Garis takdir

87 3 0
                                        

Pondok pesantren Miftahul Jannah yang megah, di tambah ada acara pernikahan empat mempelai besoknya, menambah betapa estetiknya sebuah bangunan. Riasan dinding, karpet merah yang tergelar mewah, beragam bunga yang bercorak warnanya, menghiasai setiap jengkal lingkungan asrama.

Semua santri sangat gembira, menyambut hari esok, bukan hanya para santri, aku sendiri yang akan menjadi mempelai pengantin wanita, rasanya sangat bahagia, walau aku tidak tahu rupa suamiku nantinya seperti apa. Perjalanan cintaku sangat berliku, dimulai dari kagum kepada ustaz muda, hingga pada akhirnya aku akan bersanding dengan sosok yang namanya sama dengan sahabatku pas jaman SMA yaitu Angkasa.

"Bagaimana perasaanmu, Keen? Besok kita tidak akan lagi bersama ke mana-mana, kau dengannya, saya juga dengannya, bertemu paling kalau ada kelas aja," tutur ustazah Marwah membuatku sedih.

"Ah, ustazah. Pengen sama ustazah terus," rengekku manja, seraya mataku berkaca-kaca.

"Kamu ini, apa kata ustazah dulu? Kamu tidak akan selamanya bareng sama ustazah. Adakalanya kita berpisah memulai hidup baru, Keen," jelas Ustazah Marwah.

"Ah ustazah, sedih," rengekku, seraya langsung memeluk ustazah Marwah.

Dua insan terpatri dalam doa dan janji suci. Cintaku kini telah terukir digaris takdir Sang Ilahi, nama yang ada di lauhul Mahfudz, yang selama ini aku nanti, akhirnya aku bersanding dengannya, dengan santri pilihan Bu Nyai.

"Angkasa."

Nama yang membuatku bertanya-tanya, siapa dirinya? Kenapa namanya sama dengan sahabatku pas jaman SMA? Nama yang baru saja mengikrarkan ijab qobul, hingga nunggu beberapa menit lagi kami akan bersama, seatap dengannya, membangun rumah tangga, dan beribadah bersama, menggapai ridho-Nya.

"Alhamdulillah."

Acara telah berjalan dengan lancar, dihadiri oleh Kyai, juga puluhan ribu santri, ikut memberikan doa restunya. Aku sangat senang, dua keluarga besar datang, berkumpul, hingga pecah tangis bahagia.

Aku menyambut tamu yang sekian banyaknya, santriwati bermushofahah memberikan doa dan hadiah, air mataku tak henti-hentinya mengalir, menyaksikan sebuah takdir. Takdir yang membawaku sejauh ini, mencintai orang yang tidak ku kenali, dan beribadah bersama, di atap yang sama bersama orang yang tidak pernah menunjukkan parasnya.

"Silahkan, Nak masuklah ke kamar, suamimu akan menyusul sekitar lima belas menit lagi," ucap Bunda Angkasa.

"Euu-- iya bunda," jawabku gemetar.

Lima belas menit, kenapa tidak satu jam saja? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di dalamnya. Aku belum siap bertemu dengannya, menatap matanya saja aku tidak mampu, hingga aku selalu menundukan kepala. Kakiku gemetar padahal sudah sarapan, hatiku berdebar padahal belum pernah jantungan, rasaku tidak karuan, aku hanya merasa takut dan degdegan.

Jujur selama aku di pondok belum pernah ketemuan sama yang namanya laki-laki, apalagi sampai tatap-tatapan di ruangan yang sama, berhadap-hadapan, berpegangan tangan, Tidak! Sungguh aku belum terbiasa.

Kriek!

"Bismillah."

Ruangan yang penuh dengan bunga mawar, menghias disetiap langkahku, apakah ini yang disebut dengan kamar pengantin? Bagi mereka kamar ini sangat istimewa, tapi aku rasa kamar ini akan menjadi sejarah dalam hidupku, di mana aku akan terlihat kaku di matanya. Kakiku perlahan melangkah, menelusuri jejak disetiap sudut kamar, yang sudah dihias dengan sangat cantiknya.

Aku duduk dipinggir kasur, celingak-celinguk mencari teman, tapi sayang temanku kini bukan lagi perempuan, tapi dia laki-laki yang akan menemaniku setiap hari.

Ukhty BarbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang