Hatiku gemetar, air mataku berjatuhan sepanjang jalan. Ntah kenapa, bukan air mata bahagia, melainkan aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Ya, aku takut, sementara mas Angkasa tak henti-hentinya tersenyum, ini menandakan ia sangat bahagia, mendengar kabar dari dokter yang barusan memvonisku sedang mengandung dua bulan.
Sampailah kami di apartemen, Mas Angkasa langsung mengabari ustaz Rizqy teman dekatnya, bahwa dia sebentar lagi akan menjadi seorang Ayah. Terdengar di ujung telepon ustaz Rizqy ikut bahagia, seraya mengucapkan selamat, dan melantunkan doa untukku dan keluarga. Sudah sejauh ini, sekarang bukan lagi tentang berdua dengannya, tapi akan bertiga bersama buah hati tercinta.
"Dek, kenapa kamu menangis terus?" Tanyanya, seraya tatapannya tertuju padaku, yang tengah menangis sesenggukan, tertutup kain sorban.
"Dek," panggilnya, seraya menyingkap sorban yang sengaja aku pakai untuk menutupi kesedihan. Namun kesedihan itu tidak bisa kututupi, tetap saja suara tangisku pecah, hingga membuat ia khawatir melihatnya.
"Kenapa dek? Bukankah kau merasakan hal yang sama? Sama-sama bahagia?" Tanyanya kembali, seraya tangannya mengusap pelan kepalaku.
Aku menggeleng.
Ntah kenapa rasa takut itu berdominan, hingga rasa bahagia pun dapat terkalahkan. Aku belum siap menjadi seorang Ibu, aku takut anakku kelak sama nasibnya sepertiku. Aku takut pulang duluan, meninggalkannya yang masih kecil lemah terkulai.
"Kenapa, dek?" Tanyanya kekeh. Wajahnya menampakan ekspresi yang sangat khawatir.
"Aku takut, mas, hiks hiks," rengekku, seraya menarik kembali sorbannya, kututupi kembali wajahku yang kian basah.
"Takut kenapa dek?"
"Aku takut meninggalkannya, sementara dia butuh perhatian dari seorang Ibu--
"Astaghfirullah, jangan samakan takdir, kita tidak tahu Dek, gak baik ah berpikiran seperti itu, sudah jangan menangis! Jangan takut! Ada mas di sini, yang akan menemanimu kapan pun itu," tuturnya menenangkan, seraya mengusap-usap punggungku, tanda ia sayang.
"Sudah, sudah. Ayo bangun, kamu belum makan sejak pagi. Kesian anak kita nanti, dia pasti kelaparan," ucapnya, seraya membangunkan tubuhku.
"Oh. Jadi sekarangmah kasihannya sama si dedek aja, ke adek nyamah gak!"
"Ish, cemburu belum juga lahir."
"Gak kebayang kalau anaknya perempuan, nanti seperti melahirkan saingan sendiri, gak mau ah, pokoknya--
"Syut, tidak boleh berkata seperti itu. Apapun jenis kelaminnya itu sudah sebuah anugrah, harus kita syukuri, Alhamdulillah. Perihal mas sayang atau tidak, sayang banget sama--
"Si kecil?"
"Iya si kecil."
"Tuh, kan," ketusku kesal.
"Kan kamu juga sama kecil, dek. Tuh, lihat tangan kamu, ini nih bidadari yang susah kalau disuruh makan, harus disuapin," tuturnya, seraya memegang pergelangan tanganku yang kecil.
"Ish, mas!"
"Makan ya cantik, nanti mas suapin," bujuknya.
Aku mengangguk, seraya tersenyum ke arahnya.
Alhamdulillah, perahu cintaku berjalan dengan semestinya, di tambah si buah hati akan hadir menjadi pelipur lara bagi kami yang sudah menyandang gelar suami istri. Banyak diluar sana yang setahun dua tahun bahkan bertahun-tahun, belum juga dikaruniai keturunan, sungguh sangat kasihan. Padahal yang suami istri nantikan adalah kehadiran seorang anak, yang akan menjadi pelengkap kehidupan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomansaBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.