Pada suatu hari ketika aku membersihkan asramaku sendiri, aku melihat selembar kertas yang tergeletak di teras. Saking penasarannya, aku buka lalu ku baca. Tulisan ustazah Marwah bertuliskan;
Genap sepuluh tahun sudah aku mengenalmu, di mana dulu kita pernah satu sekolah, satu pesantren, hingga sampai sekarang kita berada dilingkungan yang sama, dan sama-sama menjadi pengajar di usia muda.
Jujur saat pertama aku melihatmu, ntah kenapa hati ini berdebar kencang, seperti ada sesuatu yang mengguncangkan perasaan. Ntah, aku juga heran, apakah aku sedang jatuh cinta? atau hanya sebuah rasa yang tiba-tiba ada untuk menggoda imanku saja? Ntahlah aku tidak tahu.
Seiring berjalannya waktu perasaan itu semakin menjadi-jadi, aku tidak mengerti kenapa ini semua bisa terjadi, karena cinta itu buta dan tuli, terkadang aku juga tidak paham, kenapa aku melabuhkan hati sejauh ini.
Ku pendam rasa yang semakin dalam, ku tahan untuk tidak mengutarakan, walau itu sangat menyakitkan. Namun lebih menyakitkan lagi ketika lima tahun ke belakang, di mana ada seorang wanita, yang cantiknya luar biasa, lalu ia menaruh hati kepadanya. Sempurna rasa sakit ini, tangisku pecah tak terkendali.
Aku kalah, ya aku kalah dalam melabuhkan cinta, siapa yang cantik fisiknya, pasti dia yang akan memenangkan hatinya. Sementara aku? aku kalah dalam segi apapun, bahkan lebih parahnya lagi, wanita itu adalah anak didiku sendiri. Keenandyra.
Ya, wanita itu bernama Keenandyra, yang ke mana-mana bersamaku, di mana ada aku, pasti di sana ada Keenandyra, dan di mana ada Keenandyra pasti di sana juga ada aku. Saking dekatnya kita berdua, sampai kita sama-sama jatuh cinta ke orang yang sama. Namun aku memilih untuk terus memendamnya.
Hingga, aku memilih untuk mundur saja, karena rasa itu terkalahkan oleh rasa cinta sebagai kakak kepada adiknya yaitu Keenandyra, aku sayang dia, sudah ku anggap adikku sendiri, yang di mana dia pantas menemukan cinta sejati, aku tidak berharap lebih, selain melihat dirinya bahagia bersama ustaz muda yang menjadi pilihannya yaitu 'Ustaz Rizqy'
Deug!
Mengalirlah air mataku, membacanya saja sudah membuatku pilu, apalagi aku berada di posisi ustazah Marwah. Mungkin hatiku sudah pecah, bersimbah air mata, kenapa dia tidak curhat kepadaku perihal asmaranya? andai saja kalau aku tahu, pasti aku tidak berani menyebut nama 'Ustaz muda' dihadapan orang yang mencintainya. Sementara setiap waktu aku terus menyebut dan memujinya, ah betapa cemburu hati ustazah, sungguh aku sangat bersalah.
Sebagaimana ustazah telah menganggapku sebagai adiknya, aku juga jauh-jauh hari sudah menganggapnya sebagai keluarga, lebih tepatnya seorang Kakak, dan cintanya seorang adik kepada kakaknya, ia rela mengorbankan perasaannya.
***
Hari raya Idhul Fitri telah tiba, para santri pulang dari asrama dan menikmati suasana berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara, tepat di malam hari rumahku kedatangan tamu istimewa yaitu rombongan keluarga Ustaz Rizqy datang ke rumahku untuk bersilaturahmi. Baru kali ini rumahku kedatangan Kyai, bahkan bukan hanya itu, ustaz, ustazah pun ikut beserta pengurus lainnya, tak lupa bibi kantin, mang mandor, pak satpam, pun ikut hadir.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, eh Bu Nyai, Kyai Rozaq, Ustaz Rizqy, ustaz, ustazah, kak, pak, mang, bi," lengkap sudah aku menyapa mereka, dan langsung mempersilahkan untuk masuk dan duduk.
Tumben keluarga besar pondok pesantren Miftahul Jannah datang kemari untuk bersilaturahmi. Ku kira hanya keluarga ustaz Rizqy saja, kenapa rapat para pengurus harus di rumahku? Emang tidak ada tempat yang lain yang jauh lebih luas dan pas ya?
"Tahu gak kedatangan kemari untuk apa?" Tanya Kyai Rozaq memulai pembicaraan.
"Tahulah, Kyai. Pasti untuk rapat, iya kan? Mau ngebahas santri baru nanti masuknya kapan," jawabku dengan pedenya.
"Haha," semua orang menertawakan ku.
"Pintar sekali," ledek Ustaz tampan, temannya Ustaz Rizqy.
"Untuk apa kami jauh-jauh kemari hanya untuk membahas santri, sampai-sampai bi kantin, mang mandor, pak satpam bela-belain hadir," ujar Kyai Rozaq.
"Terus kami juga para ustaz ustazah, bela-belain untuk hadir demi mensukseskan acara ini," sambung ustazah Marwah.
"Emang ada acara apa?" Tanyaku heran.
"Jadi gini, Pak. Kami kemari ingin melamar putri bapak, untuk putra saya yang bernama Muhammad Rizqy Hasbillah," tutur Kyai Rozaq dengan fasih nya.
Deug!
Mimpi apa aku semalam. Tidak ada angin dan tidak ada hujan, ia datang tiba-tiba tanpa berkabar sebelumnya. Ditambah kabar yang mengejutkan hati dan perasaan. Hatiku berdebar kencang, saat kabar baik itu terdengar lantang.
"Apa Kyai?" Tanyaku yang tidak percaya.
"Ustaz Rizqy, mau melamarmu, Keen," ujar Bu Nyai, mengulang yang ke dua kali.
"Ustaz Rizqy? Yang suka menghukum aku, Ustazah?" Tanyaku, yang seketika itu langsung menatap ustazah Marwah.
"I-- iya, Keen, ustaz muda idamanmu," ujar ustazah Marwah, seraya tersenyum penuh dengan keikhlasan.
"Dan menjadi idamanmu juga, Ustazah," lirihku dalam hati.
Aku tersenyum. Bahagia rasanya, laki-laki yang aku tunggu dan rindu, kini ia bertamu dan melamar ku. Apakah ini yang dinamakan dengan titik ending yang bahagia? Setelah melawati beberapa konflik yang menyesakkan dada?
"Kenapa ustaz Rizqy, bisa suka sama Keenan? Sementara Keenan jauh dari kata shalihah, selalu banyak ulah, dan selalu bertingkah. Bukankah idamannya ustaz Rizqy, yaitu perempuan yang pendiam, cantik luar dan dalam, paham ilmu agama, tidak sepertiku yang barbar ke mana-mana, terus--
"Syut, jangan berbicara seperti itu. Aku mencintaimu tanpa tapi, dan ingin memilikimu tanpa nanti," ucap Ustaz Rizqy.
"Hmmm, Masya Allah, baper," ujar para ustazah kompak.
Aku hanya tersenyum, menunduk menahan malu.
"Lihat wajah Keenandyra, jadi merah merona, bak buah delima yang dibelah dua," ucap Ustazah Sabil.
"Haha."
"Jadi bagaimana, Keenan atas jawabannya?" Tanya Kyai Rozaq.
"Bismillah, dengan menyebut nama Allah, lamaran Ustaz Rizqy, saya tolak," tuturku lembut, seraya terus menunduk.
"Why? kenapa Keenandyra? Bukannya ia sosok yang kamu rindu dan kau tunggu-tunggu? Setelah dia datang untuk melamar mu, kamu dengan seenaknya menolak lamarannya?" Tanya Ustazah Marwah, seraya berdiri dan langsung menghampiriku.
Aku langsung mengambil kertas yang berisikan surat yang ditulis langsung oleh Ustazah Marwah, terkait perasaannya.
"Ini jawabannya, aku tidak mau menyakiti perasaan ustazah yang sudah ku anggap kakak ku sendiri," ujarku, seraya menunjukan selembar kertas.
"Allahu Keen, dari mana surat itu? Kaju sudah baca suratnya? Bukan kah dalam surat itu saya sudah ikhlas untuk melepaskan dia untukmu Keenandyra? Malah saya bahagia, jika benar dia akan bersanding denganmu, karena kau adalah perempuan yang baik, aku percaya itu," tutur ustazah Marwah cemas.
Aku menggeleng.
"Sebagaimana, ustazah Marwah mengikhlaskan seseorang yang dicinta, demi adiknya. Maka aku juga akan ikhlas melepasnya demi kakak ku tercinta," ucapku seraya berkaca-kaca.
"Allahu, Keen, tidak, tidak seperti itu, dia pantas untukmu, dan kamu pantas untuknya," ucap ustazah Marwah, seraya memelukku. Tangis kami pecah di ruangan yang akan menjadi sejarah, bahwa aku menolak mentah-mentah seseorang yang selalu aku sebut namanya dalam doa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
Storie d'amoreBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.