Serangkaian ibadah yang paling lama yang dijalaninya oleh bersama yaitu nikah. Bagaimana tidak? Toh pasangan suami istri yang saling bertatapan saja sudah mengandung pahala, apalagi aktivitas yang baik lainnya, pasti akan berkali-kali lipat pahalanya. Bahkan seorang wanita jika menunaikan salat wajib, berpuasa di bulan Ramadhan, dan taat kepada suaminya, maka ia berhak masuk ke dalam surga mana saja yang ia mau.
Indah bukan? Namun berumah tangga itu bukan hanya tentang bersama, tapi tentang menyatukan dua pemikiran dan perasaan yang berbeda, hingga harus terciptalah satu tujuan yang sama, yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawadah warahmah.
Begitupun denganku yang menjadi istri sahnya, harus patuh kepada suami, dan sebisa mungkin jangan membantah apapun yang ia perintahkan, selagi itu dalam koridor kebaikan. Melayani dengan sepenuh hati, dengan ikhlas tanpa berharap untuk dibalas, karena seorang pecinta ia tidak akan mengharapkan balasan terhadap orang yang dicintainya, dan seorang pecinta akan selalu memberi walau tidak diminta.
Ku lihat dirinya dari kejauhan, yang tengah membuka sebuah kitab gundulan, kitab itu tebal dan berwarna kuning kecoklatan. Samar-samar kulihat matanya sangat letih, maklum dia baru pulang ngajar di pondok pesantren Miftahul Jannah, pesantren yang dulu kami tinggali. Jaraknya tidak jauh, malah rumah kami masih menyatu dengan lingkungan pondok, bersebelahan dengan rumah Ustaz Rizqy.
Aku langsung menghampirinya, dengan penampilan yang sudah ku tata sebelumnya.
"Alhamdulillah, Mas sudah pulang?" Tanyaku lembut, seraya mencium punggung tangannya.
Lalu ia membalasnya, dengan meletakan telapak tangannya di atas kepalaku, seraya menjawab, "Sudah, Alhamdulillah. Adek abis dari mana? Mas panggil-panggil dari tadi, gak ada sahutan."
"Allahu maafin, mas ini habis dari kamar mandi," ucapku merasa bersalah.
"Pantesan wangi," tuturnya, seraya menuntunku dengan tangannya menuju kamar.
"Mas mau apa?" Tanyaku heran.
"Haha."
"Emang tidak bosan di kamar terus selama tujuh hari, tujuh malam?" Tanyaku kembali.
"Haha, kalau di kamarnya berdua sama kamu mah dek, gak ada kata bosan, yang ada senang," jawabannya, seraya tertawa, hingga keliatan lesung pipinya.
Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala.
Tatapannya yang semula letih, kini segar kembali, wajahnya yang semula kusut, kini sumringah dan penuh gairah. Mau heran tapi ya inilah sebuah pasangan, yang terus berusaha membahagiakan pasangannya, dengan cinta, kasih, dan sayang.
"Mas pasti lelah ya, karena sudah mengajar santri di pondok?" Tanyaku, seraya membelai rambut tebalnya.
"Mmmm? Nggak," rengeknya manja, seraya badannya merebah di atas badanku, sehingga badan mungilku tertindih oleh badannya.
Hanya beberapa menit saja, ia sudah terlelap dalam tidurnya. Lama kelamaan tubuhku mulai keberatan, dadaku tertekan, hingga rasanya sesak, ingin membangunkan. Namun aku tahan, karena rasa kasihan.
"Kenapa dadamu berdebar kencang, dek?" Tanyanya, yang ku kira sudah terlelap dalam tidurnya, ternyata ia masih terjaga.
"Euu--
"Grogi, kah?" Tanyanya yang tidak peka.
"Enggak--
"Terus?" Tanyanya kembali, yang belum menyadari bahwa tubuhnya sangat berat sekali.
"Adek keberatan, mas," rengekku, seraya posisiku tidak berubah, yang hanya merebah pasrah.
"Allahuakbar, kenapa kamu tidak bilang dari tadi, dek ya Allah," sontak ia langsung bangkit dari tidurnya.
"Dikira mas sudah tidur, makanya adek gak bangunin, takut mengganggu. Yaudah mas mau dibikinin apa? Kopi mau? Apa mau teh angat? Kebetulan di luar hujan."
"Minta selimut bernyawa saja, sini," ucapnya, seraya menarik tubuhku kembali, hingga masuk ke dalam selimut yang sama.
"Ah, masss suka nakal. Tidak ada tawaran seperti itu," rengekku seraya memberontak.
"Haha," ia tertawa, seraya memeluk tubuhku dengan sangat erat, hingga aku tidak bisa bergerak.
Mas, mas, ketika berada di dekatku ia seperti anak kecil yang manja tidak ada duanya, nempel terus tubuhnya, selalu mengikutiku kemanapun aku pergi, ke dapur ikut, ke kamar ikut, bahkan ke kamar mandi pun ia selalu menguntit ku dari belakang, bukan hanya itu setiap makan saja harus aku suapi, semanja itu emang. Namun, ketika berada diluar ia seolah-olah tidak membutuhkan ku, bahkan ku gandeng tangannya saja tidak mau, malah menarik tangannya kembali. Emang segengsi itu ya para lelaki, ia tidak mau kelihatan manja di depan banyak orang yang melihatnya, ia hanya menunjukan bahwa dirinya bisa, kuat perkasa, dan berwibawa.
"Dek, pekan depan kita ke Tarim, yuk ziarah, kebetulan Ustaz Rizqy bersama istrinya juga berencana akan pergi ke sana pekan depan, gimana?" Ajaknya, setengah berbisik di dekat telingaku.
"Apa wahai suamiku? Apakah ini benar? Tidak mimpi?" Tanyaku sontak kaget, seraya langsung menatapnya, hingga pandangan kami bertemu antara satu dan lainnya.
Ia menganggukkan kepalanya, seraya tersenyum tipis. Sungguh senyumannya begitu manis.
"Huwaaa, terima kasih, mas, senang rasanya," teriakku bahagia, seraya memeluknya begitu erat.
Memang dia sangat tahu apa yang aku mau dari dulu. Memimpikan kota impian yaitu kota Tarim yang berada di negeri Yaman yang belum kesampean sampai sekarang, dan Alhamdulillah pekan depan aku akan menginjakan kaki pertama kali di kota seribu wali bersamanya wahai kekasih hati.
"Berapa lama kita di sana?" Tanyaku penasaran.
"Sekitar 3 bulan lamanya, Insya Allah," jawabnya, seraya bangkit dari tidur, lalu ia berjalan ke arah timur, mengambil berkas yang ada di nakas, kemudian memperlihatkannya kepadaku sebuah album foto yang bertuliskan 'in love the tareem'
Masya Allah Tabarakallah, ketika aku membuka album tersebut, nampaklah foto sebuah kota yang gersang, yang berhasil membuat hatiku tenang. Kota itu ialah Tarim, kota yang ku damba sejak dulu kala. Mengalirlah air mata, karena masih tidak percaya aku akan berangkat bersama mas Angkasa ke sana.
"Ini kan Angkasamu dulu?" Tanyanya, seraya menunjuk sebuah foto lama yang tersimpan rapih sekitar lima tahun silam, di sana nampak sosok Mas Angkasa yang baru saja lulus SMA, penampilannya sungguh berbeda dari yang sekarang, dulu ia tidak di peci, rambutnya tebal, hitam dan mengembang indah, masih mengenakan kaos oblong warna Fink kesukaannya, ah ku akui tidak ada yang bisa mengalahkan ketampanannya.
"Iya, cowok paling nyebelin sejagat raya," tuturku seraya mengingat-ingat kejadian, yang di mana ia selalu membuatku kesal pas jaman SMA.
"Haha, nyebelin ya? Dan sekarang? Ngangenin, kan? Toh buktinya mas baru saja keluar lima menit, sudah ditelepon saja," ledeknya seraya tertawa menatapku.
"Ih apasi!"
"Tuh, tuh, ternyata fotomu masih ada Keenandyra, haha lucu banget lu dulu, pakai seragam SMA tapi jarang masuk sekolah dan suka alpa, haha," ledeknya seraya terwujud kencang.
"Hah apa, mas? Keenandyra?" Ocehku yang tidak menerima dipanggil dengan sebutan nama.
"Eh, iya maaf, dek maksudnya," tuturnya merasa bersalah.
"Gak ah!"
"Haha ngambek, cewekmah gituh baperan!" Ketusnya seraya terus membujukku, dengan segala cara.
"Sayangku cinta, maafin mas ya, janji deh gak akan lagi memanggil dengan sebutan nama, kalau mas panggil Ukhty Barbar boleh?" Tanyanya yang semakin ngeselin.
"Tuh!"
"Haha, ampun."
"Gak ada jatah untuk malam ini!"
"Waduh, dek. Jahat bener."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar
Любовные романыBarbarku hanya sekedar hiasan, untuk mendapatkanmu ku hanya menunggu takdir Ilahi.