Alhamdulillah sudah empat bulan usia kandunganku, rasanya aku tak sabar, bertemu dengan buah hati yang selama ini aku nanti. Sentuhan kecil mulai terasa darinya, tanda ia sudah ditiupkan ruh dari yang Maha kuasa, rasanya sangat bahagia, karena aku akan menjadi seorang Ibu nantinya.
Ayat suci Al-Qur'an dari surat-surat pilihan terlantunkan oleh para asatid asatidzah, kyai, dan para santri, dikediaman masjid pondok pesantren Miftahul Jannah, dekat rumah.
Ku lihat Mas Angkasa, tersenyum dengan lebarnya, tanda ia bahagia juga karena sebentar lagi akan menyandang gelar Ayah. Lengkap sudah keluarga, jika seorang anak lahir ditengah-tengah kami berdua, aku tak sabar, ingin ku putar waktu lima bulan kemudian.
"Selamat ya Keen, semoga kau selalu diberikan kesehatan dan kekuatan hingga lahirlah buah hati, yang selama ini kamu nanti. Jangan kecapean, harus banyak istirahat, kalau misalnya kamu butuh tempat buat curhat, sini datang saja ke rumahku, aku siap mendengar keluh kesahmu," ucap Ustazah Marwah, penuh perhatian.
Aku tersenyum, seraya menganggukkan kepala, "Terima kasih ya ustazah, yang selalu ada buat Keenan, semoga ustazah juga segera menyusul di kasih momongan."
"Aamiin, Keen. Doakan saja ya yang terbaik. Ya sudah, habis acara kamu istirahatin badannya, kalau bisa minta saja kepada suamimu kalau kau butuh apa-apa, jangan dipendam, kalau ada masalah selesaikan baik-baik, ya utarakan dan musyawarahkan, jangan sampai kau langsung memberikan keputusan ketika sedang marah, karena akan menyesal pada akhirnya, ingat! Semakin lama rumah tangga yang kita bina, semakin besar cobaan yang Allah berikan di dalamnya, tugas kita sabar, dan jalani bersama dengan tegar," tutur ustazah menasehati.
"Masya Allah, ustazah terima kasih banyak atas nasehatnya, siap, siap, ustazah, Keenan akan lakukan apa yang ustazah katakan."
"Syukurlah, ustazah pamit duluan ya, ustaz Rizqy sudah menunggu," ucap ustazah seraya menepuk pelan pundakku.
Aku mengangguk, "Hati-hati ustazah, terima kasih sudah datang ke acara empat bulanan," balasku, seraya memegang tangannya.
"Siap adikku."
Ustazah sekaligus teman, kakak, dan Ibu, bagiku. Ia salah satu orang yang berharga dalam kehidupan, setelah Ayah dan Mas Angkasa. Perangainya yang baik, penampilannya yang cantik nan menarik, ah betapa beruntungnya ustaz Rizqy, punya istri shalihah seperti ustazah.
Usai lah sebuah acara, rasanya sangat menguras energi dan tenaga, hingga aku merebahkan badan di sofa, dari yang awalnya hanya rebahan, eh akhirnya ketiduran berjam-jam, saat aku membuka mata, posisiku sudah meringkuk dekat Mas Angkasa, ah betapa So-Sweet nya ia, memangku tubuhku memindahkannya ke kamar yang sederhana.
Ku tatap wajah tampannya, yang masih memejamkan mata, tanda ia sangat lelah usai acara, ku belai rambutnya, ku usap pipi mulusnya, ku sentuh alis tebalnya, dan ku pegang tangannya, "Mas tetap di sini, tetap seperti ini, jangan pergi, dan jangan tinggalkan aku sendiri," lirihku.
"Tidak akan kubiarkan bidadari cantikku sendirian!" Tegasnya.
Sontak aku kaget kenapa ia tiba-tiba bersuara dengan lantangnya, ku kira dia terlelap dalam tidurnya, emang kebiasaan si dari dulu, dalam tidur saja selalu nge prank aku.
"Ih, mas! Kenapa tak kunjung tidur?!" Tegasku kesal.
"Nggak tau, dek. Kalau nggak dipeluk mah, emang susah tidurnya--
"Ah alasan aja!"
"Eh, iya bener--
"Yaudah, ayo tidur mas!" Pintaku, seraya dengan refleks memeluknya.
"Nah, gituh dong, Dek. Mas bakal langsung tidur kalau ginimah," ucapnya bahagia.
Suamiku super manja, hingga tidur pun harus ku peluk tubuhnya, kalau tidak, ia tak kunjung tidur juga, kesian walau terkadang ia sangat mengesalkan.
Aku selalu berdoa, semoga rasa cinta yang terbina karena Sang Pencipta, tidak akan luntur, tidak akan terlahap oleh jaman, dan selalu abadi sampai maut meregang.
"Dek, ayo tidur!" Ajaknya, seraya melingkarkan tangan di perutku.
"Nggak, mas kan aku sudah tidur. Masa mau tidur lagi!" Tegasku seraya menolaknya.
"Gak papa, ayo tidur dek temenin mas!"
"Hmmm."
***
PoV Ustaz Rizqy
Sudah tiga bulan kami berada di kota Tarim Hadramaut Yaman, dan kini kami telah mendarat dengan selamat di negara tercinta yaitu Indonesia, kembali ke rumah, bertemu dengan para santri Miftahul Jannah. Bahagia rasanya, walau kami masih berdua, belum bertiga, karena buah hati tak kunjung menyapa.
Ntah kenapa sekarang istriku sering melamun di pojokan, mungkin perasaan dan pikirannya sedang kacau berantakan. Mungkin dia merasakan hal yang sama, menginginkan buah hati yang tak kunjung diberi oleh Sang Ilahi. Namun aku selalu menghiburnya, menyenangkan hatinya, walau hatiku sama sakitnya.
"Dek," panggilku dengan nada rendah, seraya memeluknya dari arah belakang.
"Kenapa, Kang?" Tanyanya, seraya memegang tanganku.
"Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Kenapa akhir-akhir ini kamu sering melamun di pojokan?" Tanyaku.
Ia menggeleng.
"Tidak apa-apa, Kang," jawabnya, seraya tersenyum.
Oh Tuhan, sesabar itu ya istriku. Aku bangga punya istri yang tidak merepotkan suaminya, dia persis seperti Ibunda Khodijah yang selalu mendukung Rasulallah dalam berdakwah. Ia juga banyak membantuku dengan hartanya, tenaganya, bahkan pikirannya. Ia selalu mendukung apapun itu keputusanku, dan apakah gara-gara ia tidak bisa memberiku keturunan, pudarlah cinta dan perasaan? Tidak! Aku tetap mencintainya. Akan ku terima segala kekurangannya.
"Yang benar, dek? Kenapa? Coba cerita saja, apakah gara-gara kita yang tak kunjung diberi anak sebagai pelengkap kehidupan?" Tanyaku.
Ia mengangguk-anggukan kepala, air matanya berhasil jatuh hingga mengenai tanganku yang ada di bawah. Mengalir deras seperti perasannya, yang sakit tak terbalas, yang awalnya ia membelakangi ku, hingga ia membalikkan tubuhnya, lalu memelukku dengan eratnya.
"Kang, ku mohon jangan tinggalkan aku, ku mohon, aku takut sendirian," ucapnya, seraya menangis sesenggukan.
Tangisnya pecah di pelukan, seolah-olah ia tidak mau kehilangan, memeluk erat tubuhku dengan sangat kencang, tanda ia ketakutan, tidak mau ditinggalkan.
"Siapa yang mau meninggalkanmu, dek? Tidak ada!" Tegasku untuk memastikan.
"Aku takut, Kang! Aku takut--
"Syut, tidak baik seperti itu. Hei ingat ini akang selalu di sampingmu, bersamamu, memelukmu, mana mungkin berpaling, dek? Gara-gara tak kunjung punya keturunan? Tidak, itu semua tidak akan mempengaruhi cinta dan perasaan. Tetap cintaku selalu ada untukmu, apapun itu kondisimu, jadi jangan khawatir, jangan takut, ini akang selalu ada di sini, di dekatku, di depan matamu, akang tidak akan kemana-mana, tenang saja, hatiku milikmu, dan kau adalah pemenangnya," tuturku menenangkan.
Tangisnya reda, ia malah tertidur dipelukan karena saking nyamannya, ku pangku tubuhnya ke atas kasur, dan aku pun sama ikut tertidur. Tidur disampingnya, didekatnya, dan mendekapnya, itu sudah menjadi posisi ternyaman, di mana dua insan bercumbu mesra di atas ranjang.
Tuhan, jika di tahun ini aku tak kunjung dikaruniai buah hati, aku harap di tahun depan, menimang buah hati yang akan menjadi penerus Kyai dan memiliki ratusan ribu santri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomansaBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.