Narasi:Why?

49 1 0
                                    

Kenapa ketika seorang yang kau damba-damba, datang untuk menjemputmu, lalu kau menolak ajakan itu? Bukan kah kau mendambakannya?

Kenapa ketika sosok yang kau idamkan, datang untuk mengisi hati lalu kau tidak memberi ruang untuknya? Bukankah kau mengidamkan nya?

Kenapa ketika dia yang kau rindu selama bertahun-tahun, datang untuk meminta hatimu, lalu kau tega tidak mengasih apa yang ia mau? Bukankah kau merindukannya?

Kenapa ketika seseorang yang kau tunggu-tunggu kehadirannya, datang untuk memintamu memulai hidup bersama, lalu kau menolak tanpa memikirkan sebuah rasa? Bukankah kau terus menunggunya?

Why?
Kenapa?!

"Kenapa? Bukankah kau cinta kepada Nak Rizqy, Keen?" Tanya Bu Nyai, uminya ustaz Rizqy.

"Cinta, cinta banget malah, tapi tidak baik rasanya jika rasa ini terus berlabuh, sementara seseorang yang selalu bersama Keenan hatinya runtuh," ucapku gemetar.

Ustazah Marwah terus menggelengkan kepalanya seraya berkata, "Tidak, tidak Keen, semua orang punya hak untuk mencintai dan dicintai, itu hakmu, dan hak ustaz Rizqy untuk mencintaimu--

"Tidak ustazah Marwah, cinta ini kalah oleh rasa sayang kepada ustazah," ujarku kembali untuk menegaskan.

"Hiks, hiks, kenapa kamu seperti itu, Keen padahal saya tidak apa-apa, malah saya bahagia jika kamu bersanding dengannya, dia pemuda yang Sholeh, kau jangan menyakitinya--

Aku terus menggeleng, dan langsung berlari ke dalam kamar, sesak rasanya. Kenapa aku tidak tahu dari awal, mungkin aku tidak akan menaruh harapan, memang benar berharap kepada manusia hanya akan mengukir sebuah luka.

PoV Ustaz Rizqy.

Aku menghela nafas, berusaha tegar mendengar keputusan Keenan yang menolak lamaran barusan. Perih rasanya, kenapa cinta ini sangat rumit, ketika aku berusaha menjauh, ia seolah-olah terus mengejar. Namun ketika aku hendak mengejar, malah ia menjauh, sangat jauh, hingga tak tergapai.

Sesampainya di rumah, aku merebahkan badan disamping Angkasa yang tidak ikut ke acara lamaran, ia memilih untuk diam saja di rumah, karena kondisi badannya yang cepat lelah.

"Buset dah, pengantin baru. Spill dong tanggal nikah," ucap Angkasa, seraya langsung bangun dari rebahannya.

"Gak!"

"Hah? Badmood amat tuh muka, kenapa?"

"Gak!"

"Ditolak lamarannya sama si Ukhty Barbar?" Tanyanya tepat.

"Hmm!"

"Wah, parah si emang! Bisa-bisanya dia menolak lamaranmu, sabar, ya Ustaz Rizqy, mungkin dia bukan yang terbaik untukmu. Toh emang diamah gak baik, jadi tidak pantas bersanding denganmu yang sangat baik," celoteh Angkasa.

"Diam," pintaku datar.

"Ampun Tuan, apa akan ku carikan seorang wanita yang cantik parasnya, paham ilmu Agama, yang sikapnya gak barbar ke mana-mana?" Tanyanya lagi.

"Diam," pintaku pelan.

"Hehe, kenapa nggak sama ustazah Marwah saja? Kan sama-sama sholihnya, pengajar lagi, dan--

"Diam Angkasa!" Tegasku kesal.

Angkasa menganggukkan kepalanya, seraya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

Ntah kenapa, aku sudah mencintainya dengan seluruh jiwa, hingga ketika dia hilang, maka hilang pula separuh jiwaku. Hampa rasanya, jika sebuah harapan tidak terbalaskan, benar-benar kecewa, batinku terluka, dan baru kali ini aku bersimbah air mata.

"Ustaz nangis?" Tanya Angkasa kembali.

"Gak!"

"Ah, nangis tuh sampai basah bantalnya juga," ledeknya yang tiada henti.

"Bisa gak si Angka, kamu diam dulu sebentar!" Tegasku yang kian emosi.

"Wish, sabar-sabar ustaz, baru juga pagi Idhul Fitri salam-salaman," tuturnya mengingatkan.

"Astaghfirullah, maafkan aku, Angka. Sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa, dan berkata apa, aku benar-benar kecewa berharap kepada manusia," ujarku pelan.

Angkasa mengangguk-anggukan kepala.

"Benar, ya ternyata berharap kepada manusia tanpa melibatkan Sang Pencipta, hanya akan mengundang sebuah luka," tuturku kembali, dengan penuh penyesalan.

"Emang seberapa Masya Allah nya Ukhty Barbar, hingga kau terus mengejarnya ustaz? Buka matamu, jangan mencintainya karena nafsu, karena cantiknya fisik, itu tidak akan menjamin bahwa akhlaknya baik. Cantiknya fisik hanya akan membuat seseorang menatap, tapi akhlak yang baik mampu membuat seseorang menetap," ujarnya memberikan nasehat.

"Tapi aku sangat mencintainya, Angka!" Tegasku.

"Karena apa ustaz mencintainya? Karena tingkahnya yang barbar ke mana-mana? Atau karena kecantikan parasnya yang menggoda? Ketahuilah itu bukan cinta, tapi itu hanya nafsu semata," tuturnya bijak.

Aku terdiam, dan menenggelamkan wajah dalam-dalam, tanda penuh dengan penyesalan. Benar juga kata Angkasa, aku telah dibutakan oleh perasaan, dan aku telah kalah melawan hawa nafsu yang mengguncangkan hatiku, seharusnya aku sebagai ustaz mendidik santrinya, bukan malah menaruh hati padanya.

Berita telah tersebar dilingkungan pondok pesantren Miftahul Jannah, bahwasanya, ' Ustaz Rizqy, telah di tolak lamarannya oleh santriwati' berita itu menjadi perbincangan hangat, betapa malu diriku, sungguh selama satu Minggu aku tidak berani keluar kamar, hanya mengurung diri, bertafakur pada ilahi, dan berkali-kali aku menyesal dengan perbuatanku sendiri.

"Nak Rizqy," panggil umi dibalik pintu.

"Nggih, Mi?" Sahutku pelan.

"Buka dulu pintunya, ada yang perlu umi sampaikan dulu sebentar," tuturnya lembut.

"Baiklah, Mi. Silahkan masuk saja, nggak dikunci kok pintunya juga," sahutku.

Tenang rasanya, saat ku menatap wajah umi yang tengah tersenyum melihat putranya.

"Apakah ada seorang wanita yang seperti umi?" Tanyaku seraya menunduk.

"Ada, Nak pasti ada," tuturnya, seraya mengusap-usap punggungku.

Tangisku pecah, baru kali ini aku meneteskan air mata di depan orang tua.

"Gara-gara cinta kau menangis, Nak?" Tanya Umi, seraya mengusap air mataku.

Aku hanya diam, menahan sesak yang selama ini aku pendam.

"Padahal ada yang lebih mencintai jauh-jauh hari, yang terus memikirkan mu sampai hari kiamat nanti. Namun, kau tidak pernah menyadari, dan hanya mengingat seseorang yang kau cintai, yang justru ia tidak mencintaimu," tutur umi, seraya menatapku penuh iba.

"Siapa, Mi?" Tanyaku gemetar.

"Rasulmu, yakni Baginda Nabi besar Muhammad--

"Shalallahu Alaihi Wasallam."

"Ya, beliau yang selalu merindukan umatnya, kita sebagai umatnya malah lalai dalam mengingatnya," ujar Umi, tangisannya pecah, pipinya kian basah.

Aku menangis sejadi-jadinya. Benar, ternyata aku sering memikirkan makhluk-Nya dibandingkan kekasih-Nya, lalu aku membuka diary, dan menulis gubahan syair untuk Baginda Nabi:

**

Tatkala menyebut namamu
Wahai kekasih
Aku tak kuasa
Menahan deraian air mata
Lidahku kelu
Diterjang ombak rindu
Di mana adanya obat?
Penyembuh rasa sendu
Selain bertemu dengan yang dirindu.

Wahai cahaya
Cahaya bulan purnama
Bolehkah atmaku meminta?
Ragaku ingin bersama
Begitupun dengan sukma
Denganmu... wahai Sang junjungan
Sang panutan umat
Kami berharap syafaat
Sungguh, aku ingin bertemu
Kan kubawa secercah luka
Luka rindu yang tidak ada obatnya
Kecuali bertemu dengan yang dicinta
Uhibbuka Ya Rasulallah

Mengalir diantara dzikir
Hanyut menyebut namamu
Makhluk termulya
Manusia teragung sejagat raya
Sejuknya hati bertakbir
Dikala cinta bersemayam di dada
Merindukanmu wahai Sang Baginda




Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang