Yolanda dan Septa sudah naik di motor milik Davin yang terparkir di parkiran rumah sakit sejak dua hari yang lalu. Walaupun terlihat kaku, Septa ternyata cukup mahir untuk ukuran orang yang jarang mengendarai kuda besi itu.
"Lo terakhir kali naik motor kapan, Ta?" tanya Yolanda setengah berteriak.
"Ada setengah tahun lebih kayaknya," sahut Septa tetap stabil menarik tuas gas.
Setelah mendengar jawaban dari lawan bicaranya, Yolanda hanya diam sambil menikmati perjalanan mereka. Sudah ada 10 menit lebih mereka berkendara tanpa berhenti.
"Kita mau kemana?" tanya Septa disela-sela keheningan diantara mereka.
"Kemana aja," sahut Yolanda ambigu.
Septa mengerutkan keningnya. Kepalanya berpikir keras, harus kemana mereka hari ini? Ternyata se-sulit ini untuk memahami keinginan seorang wanita.
Septa membelokkan sepeda motornya ke arah gang kecil setelah melewati jalan besar selama beberapa menit sebelumnya. Yolanda menatap lingkungan sekitar yang menampakkan beberapa rumah-rumah penduduk.
"Kita ada dimana?" tanya Yolanda ke arah Septa.
"Di rumah gue," sahut Septa sambil membelokkan sepeda motor ke arah rumah berpagar kayu.
Yolanda baru teringat. Ini bukan rumah yang ia kunjungi beberapa hari yang lalu.
"Ini rumah siapa? Perasaan rumah lo bukan yang ini deh," ucap Yolanda turun dari boncengan motor. Diikuti oleh Septa yang membantu gadis itu membuka kaitan helmnya.
"Ini rumah nenek. Ayo masuk," ajak Septa berjalan mendahului Yolanda.
Gadis itu mengekor di belakang. Matanya melirik kesana-kemari. Lingkungan di sekitarnya tidak terlalu kotor tetapi tidak bersih juga. Bisa dikatakan cukup baik untuk ditinggali seorang lansia. Pintu kayu didepannya didorong pelan oleh Septa. Bibirnya mengucap salam.
"Assalamualaikum nek," ucap Septa masuk ke rumah neneknya.
Desain rumah sederhana dengan tembok yang belum sepenuhnya diperhalus. Yolanda berjalan pelan dibelakang Septa. Langkah keduanya terhenti kala seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah ruangan.
"Loh Septa? Sama siapa ini?" sapa seorang nenek sambil tersenyum ramah.
Yolanda cepat-cepat menyalami punggung tangan sang nenek. Diikuti oleh Septa yang memeluk neneknya lembut.
"Aduhh repot-repot kamu kesini. Silakan duduk, mbak," ucap nenek tadi sambil mempersilahkan Yolanda untuk duduk.
"Eh iya, terimakasih nek," sahut Yolanda mendudukkan pantatnya di atas kursi rotan.
"Nenek duduk aja, biar Septa yang siapin minum," ujar Septa mendorong tubuh neneknya supaya duduk di dekat Yolanda.
Tiba-tiba saja Yolanda merasakan atmosfer ruangan yang berbeda. Badannya sedikit tegak dengan kaki yang menekuk gugup. Bibirnya tiba-tiba terasa kering dan detak jantungnya semakin bertalu-talu.
"Santai aja mbak. Saya nggak gigit kok," canda sang nenek saat melihat ketegangan di wajah tamunya.
Yolanda menyengir pelan. Tangannya semakin basah karena keringat. Dirinya sudah persis seperti wanita pengidap penyakit paru-paru.
"Nama saya Irma. Nama kamu siapa, cah ayu?" tanya nenek bernama Irma itu.
"Nama saya Yolanda nek," balas Yolanda santun.
"Namanya cantik ya, kayak orangnya," puji nenek Irma seraya tertawa kecil.
Yolanda yang merasa kalau pujian itu sedikit berlebihan, ia hanya bisa ikut tertawa garing. Belum sempat memberikan balasan, Septa sudah muncul dengan nampan berisi tiga cangkir teh hangat yang sepertinya baru ia seduh.

KAMU SEDANG MEMBACA
MY CUPU BOYFRIEND
Fiksi RemajaYolanda Melviana. Gadis super galak nan jutek dari SMA Angkasa. Setiap harinya diisi kelakuan super bar-bar yang sudah tidak dapat dikontrol lagi olehnya. "Wehh minggir lo pada! Princess cantik mau lewat", kelakar gadis itu. "Kiw kiw cowo, cakep a...