Aku menangis sesenggukan. Rasa takut itu terus hadir, karena jujur selama di pondok ini aku banyak melakukan kesalahan, tidak taat peraturan, dan intinya di mata ustaz Rizqy, aku sangat buruk sekali. Aku takut ustaz Rizqy menceritakan semua perbuatanku ke Abinya, yang terkenal sangat tegas pemberani dan disegani.
"Ayo Keen, ini perintah Kyai, loh, kamu harus nurut. Ayo biar ustazah antar ke rumah Kyai," ajak ustazah, seraya memegang ke dua pundakku.
Aku terus menggeleng, tanda tidak mau.
"Keen, jangan seperti itu, loh tidak baik. Gak bakal di apa-apain tenang saja, nanti ustazah bela," tutur ustazah Marwah menenangkan.
"Tapi ustazah nya temenin Keenan, jangan pergi dari ruangan," rengekku.
"Iya, iya bawel. Ayo," ucap ustazah, seraya menarik tanganku menuju rumah Kyai.
***
Kyai Rozaq ketawa karena melihat vidio Keenan yang dikirimkan ustazah Marwah, "Haha, ada-ada saja ini anak, Rizqy mau lihat gak kelakuan anak didikmu?" Tanya Kyai Rozaq, seraya tertawa.
"Apa, bi? Siapa?" Tanya ustaz Rizqy, seraya mendekat dan melihat vidio.
Ustaz Rizqy menahan tawa, sampai memerah mukanya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, nah itu anaknya," kata Kyai Rozaq memastikan.
***
Dag-dig-dug hatiku, semakin kencang, dan debarannya hanya bisa dirasakan olehku dan Sang Pencipta yang tau. Ntah, rasa itu campur aduk, intinya aku sedang tidak baik-baik saja, kakiku gemetar, tanda aku ketakutan.
Ustaz Rizqy membuka pintu.
Deg!
Perasaanku semakin tidak karuan, ingin rasanya menghilang dari tempat yang sedang aku pijak, tapi semua ini harus aku lewati satu-satu walau rasanya tidak seindah yang aku mau. Namun aku yakin Allah pasti merencanakan semuanya, rencana yang terbaik untuk hamba-Nya.
"Silahkan masuk, Keen," ujar Kyai Rozaq dari dalam.
"Euu-- maaf Kyai, Keenan nya mogok dijalan dia gak mau ke sini katanya takut, Kyai," ucap ustazah Marwah sejujur-jujurnya.
Padahal aku ada sembunyi di balik pohon yang tinggi.
"Haha, Keenan-keenan, sini Keen jangan ngumpet di pohon, nanti ada pocong," teriak ustaz menakut-nakutiku.
"Huwaaa," teriakku, seraya lari terbirit-birit memasuki rumah Kyai, tanpa mengucapkan salam.
"Hah kok bisa Kyai Rozaq tahu aku sembunyi dibalik pohon," batinku, seraya memeluk ustazah Marwah, karena saking malunya.
"Ish ini anak, bukannya ucap salam terlebih dahulu, maen masuk-masuk aja," tegur ustazah.
"Hehe, iya lupa. Assalamu'alaikum," ucapku yang agak kalem.
"Waalaikumussalam."
Aku terus menunduk, karena aku takut.
"Tumben gak banyak tingkah. Giliran ada Abi aja, kayak ukhti, eh pas Abi gak ada mah kayak kunti," ledek ustaz Rizqy, seraya tertawa.
"Hahah," mereka semua tertawa.
Aku lagi yang menjadi bahan sorotan, ntah kyai Rozaq hapal dari mana tentang semua sikapku. Apa lewat putranya yang mengadu bahwa dia kedatangan santri nakal seperti aku, ah Wallahualam.
"Keen saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal saja, mau di dengarkan?" Tanya Kyai Rozaq memulai pembicaraan yang agak serius.
Aku mengangguk, seraya berkata, "Iya kyai."
"Pertama kamu sebagai santri harus menaati peraturan yang ada di sini, semua peraturan baik itu dari segi penampilan, kedisiplinan, kebersihan, dan lainnya, siap?" Tanya Kyai.
"Kalau nggak siap gimana Kyai?" Tanyaku lugu.
"Yasudah, jangan ada di sini, karena siapa saja orang yang datang ke tempat ini, untuk mondok di asrama kami, itu berarti dia harus siap dengan segala peraturan yang wajib ditaati, siap?" Tanya Kyai Rozaq kembali.
Aku mengangguk seraya berkata, "Siap Kyai."
"Kedua, kalau misalnya kamu tidak taat akan peraturan, maka saya akan menghukum mu, dengan hukuman yang sudah disepakati sebelumnya, siap?" Tanya Kyai Rozaq.
"Kalau misalnya gituh, Keenan dihukum terus dong tiap hari, Kyai" ucapku sedih, seraya mataku mulai berkaca-kaca.
Ustaz Rizqy langsung memejamkan matanya ketika melihatku, ntah apa yang dia pikirkan. Mungkin dia sangat iba terhadapku, atau juga dia bahagia melihat aku tersiksa dengan hukuman yang diberikan oleh Abinya, ntah aku tidak tahu.
"Emang Keenan sudah berniat mau melakukan kesalahan tiap hari?" Tanya Kyai Rozaq.
Aku hanya menggeleng, dan tak terasa air mata sudah tak terbendung, hingga ia jatuh ke permukaan, hingga cadarku basah, dan wajahku memerah.
"Kenapa nangis, ah kayak anak kecil aja baperan," ledek Ustaz Rizqy seraya tertawa mencairkan suasana yang cukup tegang dalam ruangan.
Aku lagi-lagi menggeleng, sudah tidak bisa berkata-kata, rasanya ini lebih sulit dibanding mengerjakan tugas matematika,"Ah, kenapa lu cengeng si Keenan, ya Allah," batinku menggerutu.
"Sudahlah, tenang ada ustazah, yang akan membimbing kamu, menemanimu, dan akan mendapat hukuman yang sama sepertimu. Jadi kalau kamu salah, ustazah juga dapat hukumannya, Keen. Mari kita dihukum bareng-bareng, udah atuh ah, cantiknya ustazah masa nangis," bujuk ustazah Marwah, seraya tangannya merangkulku yang sedang sesenggukan, karena takut mendapat hukuman.
"Terima kasih ustazah," ucapku tulus, seraya memeluknya, yang sudah ku anggap sebagai kakak ku sendiri.
"Iya sama-sama, Keen."
"Ketiga, jangan ada ruang untuk mengobrol antara kamu dengan lawan jenis, termasuk dengan anak saya juga, nak Rizqy, paham?" Tanya Kyai Rozaq membuatku tercengang dengan pertanyaannya.
"Hah," ucapku kaget.
Begitupun dengan ustaz Rizqy dia berkali-kali menarik napas, lalu menghembuskannya pelan-pelan.
"Kenapa? Mau ditambah lagi?" Tanya Kyai Rozaq.
Aku cepat-cepat menggeleng.
"Iya iya paham Kyai," ucapku gemetar.
Hancur sudah harapanku, pupuslah rasa yang jauh-jauh hari aku tanam di dalam dada. Kenapa secepat itu kami dijauhkan, padahal aku ingin lebih dekat, karena dekat dengannya, membuatku semakin taat kepada-Nya.
Garis takdir tidak ada yang tahu, semua ini sudah diatur oleh Sang pemilik hati manusia, bahwa hati kita sudah ada yang membolak-balikan yaitu pemiliknya. Jadi jangan marah, bukankah sesuatu yang kita anggap ada, itu adalah milik Sang Pencipta? Lalu kenapa saat sesuatu itu diambil oleh-Nya kita berduka dan kecewa?
"Alhamdulillah, makasih Abi, Rizqy senang dengarnya," ucap ustaz Rizqy yang pura-pura bahagia atas keputusan abinya.
"Salah, dugaanmu salah, Keen. Dia tidak merasa iba, dia malah bahagia," ucapku dalam hati.
Ternyata benar, berharap kepada manusia itu menyakitkan. Sudah berapa kali air mata ini jatuh karena ulah manusia. Namun aku pikir bukan salahnya, tapi ini semua salahku karena sudah berlabuh ke pelabuhan yang salah. Melabuhkan rasa bukan pada tempatnya, hingga akhirnya hatiku merasakan sakit yang luar biasa.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Namun batinku terus berkata tiasa henti, "Ya Rabb, kuatkan aku."
Aku ikhlas kehilangan orang yang dicinta, tapi jangan sampai aku kehilangan-Mu wahai pemilik cinta. Aku ridho ditinggalkan oleh orang yang aku sayang, tapi jangan sampai kau meninggalkanku sendirian, wahai Sang Penyayang.
Ini sudah menjadi ketetapan-Nya, tugasku hanya menjalani, menikmati, dan mensyukuri. Thanks Allah i'm fine.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
RomanceBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.