Wanita Tarim

72 4 0
                                    

Aku sebenarnya tidak tahu siapa dan seperti apa wanita Tarim itu, hingga saking istimewanya sampai-sampai namanya dipakai pada nama forum yang dibuat oleh Bu Nyai Zakiyah. Kenapa tidak wanita Indonesia saja? Kan Indonesia adalah tempat di mana kami tinggal dan berada. Kenapa harus jauh-jauh ke negara timur tengah? Yaitu Tarim Hadramaut Yaman?

Sungguh heran, dan aku selalu bertanya-tanya dalam hati terkait nama forum itu. Aku tidak berani bertanya pada Bu Nyai, padahal malu bertanya, maka akan sesat di jalan. Ya seperti aku, yang tidak tahu apa-apa, tapi hanya sekedar ikut-ikutan, menurutku ini adalah sebuah forum yang baik untuk perempuan, khususnya bagi wanita akhir zaman.

"Kamu ini santriwati atau ustazah di pondok ini?" Tanya Ustazah Sabil.

Ustazah Sabil, nama lengkapnya yaitu Salsabila Yumna. Ia ustazah yang pintar, cerdas, aktif, dan pendiam. Mungkin ia heran kenapa aku beda sendiri, ketika yang lain memakai pakaian serba hitam, tapi aku malah memakai abaya yang mencolok warnanya, ditambah usiaku paling muda di sana, tapi ntah kenapa aku ke mana-mana selalu ikut dengan ustazah Marwah, semenjak jauh dari Manda, hingga aku selalu dikira ustazah oleh yang lainnya.

"Dia santri barbar ustazah," ledek ustazah Marwah.

"Apasi ustazah, orang Keenan pemalu gini, masa disebut santri barbar," rengekku kesal.

"Pemalu dari mana, yang ada malu-maluin," ledek ustazah Marwah kembali.

"Haha."

Semua ustazah menertawakan ku, termasuk Bu Nyai juga, ah malu rasanya. Aku seperti serpihan batu kerikil, diantara jutaan mutiara yang ada.

"Ndak boleh gituh, siapa tau dia kalau udah besar, jadi istri yang shalihah--

"Dan menjadi menantunya Bu Nyai Zakiyah," timpalku tanpa rasa malu.

"Haha."

Semuanya tertawa kembali, aku menutup wajah menyembunyikan ekspresi yang membuat wajahku memerah, karena saking malunya.

Ada apa dengan penampilanku, sehingga Bu Nyai terus memperhatikan. Apakah ada yang salah? Sampai-sampai tiap menit aku terus merapihkan hijab, takut ada sehelai rambut yang keluar, tapi hijab ini sudah rapi, aku mengucek mata, siapa tahu masih ada kotoran yang tertinggal. Namun lagi-lagi mataku sudah bersih tidak ada kotoran, hingga refleks aku mengeluarkan cermin dari saku, untuk memastikan salah atau tidak dalam penampilan.

"Kenapa Keen?" Tanya Bu Nyai heran, melihatku bertingkah demikian.

"Euu-- maaf Bu Nyai, apakah ada yang salah dalam penampilan Keenan?" Tanyaku dengan sopan.

"Emangnya kenapa? Serasa diperhatikan sama saya?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

"Ya karena kamu cantik, menarik, mengundang perhatian, dan kenapa kamu ngira hanya saya saja yang memperhatikan?"

"Karena Keenan juga tertarik oleh Bu Nyai, hingga terus memperhatikan," jawabku dengan jujur.

"Jadi kesimpulannya, apakah yang menarik itu harus terlihat cantiknya?"

"Tidak," jawab para ustazah serempak.

"Dan apakah kamu tidak ada niatan untuk tertutup seperti saya, Keen?" Tanyanya.

Aku hanya terdiam.

"Ketahuilah Keenandyra, yang memperhatikanmu bukan hanya saya, tapi para ustazah yang lainnya juga ikut memperhatikanmu, cuma kamu tidak menyadari hal itu. Ini masih disebuah ruangan, belum di luar? Semua orang menatap paras cantikmu, memperhatikan begitu eloknya tubuhmu, dan menikmati disetiap gerak gerik lincah mu. Apakah kamu rela wajah cantikmu, lekuk tubuhmu, tingkah lucumu, ditonton oleh jutaan lelaki di luar sana? Apakah kau tidak malu?" Tanya Bu Nyai, seraya menasehati.

Aku hanya diam.

"Coba kalau kamu tertutup dan terjaga, punya sifat malu, mungkin saya akan menjadikanmu seorang menantu," ledek Bu Nyai seraya tertawa geli.

"Haha, tuh sudah ada lampu hijau, Keen ayo maju, ini kesempatan untukmu," ujar ustazah Marwah, seraya menepuk pundak ku yang tepat disebelahnya.

Aku hanya diam dan tidak bisa berkata-kata.

Berkumpulnya para ustazah di satu tempat, didampingi oleh Bu Nyai, duduk membundar, saling bertukar pikiran dan perasaan, menasehati, sampai menyentuh hati. Moment itulah yang selalu aku nanti, walau sebenarnya aku tidak mengerti dengan pembahasan mereka, yang sulit sekali aku cerna.

Terkadang mereka membahas kota Tarim, yang jalanan nya bisa menjadi guru, bagi yang tidak punya guru, menjadi kota seribu wali, kota yang mulia karena wanita di sana terjaga, kota yang dirindukan bagi para perindu, kota yang berkah karena banyak waliyullah di sana, dan kota yang mengingatkan kita kepada Sang Penciptanya.

"Gimana Keenan? Masih tetep mau daftar jadi menantu?" Tanya Bu Nyai yang ke sekian kali menjahili ku.

Aku menggeleng seraya berkata,"Nggak ah ustazah, mudur banyak saingannya."

"Haha."

Lagi-lagi aku ditertawakan. Sungguh malunya diriku. Bagaimana mungkin aku bisa bersanding dengan putra Kyai, sedangkan penampilanku beda 360° dengan uminya. Itu baru penampilan. Bagaimana dengan hati dan pikiran hingga perasaan? Sungguh beda jauh.

"Kata siapa banyak saingannya? Kamu juga bisa kok, pelan-pelan berubah. Hijrah itu tidak langsung pindah, tapi butuh adanya sebuah proses yang indah. Jalani saja Keen, dengan apa adanya, seraya diperbaiki lagi untuk ke depannya. Saya yakin kamu pasti bisa berubah menjadi wanita yang lebih shalihah," tutur Bu Nyai lembut.

Sungguh indah akhlak istri dari seorang Kyai, tutur katanya lembut, tidak pernah ia marah kepada santrinya, yang ada hanya ukiran senyum, sepatah nasehat, dan seuntai doa. Ya, beliaulah wanita Tarim. Sangat terjaga dibalik pakaian serba hitamnya, tidak nampak cantiknya, benar-benar terjaga kesuciannya. Beliau bak permata, yang masih terlindungi oleh cangkang kerangnya. Tidak sembarang orang bisa melihatnya, sungguh beruntung yang mendapatkannya.

Aku hanya menunduk, pertanda memperhatikan apa yang Bu Nyai bicarakan.

***

Membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, sampai ke yang terakhir yaitu membasuh kedua kaki, hingga tertib. Itulah tata cara wudhu yang ustaz/ ustazah ajarkan, hingga aku selalu mempraktekkannya. Bu Nyai, salah satu dari orang-orang pilihan yang selalu menjaga wudunya. Batal? Wudu lagi, batal lagi? Wudu lagi. Allahuakbar betapa indah perangainya.

"Allahuakbar."

Takbiratul ihram, tanda salat malam aku mulai dengan tumaninah. Ruangan masih sunyi saat itu, belum ada siapa-siapa, santri masih betah di alam mimpinya. Rukuk, lalu bersujud tersungkur dalam ibadahnya seorang hamba.

Semilir angin pagi menyibak ujung hijabku, ditambah suasana pondok pesantren yang mengunggah semangatku pagi itu. Matahari mulai muncul di ufuk timur, memamerkan cahayanya yang terang di langit biru.

Santri semuanya mengaji, berbondong-bondong membawa kitab suci. Aku yang tengah asik murojaah, tiba-tiba masuklah ustadz muda yang begitu gagahnya.

"Masya Allah," ucap semua santriwati.

"Namun tidak ada yang bisa mengalahkan ketampanan ustaz Rizqy. Tidak! Sungguh aku hanya kagum kepada ustaz Rizqy saja," batinku.

"Astaghfirullah," istighfar ku dalam hati.

"Baiklah, karena Bu Nyai nya ada acara, jadi saya sebagai pengurus menggantikan posisi beliau untuk mengajar," ujar Ustadz muda.

"Ouh, baiklah ustadz."

Santriwati yang mana? Ketika kedatangan ustadz muda yang tampan, pintar ngaji, paham ilmu Agama, berpakaian sopan, berpeci, bersorban, ditambah belum punya istri, yang tidak meleleh hatinya?

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang