Cerita Macam Apa Ini?

60 1 0
                                    

Sepekan kemudian setelah aku menolak lamaran Ustaz Rizqy, tiba-tiba aku sama ustazah Marwah dipanggil oleh Bu Nyai agar ke rumahnya, hatiku gemetar, aku takut kena amarah karena aku menolak lamaran putranya. Namun kami berdua memberanikan diri, memenuhi panggilan Bu Nyai.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, Keen, Ustazah Marwah, masuk yuk, gimana kabarnya, sehat?" Tanya Umi, menyambut kami dengan senang hati.

"Alhamdulillah sehat. Bu Nyai sendiri bagaimana kabarnya?" Tanya Ustazah Marwah.

"Alhamdulillah, Ibu sekeluarga sehat, mari duduk. Ibu akan menyampaikan beberapa hal," tutur Bu Nyai lembut, seraya tangannya yang lihai terus menjamu tamunya. Menuangkan air teh hangat ke dalam gelas, menyuguhkan makanan ringan yang berada dalam toples, ditambah senyuman manis yang terukir dari bibirnya, semua itu berhasil membuat kamu senang dan tenang.

"Ouh, Baik Bu Nyai," ucap kami kompak.

"Jadi gini, perlu kalian ketahui. Kalian sudah dewasa, bukan lagi anak-anak, bukan pula remaja SMA, ditambah kalian seorang wanita, jadi Ibu pikir kalian sudah siap untuk berumah tangga, ilmu kalian sudah cukup, umur apalagi, tinggal satu yang kurang kalian belum mendapat pasangan, betul gak?" Tanya Bu Nyai serius, seraya kedua matanya tertuju pada kami.

Kami hanya menunduk, tidak kuasa untuk menatap Bu Nyai.

"Santai aja! Jangan takut begitu, tegang amat," ledek Bu Nyai, seraya tertawa ringan.

"Hehe, euu--iya betul apa yang Bu Nyai ucapkan," jawab Ustazah Marwah gemetar, seraya tangan kanannya menepuk pelan pahaku.

"Iya betul, kalian emang mau berapa tahun lagi mondok? Mau sampai umur 30 tahun?" Tanya Bu Nyai, seraya tertawa kembali.

"Nggak mau lah Bu Nyai, nanti takut disebut perawan tua," rengekku.

"Haha."

"Iya, makanya. Jadi gini Ibu mau nawarin kepada kalian, sosok pemuda yang Masya Allah keduanya. Sama-sama tampan, paham ilmu Agama, baik akhlaknya, sopan tutur katanya, Insya Allah mereka membimbing kalian, menjadi imam yang baik untuk keluarga, gimana mau tidak?" Tanya Bu Nyai serius.

"Siapa, Bu Nyai?" Tanya kami serempak.

"Ustaz Rizqy--

Aku menggeleng.

"Bentar dulu, Keen. Ibu akan jodohkan ustazah Marwah dengan ustaz Rizqy, bagaimana setuju?" Tanya Bu Nyai.

"Nah, setuju banget Bu Nyai, cocok," ujarku penuh semangat.

Ustazah Marwah menatapku heran, mungkin dia tidak menyangka aku akan seikhlas itu melepaskan orang yang selama ini aku rindu dan aku tunggu.

"Ustazah Marwah bagaimana?" Tanya Bu Nyai kembali.

"Euu--

"Terima ustazah, ayo harus terima pokoknya," ucapku, seraya menggenggam tangan Ustazah Marwah, dengan ekspresi yang bahagia.

"Kalau Keenan, sama siapa Bu Nyai?" Tanya Ustazah Marwah, mengalihkan pembicaraan.

"Jawab dulu, nanti Ibu kasih tau."

Ustazah Marwah menundukan kepalanya dalam-dalam, seraya mengangguk pelan.

"Alhamdulillah."

"Nah, kalau Keenan sama Angkasa," lanjut Bu Nyai, seraya senyum yang meragukan.

"Hah?! Angkasa yang mana, Bu Nyai?" Tanyaku heran, karena jujur selama di sini, aku belum pernah mendengar santri yang bernama Angkasa, ada juga sahabatku dulu pas jaman SMA.

"Ustaz tampan itu yang jadi temannya Ustaz Rizqy," jawab Bu Nyai.

"Hah?! Dia namanya Angkasa?" Tanyaku yang masih tidak percaya.

Bu Nyai mengangguk-anggukan kepala.

Kenapa begitu sempitnya dunia, hingga nama pun banyak yang sama, tapi sayangnya hanya sebatas nama saja, orangnya pasti berbeda. Padahal aku ingin Angkasa yang dulu, tampan, dan sangat menyenangkan. Namun dia ntah ke mana, mungkin dia sudah menikah dengan wanita yang dipilihnya.

"Jadi bagaimana Keen?" Tanya Bu Nyai untuk memastikan.

"Terima, terima," bisik ustazah Marwah, tepat ke telinga sebelah kiri.

"Tapi, kan Keenan tidak tahu sifatnya?" Tanyaku ragu.

"Kamu tidak yakin dengan sosok pilihan Ibu?" Tanya Bu Nyai.

"Euu-- yakin kok Bu Nyai--

"Terus?"

"Takutnya--

"Tidak, dia tidak seburuk yang kamu bayangkan. Walaupun dia suka memakai masker di wajahnya, tapi Ibu tahu rupanya ketika dia berada di dalam rumah. Sangat tampan, dan menenangkan. Sebelas, dua belas sama ustaz Rizqy, bahkan dia yang sebelasnya. Sosok yang paling tampan di pondok pesantren Miftahul Jannah, sama-sama lulusan Al Ahgaf Yaman, dan dia juga penghafal Qur'an, sama sepertimu," tutur Bu Nyai meyakinkan.

"Kalau memang benar dia pilihan Bu Nyai, iya Keenan bersedia," jawabku mantap.

"Alhamdulillah."

Cerita macam apa ini, kenapa endingnya aku dijodohkan dengan makhluk yang bernama Angkasa, namanya sama dengan sosok yang aku suka pas jaman SMA. Namun, kepribadiannya saja yang jauh berbeda, Angkasa yang dulu dia suka bergaya, dengan memakai kemeja, tapi tidak dengan makhluk kembarannya, ia selalu memakai sarung kemana-mana.

Andai saja Angkasa yang dulu dia mondok di sini, mungkin Angkasa yang kata Bu Nyai tampan, akan terkalahkan ketampanannya dengan Angkasa sahabatku pas jaman SMA. Ah, betapa pusing dengan satu nama itu, nama yang seharusnya terlupakan, malah sekarang ada, dengan sosok yang berbeda.

Kami kembali ke asrama, dengan hati yang bertanya-tanya, kenapa endingnya akan seperti ini.

"Ustazah bagaimana perasaannya? Pasti senang, kan?" Tanyaku, seraya tersenyum menatapnya.

Ustazah Marwah meneteskan air mata bahagia, karena saking terharunya, dan ia masih tidak menyangka, ternyata sosok pemuda yang didambanya selama bertahun-tahun, kini akan bersanding dengannya tinggal menghitung tanggal saja.

"Terima kasih, adikku, kamu sangat baik," tuturnya, seraya memelukku dengan erat.

"Iya sama-sama ustazah," jawabku, seraya mengelus lembut punggungnya.

Sungguh indah perjalanan cinta ini, berliku-liku tiada henti. Ku kira jodohku ustaz Rizqy, eh ternyata bukan, malah aku berjodoh dengan sosok yang tidak aku kenali. Namun namanya sangat indah, Angkasa, nama yang pernah ku ukir di buku diary, dan juga dalam hati.

'Angkasa'

Nama yang mengingatkanku pada seseorang yang aku sayang, nama yang bersejarah bagi si pecinta yang kehilangan jejak cintanya, buktinya dia ntah ke mana, menghilang tiba-tiba. Namun, tidak apa-apa, jika aku tidak bersanding dengannya, setidaknya aku bakal bersanding dengan nama yang sama yaitu Angkasa.

***

PoV Penulis

Tinggal menghitung hari saja, pernikahan mereka akan segera terlaksana. Benih-benih cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Ternyata benar, cinta itu tidak mengenal usia dan rupa. Buktinya, mereka yakin tanpa melihat antara satu dan lainnya.

Kelak kita akan mengerti bahwa memilih pasangan itu tidak hanya karena cinta, tapi juga tentang siapa yang akan menemani hingga menutup mata. Maka, pandai-pandai lah dalam memilih pasangan, karena ibadah yang paling lama yaitu pernikahan. Kita usahakan yang baik agamanya, akhlaknya, budi pekertinya, dan sopan tutur katanya.

Seperti mereka berempat, Keenandyra, Ustazah Marwah, Angkasa, dan Ustaz Rizqy. Mereka adalah orang-orang pilihan yang manut kepada gurunya, tidak pernah membantah, dan selalu ridho atas ketetapan-Nya.

Hingga sampailah mereka pada sebuah takdir yang sudah digariskan. Takdir yang membuatnya bertanya-tanya, kenapa rencana Allah di luar prediksinya, dan takdir yang membuat mereka tidak menyangka kenapa dunia sesempit ini pada akhirnya.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang