Ustaz Juga Manusia

70 4 0
                                    

PoV Ustaz Rizqy

Baru kali ini aku lupa jumlah rakaat ketika salat. Pikiranku buyar, terus memikirkan si Ukhty Barbar. Allahuakbar dihadapan-Nya, masih saja teringat makhluk-Nya. Dalam sujudku, aku malu.

Setan mana yang telah menggodaku, mencuri kenikmatan beribadah kepada-Mu. Ibadahku hampa, karena jumlah rakaat saja aku selalu lupa. Bagaimana hidupku mau teratur, sementara salatku saja begitu hancur. Maka pantas, kata Allah, "Perbaikilah salatmu, maka aku akan memperbaiki hidupmu."

Menangis sejadi-jadinya, bagiku jauh dari Sang Pencipta, itu adalah sebuah derita, dan pase paling sedih dalam jiwa, dibandingkan kehilangan seseorang yang dicinta. Biarkan aku kehilangan dia, asal jangan Allah lah yang aku tinggalkan, karena tanpa Sang Pencipta, aku tidak bisa apa-apa.

Aku memutar rekaman yang ke terakhir kalinya sebelum dihapus, ah ntah kenapa lagi-lagi suara itu candu, menggetarkan hatiku. Tolong ini suara terbuat dari apa, apakah dari sutera? Lembut tidak ada duanya. Dulu, yang ku tahu bahwa si Keenandyra tidak bisa mengaji, eh malah sekarang dia pantas disebut qori, ya suaranya sungguh menenangkan hati.

Klik!

Ku hapus rekamannya. Bukan aku tidak ingin mendengar, bukan aku pura-pura tegar menahan rindu yang kian menjalar. Tidak! Aku hanya ingin berusaha menjaga diri, dengan tidak mendengar suara wanita, khususnya orang yang aku cinta. Ah, itu fase paling sulit, menyiksa diri sendiri, tapi tidak apa-apa daripada berbahagia di atas dosa yang mengatasnamakan cinta.

Cinta itu fitrah, ia suci tak ternoda. Maka kita harus menjaganya, bukan malah menodainya dengan zina, dosa, bahkan hawa nafsu belaka, karena tidak ada cinta yang halal sebelum pernikahan, kecuali saling mendoakan antara satu dan lainnya.

"Bismillah, demi mendekat kepada-Mu. Ku rela menghapus segalanya tentang dia, bukan berarti dia yang membuatku jauh dari-Mu, tapi ini semua salahku, yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu," lirihku dalam hati.

***

"Angkasa, Keenandyra, ayo berangkat udah siang!" Ajak ku pada mereka, yang masih sibuk di kamarnya.

Kriek! Pintu kamar Angkasa terbuka, ternyata ia muncul dengan kepalanya saja yang sedikit keluar, seraya menegurku, "Kamu tadi bilang apa Rizqy? Keenandra bukan Keenandyra!"

"Allahuakbar, iya maksud aku Keenandra," ucapku, seraya menepuk jidat.

Meresahkan, ada apa dengan pikiran? Kenapa dia lagi-lagi memikirkan, hingga aku salah menyebut sebuah panggilan. Bisa-bisanya, aku dibuat gila olehnya.

"Buruan, nanti kita telat!" Teriakku di ruang tamu.

"Iya Keenandyra," teriak Angkasa meledekku, seraya berlari keluar dari kamarnya.

"Apa-apaan dah, suka mengganti nama orang!" Ketusku kesal.

"Siapa yang mulai?" Tanya Angkasa.

"Syut, udah lagian namanya kayak wanita saja," ucapku blak-blakan.

"Keenandra, kata Rizqy namamu kayak nama wan--

Aku langsung membekap mulutnya dengan tangan. Fiks dia kayak si Keenan bawelnya gak ketulungan. Gak, jangan si Keenan, Ukhty barbar saja, karena Keenan dia adalah temanku di Tarim Hadramaut Yaman.

"Syut! Angkasaaaa," ucapku, seraya menarik tangannya untuk keluar dari sebuah ruangan, dan meninggalkan Keenan yang masih sibuk di kamarnya, ntah sedang ritual apa dia, intinya aku tak ingin menunggu lama.

"Haha."

Di tengah perjalanan, terjadilah percakapan.

"Rizqy, kan kamu seorang ustaz ya?" Tanyanya memulai percakapan.

"Hmmm."

"Pernah gak si kamu jatuh cinta?" Tanya Angkasa dengan polosnya.

"Hey, saya hanya seorang ustaz Angka, bukan malaikat. Ustaz juga manusia, kok, yang punya hawa nafsu, kalau malaikat baru dia tidak punya hawa nafsu, toh makan dan minum juga mereka mah nggak. Lah aku? Gak makan sehari saja seperti memanggil malaikat Izrail," jawabku dengan nada becanda.

"Haha, iyakah. Dikira ustaz tidak pernah jatuh cinta, dan pernah merasakan yang namanya pacaran," ujarnya santai.

"Cintamah jelas ada dan aku merasakan itu semua, Angka. Namun cara memenej nya harus dengan cara yang benar. Jangan lewat pacaran, itu malah makin memperburuk keadaan, dan itu juga yang dinamakan dengan dosa yang mengatasnamakan cinta--

"Dosa yang mengatasnamakan cinta, itu seperti apa, ustaz?" Tanyanya.

"Jangan panggil saya ustaz!" Tegasku.

"Kenapa? Apa mau saya panggil Keenandyra?" Tanyanya seraya meledekku yang ke sekian kalinya.

Deg!

Kenapa dia menyebut nama itu lagi. Sebuah nama yang tidak mau aku dengar, karena sekalinya terdengar, pasti hatiku berdebar kencang.

"Gak mau! Yaudah iya, silahkan panggil saya ustaz saja, jangan Keenandyra! Nanti ketuker lagi sama si Keenandra!" Tukas ku yang sama-sama meledek teman sendiri.

"Yes, ustaz jawab dulu pertanyaan aku tadi," ucap Angkasa.

"Oke, jadi dosa yang mengatasnamakan cinta itu, seperti kasus pacaran. Coba dalam sebuah hubungan sebelum halal, apakah hanya saling diam? Tidak bukan? Pasti mereka chatingan, bertukar kabar, ketemuan, pegangan tangan, apalagi sampe berbuat sesuatu yang dilarang oleh Tuhan, betul gak?" Tanyaku.

Angkasa mengangguk-anggukan kepalanya, tanda ia mengerti, seraya berkata, "Iya juga sih."

"Apakah semua itu tidak berdosa? Padahal mereka belum halal? Namun sudah berani ke mana-mana berduaan," tambahku supaya jelas.

"Pasti itu dosa, katanya tatap-tatapan saja tidak diperbolehkan, apa betul ustaz?" Tanyanya.

"Kata siapa tidak diperbolehkan? Boleh kok, asalkan menatapnya tidak dengan pandangan syahwat, itu juga kalau pandangan yang gak disengaja, sekali lihat saja, tapi kalau berkali-kali lihat, itumah beda lagi, tidak diperbolehkan," tuturku.

"Ustaz pernah menatap seorang wanita?" Tanyanya polos.

"Sekali lagi saya katakan bahwasanya USTAZ JUGA MANUSIA, ANGKASAAA," teriakku, di dekat telinganya.

"Haha."

"Ketawa lagi, nanti gak berkah ilmunya, ngeledek ustaz terus," sindirku.

"Maaf Pak Haji, haha."

Kami menelusuri jalanan kota Tarim. Di sana terdapat banyak tulisan di papan, serta dinding, dan semua tulisan itu sebagai penegur dan nasehat, seolah-olah mengingatkan kita untuk selalu taat dan bermunajat, karena jalanan kota Tarim itu sebagai guru bagi yang tidak punya guru. Itu baru jalanannya, apalagi para alim ulama, dan walinya?

Ketika lisanku hendak berhenti memuji Sang Ilahi, dan bersalawat kepada kanjeng Nabi, seolah-olah aku disadarkan kembali oleh jalanan kota Tarim, sehingga lisanku tak henti-hentinya untuk selalu mengingat-Nya. Namun ketika aku teringat kepada si Keenandyra, itu beda lagi ceritanya, aku seperti orang gila yang tak mengenali Tuhannya. Astaghfirullah.

Bukankah rasa cinta itu harus mendekatkan kita ke Sang pemilik cinta? Lalu apa jadinya jika rasa cinta ini malah menjauhkan ku dari-Nya?

"Astaghfirullah," ucapku.

"Kenapa si Ustaz, dari tadi istighfar terus," ketus Angkasa.

"Ya kan harus banyak istighfarnya Angka," jawabku pelan.

"Emang ustaz juga pernah salah ya? Jadinya istighfar terus?" Tanyanya, seraya meledekku yang ke sekian kalinya.

"Kata saya apa tadi?" Tanyaku balik.

"Ustaz juga manusia, yang butuh pasangan tapi sampe sekarang sendirian, haha," ledeknya seraya tertawa kencang.

"Haha, kalau kamu?"

"Aku? Enak aja sendiri, berdua lah!"

"Sama siapa?"

"Sama kamu."

"Haha?"

"Stres saya lama-lama berteman sama kamu Angka!"

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang