bisa berkata-kata, hanya terdiam seribu bahasa, tanpa sepatah kata, langsung meninggalkan ruangan karena saking malunya. Aku sangat heran, memangnya sesering apa wajahku memerah dibuatnya? Hingga ia rindu dengan rona merah yang ada di wajah. Ah tidak!

***

PoV Angkasa.

"Ustaz, saya mau bertanya," ucapku kepada Ustaz Rizqy yang tengah sibuk, membaca buku fiksi yang berjudul 'Ukhty Barbar'

"Iya kenapa?" Tanyanya, seraya menyudahi aktivitas membacanya, lalu berbaring bersebelahan denganku di kasur yang sama. Ah, andai dia Keenandyra, sosok yang aku cinta. Namun, ntah ke mana gadis itu perginya.

"Tadi yang menyuguhkan kopi siapa, ustaz?" Tanyaku penasaran.

"Jah kepo!" Tegasnya, seraya tersenyum bahagia.

"Apa jangan-jangan dia yang fotonya dijadikan wallpaper hp mu, ust--

"Syut! Jangan keras-keras ngomongnya, nanti kedengaran sama Abi, gawat," ujarnya panik.

"Apa Rizqy?! Foto si Ukhty Barbar yang lagi manjat gerbang, kamu dijadikan wallpaper?" Teriak Kyai Rozaq dari ruang tamu. Padahal beda ruangan, tetap saja kedengaran, karena punya indra ke enam.

"Aduh!" Ketus Ustaz Rizqy, seraya menenggelamkan wajah ke bantal kesayangannya.

"Iya Kyai, nih fotonya di--

"Angkasa!" Pekik Ustaz Rizqy, yang tangannya langsung membekap mulutku.

"Haha."

"Ah dasar! Bawel banget kayak yang menyuguhkan kopi tadi!" Ledeknya.

"Emang siapa dia ustaz?" Lagi-lagi aku bertanya. Namun tak kunjung ia jawab. Ia hanya menunjuk ke buku novel yang sudah ia baca tadi.

"Ukhty Barbar?" Tanyaku memastikan.

Ustaz Rizqy mengangguk, seraya tersenyum.

Benar saja, perempuan tadi yang sering dijuluki Ukhty Barbar olehnya. Perempuan yang ia kagumi, padahal sikapnya sangat barbar sekali, bisa-bisanya seorang Ustaz yang paham ilmu Agama, suka kepada Ukhty Barbar yang tingkahnya saja membuatku mengusap dada. Ya, bagaimana tidak! Jubah putihku kotor oleh kecerobohannya sendiri yang menumpahkan kopi.

"Ustaz suka?" Tanyaku heran.

"Mmm, emang kenapa?" Tanyanya balik.

"Bisa-bisanya! Aku malah ilfil dibuatnya, toh dia gak cocok buat ustaz yang Masya Allah, dia mah cocoknya sama anak luar yang tidak tahu dunia ke pesantrenan," tuturku ceplas-ceplos.

"Istighfar Angkasa! Orang dia juga sudah Masya Allah, buktinya ia berani hijrah dari kebiasaan buruknya dan--

"Iya deh iya, seseorang yang dicinta mah tidak akan pernah salah di mata orang yang mencintainya," ujarku.

"Ish, apa si! Udah tidur buru, takut kesiangan!" Tegur ustaz Rizqy, seraya memejamkan matanya.

"Cie, yang habis melepaskan rindu," ledekku, seraya mencolek bahunya ustaz Rizqy, ia tak bergeming tetap memejamkan matanya, seraya bibir tipisnya mengembang, hingga garis senyum muncul di wajahnya yang kemerah-merahan.

"Cie, yang sama-sama merah wajahnya," ledekku yang tiada hentinya.

"Angkasa, bisa gak si diam sejenak, saya mau istirahat!" Tegasnya, seraya menutup wajahnya dengan selimut.

"Haha, Ukhty Barbar kini berhasil membuat hati ustaz ambyar," ledekku kembali.

"Angkaaa, bicara satu kali lagi! Saya akan usir kamu dari tempat ini," ujarnya datar.

"Haha. Maafkan saya ustaz."

"Hmm."

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang