Pesona Ukhty Barbar

96 2 0
                                    

PoV Mas Angkasa

Kriek!

Munculah sosok bidadari usai dari kamar mandi. Aku tidak berhenti untuk menatapnya. Rasanya, aku terhipnotis oleh kecantikan parasnya, senyum manisnya, mata cantiknya, dan rambut yang tersanggul ayu, ditambah baju tidur yang hanya menutup pahanya saja, kulit putihnya bersinar menambah pesona si Ukhty Barbar.

"Mas."

Aku masih menatapnya di tempat yang sama, terus memperhatikan ia yang tengah menyisir rambut panjangnya, seraya duduk di depan cermin hias yang posisinya tidak jauh dariku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya, tanda ia kesusahan untuk menyisirnya.

Aku menghampiri, langsung ku ambil sisir yang ada digenggaman tangannya, seraya berkata, "Sini, mas bantu."

Ku lihat ia dicermin, senyumnya merekah, hingga perasaanku membuncah, karena saking terpesona dengan paras cantiknya. Sungguh ini bukan sembarang wanita, tapi ia bak bidadari yang diutus oleh Allah ke dunia.

Ku sisir pelan rambutnya, dengan penuh kasih dan cinta. Sesekali aku elus-elus kepalanya, seraya melantunkan sebuah doa, salawat, dan pujian ke Sang Pencipta, "Ya Rabb, sungguh indah ciptaan-Mu, aku bersyukur, karena sudah kau izinkan untuk bersanding dengannya, dan ketika aku memandangnya, aku langsung teringat kepada-Mu, yang sudah menciptakan makhluk secantik dirinya."

"Mas."

Tatapanku terus tertuju pada cermin, yang memantulkan bayangan indah, yang cantiknya tak ada bandingnya. Sungguh dia benar-benar istimewa, seperti permata yang terjaga dalam karangnya. Tidak terjamah tubuhnya, tertutup paras cantiknya, dan tinggi rasa malunya, benar-benar wanita shalihah.

"Mas."

Sungguh hatiku sejuk  memandangnya, batinku tentram  melihatnya, perasaanku damai menatapnya, bukankah semua ini termasuk kepada ciri-ciri wanita shalihah? Yang membuat bahagia hati suaminya? Ya, tentu saja. Aku benar-benar bahagia bersanding dengannya.

"Mas," rengeknya, seraya memegang tanganku, yang tengah anteng menyisir rambutnya.

"Euu-- iya, dek?" Sahutku gemetar.

"Sudah setengah jam, mas terus menyisir rambutku, apakah tidak pegal tangannya?" Tanyanya heran.

Aku sontak kaget, ku lihat jam, ternyata benar, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ngapain aja aku setengah jam? Hanya menyisir rambut doang? Aku terus bertanya dalam hati. Sungguh ajaib memang cinta itu, dapat menghipnotis ku hingga tak sadar hanyut dalam lamunan yang panjang, tenggelam dalam cintanya, hingga aku tidak merasakan apa-apa, selain kata bahagia.

"Ah, masa?" Tanyaku yang pura-pura tidak percaya.

"Iya, mas, haha," ucapnya, seraya tertawa meledekku yang dari tadi senyum-senyum sendiri.

"Maafin mas, dek, karena jujur kecantikanmu dapat menghipnotis mata yang memandangnya, jadi mas pesan kepadamu, jangan sampai keluar rumah tanpa ijin, dan tanpa memakai selembar kain, oke?" Pintaku khawatir.

"Siap ya habiby," tuturnya, seraya langsung berdiri merubah posisi yang awalnya duduk, hingga kini ia berhadapan denganku.

Sungguh aku tidak terima, jika kecantikannya dapat ditatap sesuka hati oleh lelaki di luar sana, aku tidak ikhlas jika suara merdunya, dapat terdengar ke lawan jenis yang bukan mahramnya, aku tidak ingin pesona istriku, dapat dinikmati oleh lelaki yang tidak bisa menahan nafsu.

Cukup ia sebagai penyejuk mata, ketika ada di rumah, pelipur hati dan lara ketika hati gundah gulana, menjadi tempat cerita, ketika sebuah rasa punya banyak moment dan peristiwa, sekaligus teman hijrah, yang di mana bisa diajak beribadah bersama, mengaji bersama, belajar bersama, hingga sama-sama mendapat Ridho-Nya, dan bersatu kembali di surga-Nya.

Ia mengikat rambutnya, dengan menyisakan beberapa helai rambut yang ada di pelipisnya. Hingga nampaklah lehernya yang indah, inginku menjamah, tapi ku rasa ini belum saatnya. Ku urungkan lagi niat itu, dengan beberapa alasan, "Nanti saja, toh kesian dia pasti lelah, belum istirahat semenjak akad nikah."

Ia mengacak-acak rambutku, kejadiannya sama seperti dulu kala pas jaman SMA, memang sudah menjadi hobinya, membuat rambutku tak tertata bak orang gila.

"Haha," ia tertawa, hingga ke dua pipinya merah merona. Ia kabur, dan langsung tidur, lalu menutup badannya dengan selimut, hingga tertutup tak ada celah untuk bisa masuk.

"Kebiasaan dari dulu sampai sekarang, tak pernah berubah sikap jahilnya, awas saja kau dik, malam ini akan mas kasih kamu pelajaran," tukasku, seraya tertawa.

"Tidakkk! Ampun, mas" teriaknya samar, dibalik selimut yang masih menutup rapat badannya.

"Tak akan mas kasih ampun, untuk malam ini," ujarku kembali, seraya langsung mencoba menyingkap selimut yang menutup tubuh eloknya.

"Huwaaa, Ayahhhh!" Teriaknya cemas.

"Syut, jangan berisik. Sini mas mau cerita. Ayo buka dulu selimutnya," pintaku seraya membujuknya lembut.

"Benar ya, gak bakal dikasih hukuman," ucapnya yang masih cemas.

"Iya, nggak bakal. Jadi gini dek. Pasti kamu heran kan kenapa mas tiba-tiba ada di pondok ini--

"Nah, itu yang mau adek tanyain, mas. Kenapa coba?" Tanyanya, seraya membuka selimut tebal yang menutup tubuhnya.

Subhanallah, lagi-lagi aku bertasbih, karena baju tidur yang ia pakai tersingkap, hingga kelihatan paha mulusnya. Astaghfirullah, aku istighfar kembali, tidak Angkasa, tidak harus sekarang! Aku berusaha untuk menahan syahwat yang kian memuncak dan bergejolak.

"Jadi gini, dek ceritanya, mas dulu belajar bareng bersama Ustaz Rizqy, di Tarim Hadramaut Yaman, asalnya kami tidak saling kenal, itu juga kebetulan mas bertemu dengannya di bandara, eh setelah saling sapa, kebetulan kami sefakultas, sejurusan pula, dan bukan hanya itu, ternyata kami juga se-apartement, nah setelah empat tahun kami menuntut ilmu di sana, akhirnya mas punya niatan, mau hidmah di pondok pesantren Miftahul Jannah, milik Abinya Ustaz Rizqy, ya ke pondok ini, dan tidak menunggu waktu lama, Allah mengirimkan seorang bidadari yang cantik parasnya, baik akhlaknya, lembut tutur katanya, walau agak barbar sikapnya, hehe, Subhanallah," tuturku.

"Hah apa mas yang terakhir?" Tanyanya, yang tidak terima jika disebut barbar.

"Yang tidak barbar ke mana-mana, pemalu, tapi kebanyakan malu-maluin," ketusku yang mencoba menjahilinya.

"Tuh gitu, ah gak seru!" Ketusnya, seraya bibirnya maju dua centi.

"Cie ngambek," ledekku, seraya menatap wajahnya yang masam.

Mau semasam apapun wajahnya, mau semanyun apapun bibirnya, mau sejutek apapun tutur katanya, tetap ia seperti gula, yang selalu manis. Seperti bunga mekar, yang selalu cantik, dan seperti madu, yang membuatku candu. Sungguh aku tidak bosan menatapnya, karena itulah yang dinamakan cinta.

"Gak!" Ketusnya jutek.

Muach!

"Jangan marah cantik, nanti makin cantik," tuturku, seraya mengecup dahinya.

Dia langsung mengusap bekas kecupanku.

Muach!

Ku kecup lagi pipi sebelah kirinya.

Dia lagi-lagi mengusap kembali.

Muach!

"Jangan dihapus! Kalau dihapus nambah!" Tegasku.

Ia menghapus ke sekian kali.

"Oke, kau harus merasakan hukumanku dek," teriakku seraya langsung menyerbu paras cantiknya.

Muach! Muach! Muach!

"Massss! Geli," Teriaknya, seraya tertawa.

"Ampun, gak?"

"Nggak!"

"Ok! Ngajak gelut di kasur!"

Tek!

Lampu ku matikan.

"Ampun, mas!"

Cinta, betapa indah cinta setelah halal. Menatapnya saja sudah bernilai ibadah, apalagi melakukan Sunnah Rasul lainnya. Masya Allah Tabarakallah, "Terima kasih ya, Rabb karena kau telah mengijinkanku untuk beribadah yang paling lama, bersama teman sehidup sesurga."

'Keenandyra'





Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang