PoV Ustaz Rizqy
Sahabatku kerasukan apa, kenapa dia tiba-tiba ingin dibangunkan tengah malam, untuk bermunajat kepada Tuhan. Alhamdulillah kalau dia sudah berubah. Sekarang perlahan-lahan dia mulai tertarik untuk membaca Al-Qur'an.
Malam pun tiba. Sungguh dingin udara di luar sana, hingga saking dinginnya, aku langsung menarik selimut, dan larut dalam rasa kantuk. Aku tidak takut kesiangan, toh Allah selalu membangunkanku tengah malam, karena sudah menjadi kebiasaanku sejak dini, yaitu selalu bangun pagi-pagi.
Aku terbangun, ku lihat jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Tanpa berpikir panjang aku langsung bersih-bersih ke kamar mandi, lalu berwudhu mensucikan diri. Aku tidak lupa untuk membangunkan Angkasa, ku gedor-gedor pintu kamarnya.
Tuk! Tuk!
"Angka?"
"Angkasa," panggilku kembali.
Tuk! Tuk!
"Angkasa ayo bangun! Katanya mau salat tahajud bareng! Ngaji bareng!" Tegasku dibalik pintu.
"Angkasa, woy bangun euy!" Panggilku yang ke tiga kalinya.
"Angka Angka katanya minta dibangunin, giliran udah dibangunin, gak bangun-bangun, aneh!" Kesalku, seraya duduk sejenak di bangku panjang, tepat di ruang tengah. Tempat yang di mana aku, Angkasa, dan Keenandra suka berkumpul bersama untuk berbagi cerita.
Suasana masih sunyi dan sepi, hanya terdengar detik jam yang silih berganti, detik ke menit, menit ke jam. Namun Angkasa masih terlelap dalam tidurnya. Bismillah, ini yang terakhir kalinya aku menggedor pintu, setelah 9 kali gedoran, sampai-sampai engsel pintu rusak tak beraturan.
Tuk! Tuk!
"Angkasaaa!" Teriakku dibalik pintu yang masih tertutup rapat.
"Bangun woy!"
"Angkaaa!"
Kali ini ku gedor pintu kamar dengan sedikit kencang, hingga Keenandra terbangun dari tidurnya.
"Rizqy! Tengah malam berisik! Apa hah? Mau apa?!" Tanyanya sedikit menyentak, seraya kepalanya nongol di ambang pintu. Kebetulan kamarnya bersebalahan dengan Angkasa.
"Euu-- itu si Angkasa minta dibangunin tengah malam," jawabku gemetar.
"Gimana mau bangun, toh baru saja satu jam yang lalu kita habis Mabar (main bareng) mobile legend. Mungkin dia baru tidur, dan susah untuk bangun!" Tegasnya menjelaskan.
"Astaghfirullah, si kutukupret minta dibangunin tengah malam, toh sampai tengah malam dia baru tidur satu jam, ya pantas saja susah bangunnya!" Umpatku kesal.
"Hmmm, dah ya saya mau tidur! Jangan ganggu!" Pintanya, seraya menutup pintu.
Jeblak!
Sendiri, sendiri lagi, sendiri terus, dan kapan aku berdua nya. Jujur di umurku yang genap 22 tahun, aku butuh support system yang di mana selalu ada ketika suka maupun duka, belajar bersama, ibadah bersama, hingga bersama-sama mengharap Ridho-Nya. Ah, kenapa aku harus memikirkan itu semua, toh urusan Rizki, jodoh, dan kematian itu sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, dan kenapa aku harus khawatir? Sementara Allah akan hadirkan seseorang yang menjadi takdir.
Keesokan harinya, tepat pukul delapan dini hari, Angkasa menggedor-gedor pintu kamar. Suaranya serak-serak basah, karena sudah ku tebak, pasti dia baru bangun dari mimpi indahnya. Belum juga ku buka pintu kamar, ia sudah ngomel-ngomel dari arah luar. Sungguh bawel ia, percis si Keenandyra yang selalu ngomel tak henti-hentinya.
Kubuka pintu, lalu--
Brak!
Angkasa terjatuh, tersungkur di lantai. Bukannya nolongin, aku malah tertawa melihat tingkah konyolnya.
"Bukannya di tolongin, malah ketawa," ketusnya kesal.
"Haha, lagian kamu ngapain coba pagi-pagi," omelku, seraya membantunya untuk berdiri, dan mempersilahkan duduk di tepi kasur yang sudah rapi.
Ku kira dia mau apa kemari, dan ternyata hanya mau menegurku saja katanya aku tidak membangunkannya tengah malam, aku jawab saja, bahwa aku berkali-kali membangunkan sampai sepuluh kali gedoran, sampai engsel pintu kamar rusak tak beraturan.
***
Aku dan Angkasa. Di mana sudah tiga tahun kami selalu bersama di negerinya para ulama, berbagi cerita, bahkan soal asmara, tapi tidak dengan Keenandra, dia selalu mengasingkan diri, dengan mengunci di kamarnya sendiri.
"Ustaz saya mau curhat, nih," ujar Angkasa, seraya memakan keripik singkong.
"Apa? Tinggal curhat saja," kataku yang masih fokus membaca buku.
Jadi gini, ustaz. Saya suka kepada seorang wanita, dia itu cantik, menarik, bening, pokoknya siapa saja yang menatapnya pasti akan terpikat. Namun sayangnya dia tidak menutup aurat, bukan hanya penampilannya yang terbuka, dia juga barbar ke mana-mana--
"Ya, seperti kamu, Angka," ucapku memotong pembicaraannya.
"Syut, dengarkan dulu, ustaz!" Pintanya.
"Iya terus?" Tanyaku singkat.
"Terus, yang jadi pertanyaannya boleh tidak saya memilih pasangan hidup yang seperti dia? Sedangkan dia jauh dari syariat Agama," tanyanya meminta saran.
"Memilih pasangan itu ada empat Angka, diantaranya, karena agamanya, rupanya, nasabnya, dan hartanya. Namun yang harus didahulukan yaitu pilihlah ia karena Agamanya, maka akan selamat dunia akhirat. Namun, jika kamu tetap saja memilihnya, silahkan, karena mau secantik dan sepintar apapun seorang wanita, tetap pada hakikatnya dia ingin dibimbing oleh suaminya. Kamu yang harus membimbing, mendidik, hingga dia berubah menjadi baik," tuturku.
"Ouh baiklah, tapi bagaimana cara aku mendidiknya?" Tanyanya, yang masih kebingungan.
"Akan ku beri sebuah kisah. Kisah ini nyata terjadi pada santriku di Indonesia. Ada santri baru--
"Laki-laki? Apa perempuan?" Tanyanya memotong pembicaraanku.
"Dengarkan dulu Angka! Ini aku mau cerita panjang lebar!" Tegasku kesal.
"Iya Ustaz, siap."
"Santri wanita, dia beda dengan santri yang lainnya. Barbar, kayak kamu Angka seriusan banyak tingkah, selalu berulah, hingga saya bosan menghukumnya. Awalnya dia terbuka pakaiannya, tapi lambat laun, dia mulai tuh untuk mematuhi peraturan dengan mengenakan selembar kain yang disebut dengan cadar. Namun anehnya, dia gak mau pakai androk--
"Terus pakai apa, dong?" Tanyanya, yang lagi-lagi memotong pembicaraanku.
"Pakai training, kaos lengan panjang, hijab pendek, di tambah memakai cadar, bisa kebayang gak?" Tanyaku, seraya tertawa, mengingat si Keenandyra.
"Haha."
"Namun jangan salah sangka! Dia sekarang sudah hafal 30 juz Al-Qur'an, sudah jadi pengurus, bahkan sudah menjadi ustazah di sana--
"Masya Allah, siapa namanya?" Tanyanya penasaran.
"Ah, jangan! Nanti juga kamu tahu, toh kamu tahun depan akan ikut kan dengan saya, ke pondok untuk hidmah?" Tanyaku.
"Ah ustaz bikin penasaran! Iya deh siap, ustaz kenalin ya nanti sama aku, siapa tahu jodoh, haha," ujarnya, seraya tertawa kencang.
"Jodoh, jodoh, tidak akan aku kasih, orang dia akan menjadi milikku nanti, Insyaallah," batinku.
"Cantik gak ustaz orangnya?" Tanyanya memastikan.
"Ah, kamu mah mandang fisik! Insya Allah dia orangnya cantik, menarik, sama kayak wanita yang kamu suka, cuma bedanya wanitamu tidak menutup aurat dan tidak terjaga. Insya Allah santri wanita yang aku ceritakan tadi, dia sudah berubah dan sudah hijrah menuju lebih baik lagi," tuturku.
"Ah, mantap. Boleh ya ustaz," ucapnya, seraya mengedipkan matanya.
"Iya boleh, silahkan," ucapku yang tengah memendam.
"Yes, bismillah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomanceBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.