PoV ustaz Rizqy
Ada apa dengan hatiku? Kenapa iya tiba-tiba berdebar sangat kencang, dan kenapa aku harus mengkhawatirkan si Keenan yang ku cap Ukhty Barbar, ketika melihatnya kesakitan, ntah kenapa rasa sakit itu dapat aku rasakan.
Tidak! Tidak mungkin aku suka sama dia, dalam kamus hidupku, Keenan tetap bukan tipe istri yang aku damba. Aku menginginkan sosok pendamping hidup yang siap diajak ke surga-Nya, ibadah bersama, belajar bersama, mengaji bersama, bukan seperti Keenan, yang dinasehati bukannya mendengar, malah dia ingkar.
Namun, aku tidak bisa membohongi, jujur aku khawatir ketika melihatnya terluka, berdarah, dan meringis menahan sakit. Tiba-tiba dengan refleksnya aku menelpon ustazah Marwah untuk menanyakan kabarnya.
Drrrt drrrt.
"Nomer yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan."
Aku menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan.
"Keen, pasti kamu merasa frustasi dengan keputusan Abi. Ya, aku tahu kamu pasti merasa tertekan, karena dipaksa harus taat kepada peraturan, aku tahu kamu takut ketika mendapat hukuman, dan aku juga tahu bahwa kau tidak bisa jauh-jauh dariku. Namun, percayalah Keen pasti ini yang terbaik untuk kita, Abi tidak semena-mena memberikan keputusan, tapi ini adalah bentuk didikan, yang mendidiku, mendidik mu, hingga suatu saat kita akan paham, bahwa tidak akan tertukar apa yang sudah Allah takar," pesanku dalam hati.
Andai pesan itu bisa aku sampaikan kepadanya, tapi apalah daya. Ruang dan waktu sudah tidak mendukung semuanya, seolah-olah mereka tidak paham dengan apa yang aku rasakan. Namun ada yang lebih tahu, yaitu Sang Pencipta, ia yang menggariskan ini semua, dan ini pasti jalan yang terbaik untuk dilewati, dinikmati, dan dijalani dengan penuh kesabaran.
Triling!
Ada pesan dari ustazah,"Assalamualaikum ustaz, maaf tadi nggak sempat ke angkat teleponnya."
"Waalaikumussalam, iya ndak papa, bagaimana kondisinya sekarang?" Tanyaku.
"Alhamdulillah sedang diobati ustaz, empat jaitan, karena lukanya cukup dalam.
"Innalilahi, ada-ada saja. Apa penyebabnya? Jatuh?" Tanyaku penuh dengan kekhawatiran.
"Tidak, ustaz. Saya lihat itu seperti sayatan pisau, kaca, atau benda tajam lainnya. Soalnya banyak garis-garis luka ditangannya. Namun yang dijahit hanyalah segaris yang cukup dalam sayatannya," tutur ustazah memberi tahu.
Deg!
Hatiku sakit mendengarnya. Walaupun aku tidak terluka, tapi tetap aku bisa merasakan itu semua.
Dar!
Suara petir menggelegar. Suara itu sangat keras, ditambah hujan yang tak kunjung reda, kulihat di jendela kamar, air mulai naik ke permukaan. Umi sibuk ke sana kemari tanda khawatir terjadi apa-apa kepada keluarganya, hingga ia memanggil," Nak Rizqy."
"Iya umi?" Sahutku, seraya menghampiri umi yang sedang berdiri mematung melihat air yang mulai masuk ke ruang tamu.
"Allahuakbar, abi kamu mana, nak? Kenapa tidak kunjung pulang?" Tanyanya penuh kekhwatiran.
"Pas Rizqy mau nunggu Abi untuk bertausyiah, kata Abi, Rizqy duluan aja pulangnya, nanti Abi nyusul," jawabku.
Umi mengangguk-angguk.
"Semoga Abi kamu selamat ya nak, hingga bisa berkumpul kembali di rumah."
"Iya, umi Aamiin. Ya sudah umi istirahat, biar Rizqy bendung airnya," ucapku, seraya menuntun umi ke kamarnya.
Terdengar adzan magrib. namun sampai saat ini hujan tak kunjung reda, dan Abi belum juga tiba di rumah, ditambah sosok Ukhty Barbar yang saya tidak tahu kondisinya, ustazah Marwah yang ditelepon tidak kunjung diangkat, pesannya tidak juga dibalas. Hari ini penuh dengan kekhawatiran. Umi pun merasakan hal yang sama, ia istri yang shalihah, sehingga terus menerus mendoakan suaminya.
Di luar gelap, tidak ada santri yang keluar. Aku mengirim pesan ke grup ustaz ustazah, agar memberi tahu kepada santrinya untuk berjaga-jaga, jangan sampai ada yang keluar asrama.
"Keenan?" Tanyaku kepada diri sendiri.
"Dia sedang ada diluar, bersama ustazah Marwah. Apakah dia sudah kembali ke asrama?"
"Assalamualaikum," ucapan salam terdengar dari luar rumah.
"Itu pasti Abi, aku langsung membukakan pintu rumah, dan Alhamdulillah akhirnya Abi telah sampai dengan selamat.
Umi langsung bahagia, ia langsung membuat teh hangat. Kami berkumpul di ruang keluarga, menikmati teh hangat bikinan umi yang terasa nikmat. Namun lagi-lagi perasaanku tetap masih saja khawatir.
"Qy,"
"Rizqy," panggil Abi yang ke dua kali, membuyarkan pikiranku yang ke sana kemari.
"Euu-- iya Abi?" Sahutku.
"Kenapa? Kayak lagi mikirin sesuatu?" Tanya Abi, dia tahu isi hati.
Sungguh malu, kalau dekat sama Abi, saking bersih hatinya, dia bisa tahu apa yang sedang aku rasakan, dan dia bisa menebak apa yang sedang aku pikirkan.
Aku langsung menggeleng.
"Ke sana gih, jenguk Keenan, tapi hati-hati di jalannya ya. Jangan sampai ngobrol, satu kata pun tidak boleh," ucap Abi, yang berhasil membuatku malu.
"Ouh, nak Rizqy suka sama Keenandyra?" Tanya umi, seraya senyum-senyum ke arahku.
"Nggak mi, nauzubillah," ucapku menyembunyikan sesuatu.
Hujan kini reda, air yang semula naik, kini telah surut seperti semula. Setelah aku sampai di rumah sakit, dan masuk ke sebuah ruangan yang bernuansa putih, terlihat sosok wanita yang sedang terbaring lemas, wajahnya pucat, matanya sembab, sudah sepekan aku baru melihat kembali wajah cantiknya, hidung mancungnya, bibir mungilnya, ah astaghfirullah.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, eh ustaz, kemari, mari ustaz masuk," sahut ustazah Marwah yang mempersilahkan aku masuk dan duduk di samping Keenan.
Aku perhatikan, matanya masih terpejam rapat, sesekali ia meneteskan air mata, pantas saja matanya sembab karena terus menangis tiada hentinya.
"Keenan demam ustaz, hingga ia harus rawat inap," ucap ustazah Marwah.
"Demam? Innalilahi."
Keenan membuka matanya, karena ia mendengar suara yang ia kenal sebelumnya. Suara yang dirindukan, dan yang dinanti keberadaannya, "Keenan mimpi ya ustazah?" Tanyanya yang tidak percaya.
"Tidak, Keen ini bukan mimpi," jawab ustazah.
"Ustaz," panggilnya lemas.
Aku tidak boleh ngobrol dengannya, walau hanya satu kata saja. Aku tidak mau membuat Abi kecewa, akhirnya aku pamit ke ustazah Marwah, untuk pulang ke rumah.
"Ustazah maaf aku sudah ditunggu sama Abi di rumah, ini ada sedikit buah-buahan untuknya. Aku titip ya, semoga lekas sembuh dan bisa pulang lagi ke asrama, wassalamu'alaikum," tuturku buru-buru.
"Euu-- iya makasih ustaz, waalaikumussalam," jawab ustazah Marwah yang keheranan.
"Ustaz Rizqy," panggil Keenan gemetar.
Deg!
Aku berhenti, selang tiga detik, aku melanjutkan kembali langkahku, aku tinggalkan dia dengan berat, padahal masih ada serpihan rindu yang menyayat.
"Ustaaaz," teriaknya dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya.
Ya aku mendengar itu, kau memanggilku, bahkan yang ketiga kalinya. Bukan aku tidak ingin bertemu lebih lama, malah aku ingin menemanimu sampai menutup mata, tapi sekarang bukan saatnya. Jadi lebih baik aku menghindar karena takut dosa, daripada harus melakukan dosa yang mengatasnamakan cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
Roman d'amourBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.