PoV Ustazah Marwah
Kabar gembira telah datang dari Keenandyra, bahwa ia sebentar lagi akan menimang buah hatinya, aku sontak bahagia mendengarnya. Namun ada sedikit luka yang tersimpan di dalam jiwa, kenapa aku tak kunjung hamil juga?
Pertanyaan itu lama-lama bersarang di pikiran, sehingga ketika aku bertanya kembali, seolah-olah aku sedang menyakiti diri sendiri. Ya, rasanya sakit sekali. Wanita mana yang tidak menginginkan seorang anak dari rahimnya sendiri? Pasti semuanya menginginkan, termasuk diriku yang sama-sama perempuan.
"Kenapa dek? Akhir-akhir ini kamu sering melamun?" Tanya Ustaz Rizqy heran yang tengah melihatku sedang melamun di pojokan kamar.
"Euu-- nggak Kang," jawabku, menyembunyikan sesuatu.
Aku berusaha untuk ceria kembali, melayaninya dengan sepenuh hati, jangan sampai dia tahu bahwa aku sedang gelisah, menantikan buah hati yang tak kunjung dititipkan oleh Sang Ilahi. Aku bangkit, seraya menghampirinya yang tengah sibuk melugot kitab Akhlakul Libanat.
Ia tersenyum, seraya melambai-lambaikan tangannya, tanda ia mempersilahkan aku duduk didekatnya.
"Kang," panggilku gemetar.
"Kenapa dek?" Tanyanya, yang masih fokus ke kitab miliknya.
"Gak sedih emang, Kang?" Tanyaku, seraya menatap wajah tampannya, ah sungguh meresahkan kenapa wajahnya sangat teduh ketika dipandang. Memancar cahaya, bak bintang kejora.
"Kenapa harus sedih? Emang kamu lagi sedih, dek?" Tanyanya yang langsung peka, dengan apa yang aku rasa, yang semula tatapannya ke bawah, kini menatapku dengan pandangan yang sama. Ia tetap ceria, garis senyumnya terukir, dan lisannya terus berdzikir.
"Euu-- nggak, Kang, jika kau baik-baik saja, aku juga baik-baik saja," ucapku seraya tersenyum lega, setelah melihat senyuman manisnya.
"Lah kok gituh? Coba cerita ada masalah apa, hingga membuatmu sedih wahai istriku?" Pintanya, yang awalnya memegang sebuah pena, kini aktifitas menulisnya terhenti, tergantikan dengan memegang tanganku yang dingin sekali, karena saking grogi.
Aku menggelengkan kepala.
"Kenapa dek? Jujur saja," bujuknya lembut.
Aku tetap menggeleng.
"Jangan dipendam, nanti hatimu lebam. Utarakan saja, Dek supaya kamu tenang," bujuknya kembali, seraya tatapannya tertuju padaku.
Aku terus menggelengkan kepala, hingga tak kuasa menahan air mata yang hendak jatuh dari pelupuk mata, sungguh aku tak bisa membendungnya, aku sudah berusaha tidak menangis di depannya, tapi kali ini tidak bisa, tangisku pecah, remuk rasanya, benar-benar sempurna rasa sakit ini, tatkala menginginkan buah hati setelah sekian lama menanti, tapi tak kunjung hadir, karena belum juga takdir.
Bagaimana rasanya? Menangis tanpa bersuara? Ya itu yang aku rasakan, sesak rasanya, pedih, perih, terus memendam luka, yang tak kunjung bersua. Air mataku terus berjatuhan, bayangkan! Hanya air mata yang berbicara, saking sesaknya aku sudah tidak bisa berkata-kata.
Kedua tanganku masih digenggam erat olehnya, dengan posisi berhadap-hadapan, beradu pandangan, dia menatap mataku, aku menatap matanya, seolah-olah mata kami berbicara antara satu dan lainnya. Tanpa mengucap kata, tapi ia mengerti dengan apa yang aku rasa.
Dengan lembut, tangannya mengusap air mata yang bersimbah, hingga pipiku kian basah, yang awalnya ceria, hingga pudarlah garis senyum di wajahnya. Ia merasakan apa yang aku rasakan, air matanya berhasil jatuh ke permukaan. Matanya memerah, pipinya juga basah, aku tak kuasa melihatnya terluka bersimbah air mata, hingga aku tak kuasa, suara tangisku pecah, sampai terdengar ke kamarnya Keenandyra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
Roman d'amourBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.