DO

144 3 0
                                    

Sebulan lamanya aku berbaring di rumah sakit, sekarang sudah sembuh, dan seiring berjalannya waktu, kini aku bisa lagi menikmati hidup dengan versiku sendiri. Versi barbar yang aku anggap suatu kebebasan dan tidak terikat dengan aturan. Hukuman aku terus terima dari guru, terutama guru BP. Peringatan dari Tuhan pun sudah aku rasakan sebulan yang lalu, tetapi anehnya semua itu tidak bisa membuatku jera.

“Ayah motor Keenan mana?” Tanyaku, seraya mengunyah sepotong roti yang sudah tersaji di meja makan.

“Dijual,” jawab Ayah santai, sambil baca koran.

“Apa, yah? Ulang!”

“Keennn!” Teriak Angkasa dari luar.

“Tuh, anak pelakor datang.”

“Bukan pelakor, Ayah! Yang benar, tuh play boy.”

“Ya, itu maksudnya. Mau play boy, pelakor, play store, terserahlah!”

“Haha, play store. Cocok juga, tuh buat manggil si Angka. Kunci motor, yah hehe,” ujarku manja.

“Kata Aya apa tadi?”

“Yaudah, Keenan bolos sekolah!”

“Yaudah, Keenan bakal ke pondokin.”

“Kenandyra, buru! Lu udah cantik, tanpa make up! Dasar perempuan lama bener dandannya.” Oceh Angkasa kesal.

Aku berlari menghampiri Angka, seraya berteriak, “Iya play store… bawel, Lu!”

“Tumben gak bawa motor?”

“Motornya lagi males liat muka lu!”

“Motornya, apa lu yang males liat muka gue?”

“Dua-dua nya.”

“Turun!” Perintahnya, seraya menaikkan kecepatan gas.

“Angkaaa…. Gue mau terbang!” teriaku ketakutan, hingga refleks, tanganku melingkar memeluk Angkasa dari belakang.

Angkasa tertawa, sedangkan aku trauma dengan kejadian, yang hampir merenggut nyawaku. Menurutku Angkasa itu hebat bisa membuatku menangis dan tertawa dalam satu waktu.

Aku melihat jam kecil yang melingkar di tangan kiriku. Astaga jam menunjukkan pukul 07.05 ini, si waktunya penutupan gerbang utama. Aku berbisik ke telinga Angkasa, “Angka! Buruan ini sudah telat!” Seraya lengan angkasa langsung ku tarik.

“Bodo! Tiap hari juga telat, kan?” Tanyanya, seraya menyingkirkan tanganku.

“Lu gak takut di DO sama guru BP Angka?” Tanyaku khawatir, seraya kepalaku menoleh ke arah Angkasa, yang tengah berjalan santai di belakang.

“Gak!”

“Oh ya, lupa! Lu, kan siswa terspesial di mata Bu Asia. Jadi, santai saja Angka! Karena seseorang yang spesial itu tidak akan pernah di keluarkan dari sekolah, dan begitu pun dari hatinya.”

“Salah!”

“Bener!”

“Salah!”

“Ben—

“Muach,” kecupan Angka mendarat di pipi kananku.

“Angka lu sehat?”

“Gila!” Ujarnya, seraya berlari.

“Hahah, Angka tungguin gue!,” teriaku, seraya ikut berlari.

Putih Abu-abu, itulah seragam kebanggaanku. Bangga mengenakannya, dikarenakan terlihat seperti remaja dewasa pada umumnya. Atribut sekolah yang seharusnya aku kenakan saat ini, malah ketinggalan. Kebetulan sekarang itu hari Senin, di mana upacara bendera dilaksanakan. Datang terlambat, baris sejajar dengan tiang bendera, dan tidak mengenakan atribut sekolah. Hal itulah yang menarik perhatian para guru, dan murid teladan lainnya.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang