"Ayo Keen, setorin hapalannya," ucap Bu Nyai, seraya tangannya mempersilahkan aku duduk di disampingnya.
"Tapi maaf ya, Bu Nyai kalau Keenan gak lancar ngajinya," ucapku grogi.
"Ndak papa, namanya juga belajar," jawabnya, seraya tersenyum.
Aku mulai menyetorkan hapalan, juz amma kepada Bu Nyai, kebetulan sebelumnya aku ikut kelas takhosus yang dibimbing langsung oleh ustazah Sabil, di tambah aku selalu dekat dengan ustazah Marwah, ia yang selalu rajin murojaah, sehingga mau tidak mau aku sering mendengar suaranya, karena saking seringnya mendengar ayat suci Al-Qur'an, lambat laun, aku hapal ayatnya, bukan hanya itu aku juga belajar ilmu tajwid dan makhorijul huruf yang diajar langsung oleh Bu Nyai, setiap bada asar lewat forum wanita tarim, sehingga Alhamdulillah hafalanku lancar dan benar, buktinya Bu Nyai tidak menegurku, ia hanya terdiam, menikmati, seraya badannya bergerak ke arah kanan dan kiri.
Usai sudah hafalanku, dimulai dari surah An-Naba sampai ke surah An-Nas. Perasaanku lega, dan berkurang lah sedikit beban yang ada di kepala.
"Masya Allah, Tabarakallah, Allahummarhamna bilqur'an," ucap Bu Nyai, dengan ekspresi yang bahagia.
"Alhamdulillah," ucapku seraya tersenyum, dan terus menunduk karena saking malunya, aku gak ada apa-apanya dibanding Bu Nyai yang sudah hafal 30 juz Al-Qur'an, lah aku cuma hafal juz 30 doang.
Lalu tangan Bu Nyai refleks meraih handphonenya dan memutar rekaman suara. Oh, tidak! Ternyata selama aku membaca ayat suci Al-Qur'an, tanpa sepengetahuan, Bu Nyai merekam dengan handphonenya yang disimpan di sebelah kanan.
"Bu Nyai, gak mau direkam," rengekku, seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Suara yang paling indah, dan merdu, dari santriwati yang pernah saya dengar ketika setoran hafalan, itu kamu Keenandyra," ujar Bu Nyai.
Aku hanya menggeleng, seraya berkata, "Tidak Bu Nyai, salah besar aku hanya rumput yang bergoyang ditengah-tengah taman bunga yang indah di sejauh mata memandang."
"Belajar dari mana kamu ilmu majas?" Tanyanya.
"Euu-- tidak, Keenan suka bikin karya sastra saja diantaranya, novel, puisi, cerpen, bahkan syair," ucapku.
"Beuh, hebat. Saya doain semoga kamu ke depannya, menjadi seorang penginspirasi untuk semua generasi. Berdakwah lewat sebuah karya sastra, dan menghasilkan jutaan karya untuk mengubah dunia, agar lebih mengenal Agama, dan dekat kepada Tuhannya, Rasulnya, serta memegang teguh kepada ahli Sunnah waljamaah."
Aku tersenyum seraya berkata, "Aamiin Bu Nyai, Keenan minta doanya saja yang terbaik.
"Seorang guru akan selalu mendoakan muridnya, yasudah silahkan kembali lagi ke asrama, siap-siap untuk menunaikan salat magrib ya, Nak," ucap Bu Nyai, seraya mengusap kepalaku dengan lembut.
"Nggih Bu Nyai, terima kasih atas waktunya," ucapku pelan, seraya mencium bolak-balik tangan Bu Nyai yang tertutup kaos tangan berwarna hitam.
***
PoV Ustaz Rizqy
Triling!
Pesan masuk ke grup WhatsApp 'Keluarga Besar Pondok Pesantren Miftahul Jannah' berupa rekaman suara, yang bercaption, "Ukhty Barbar yang dulu baca iqro pun tidak bisa, kini ia bisa melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan merdunya."
Sontak kaget melihat nama yang tertera di caption, "Ukhty Barbar?" Tanyaku dalam hati.
"Asli?" Tanyaku yang masih tidak percaya.
Klik! Aku langsung mendengarkan rekaman yang dikirim oleh Umi barusan. Ntah kenapa hatiku berdesir, merasakan sesuatu hal yang menurutku itu sihir. Hingga tak terasa rekaman ku putar secara berulang sampai satu jam.
"Rizqy? Kok ngajinya yang itu-itu terus. Juz 30 ya?" Tanya Angkasa, yang membuyarkan lamunanku.
"Hah?" Tanyaku seraya terperanjat ketika melihat jam, karena telah berputar selama satu jam.
Tidak! Kenapa suara itu mengandung nikotin, yang membuatku candu, dan rindu. Suara termerdu, yang pernah aku dengar. Oh, kenapa lagi-lagi Ukhty Barbar itu membuat hatiku berdebar. Sungguh, apakah dia telah berubah?
"Apa mungkin ini bukan dia?" Tanyaku dalam hati, yang masih tidak percaya itu Keenandyra.
Apa perlu aku tanyakan kepada Umi, lewat pesan pribadi? Tidak berselang lama, akhirnya aku putuskan untuk mencari tahu suara siapa yang ada di rekaman itu. Menghubungi Umi, mungkin itu akan aman-aman saja, tapi resikonya akan ditaruh di mana mukaku, karena saking malunya, kok bisa seorang Rizqy yang bodoamatan, bisa bersikap penasaran seperti ini kepada si Keenan. Ah, meresahkan.
"Assalamualaikum, Mi?" Suaraku diujung telepon.
"Waalaikumussalam, ada apa nak Rizqy? Kan tadi sore sudah nelepon?" Tanyanya heran.
"Euu-- nggak mi. Ini mau nanya aja emang rekaman yang umi kirim di grup, itu suara siapa?" Tanyaku penasaran.
"Kamu tidak baca caption?"
"Baca, si Ukhty Barbar? Siapa, Mi?" Tanyaku yang pura-pura tidak tahu.
"Siapa lagi kalau bukan si Keenandyra, ah kamu ini pura-pura tidak tahu aja. Orang umi juga tahu dari kamu, kan kamu yang suka manggil dia Ukhty Barbar, bukan?" Tanyanya memojokkan ku.
"Ouh si Keenan, kok suaranya jelek banget ya, Mi," ucapku menutup-nutupi.
"Ah, itu teh dalam hatinya mah kok suaranya paling bagus ya, Mi. Merdu, candu, berkali-kali diputar, hingga lupa sama jam," sanggah Abi dari kejauhan.
Pokoknya paling kesal, kalau Abi tiba-tiba tahu apa yang ada di hatiku. Aku malu.
"Mi, bisa gak kalau nelepon sama Rizqy, umi harus jauh-jauh dari Abi," ketusku kesal.
"Hahaha."
Umi dan Abi malah menertawakan ku. Sungguh malu, aku yang selama ini menutup-nutupi. Namun tetap saja, hatiku selalu ketebak oleh abi. Sangat memalukan sekali.
"Udah ah mi, Rizqy mau salat isya dulu," ucapku.
"Belum salat isya?" Tanyanya heran, karena sudah lewat satu jam.
"Biasa mi, gara-gara rekaman jadi gak inget sama jam, padahal itu jam ada di pergelangan tangannya. Namun, yang diingatnya hanya dia yang jauh dari sudut mata," sambung Abi, lagi-lagi ia meledekku, dengan sebuah fakta.
"Oh, no! Tidak bi, udah ah Rizqy lagi yang dipojokkan," rengekku kesal.
"Rasa tidak dapat dibohongi, nak Rizqy, sekalipun kau menutupi," ucap Umi dengan kata-kata yang penuh makna.
"Iya deh, Mi. Yaudah Rizqy mau salat dulu ya, Wassalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam."
Keenandyra jawabannya, ternyata suara yang membuatku candu, itu berasal dari seseorang yang aku rindu. Aku memejamkan mata, sungguh tersiksa diri ini harus menahan diri agar tidak menodai sebuah rasa dengan harapan kepada manusia.
Jujur, ntah yang ke sekian kali aku dibuat kagum olehnya. Tingkah barbarnya saja aku suka, apalagi tingkah baiknya? Aku tergila-gila. Suara rekaman itu terus terngiang di telinga. Huruf demi hurufnya, dilantunkan dengan indah, ditambah makhroj dan tajwidnya. Lengkap sudah, hatiku terus memujinya.
"Kini, dia bukan lagi Ukhty barbar, melainkan Almar'atu Shalihah, ya seorang wanita yang shalihah, Aamiin," batinku ketika salat, hingga lupa raka'at.
"Astaghfirullah."
Aku selalu memujinya, tapi aku lupa memuji Sang pemilik hatinya. Aku selalu mengingatnya, tapi aku lupa mengingat yang menciptakannya.
"Maafkan aku, Ya Rabb."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomansaBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.