50-Phu, Papi, dan Kakak

656 67 2
                                    

"Phuwin!"

Krist berlari menghampiri putranya yang berbaring di sofa dengan New sebagai bantalan kepalanya. Sedangkan Pond duduk di bawah sofa mengipasi si omega. Lalu Pond segera berdiri untuk memberikan ruang bagi Krist dan putranya berbicara.

Omega itu tidak pingsan, hanya saja matanya sembab karena menangis dan tubuhnya cukup lelah. Cukup mengiris hati Krist sebagai orang tua, "Nak... maafin papi nggak angkat telpon kamu... maaf, Phu... maaf papi salah,"

"Kit..." New menegur, "Kejadian ini diluar kendali, bukan salah lo kalo dia dateng pas lo nggak ada," Tutur New menenangkan.

Namun Krist masih terus menangis, "New... gue... gue yang... bawa dia buat ketemu Phu... New, gue kira trauma dia udah hilang... New..." Ucapan Krist tersendat, seiringan dengan tangisnya yang menghalangi ia bicara sehingga pelafalannya tak begitu jelas, namun New memahami dengan baik.

Tentu saja mengundang amarah sang sahabat, "Kit?! Lo mikir nggak, sih?! Trauma masa kecil nggak bisa hilang gitu aja!" Cecar New dan semakin memperburuk suasana.

New meletakkan kepala Phuwin dengan perlahan, lalu menyeret sahabatnya itu menyendiri. New memandang Krist marah, tidak habis pikir dengan omega satu ini, "Seneng liat anak lo ngeringkuk ketakutan gitu?"

"New..." Krist memelas.

Omega yang lebih tua beberapa bulan itu menghela nafas lelah, "Kenapa lo bisa ketemu mak lampir itu lagi?" Tanya New mendesak.

Lalu Krist terdiam sejenak, mengingat kedatangan Irish berbulan-bulan yang lalu saat Phuwin masih belum kembali ke rumah. Wanita itu memohon sampai bersujud di kaki Krist ingin dipertemukan lagi dengan Phuwin. Padahal Krist telah menolak dan mengusirnya, namun Irish tetap berusaha membujuknya.

"Akhirnya gue izinin, tapi bertahap, gue tau kalo Phu belum terima keadaannya sampe sekarang, makanya gue cuma izinin Irish dateng sebentar buat liat anak gue. Perjanjiannya kalo Phu nggak inget atau nggak mau ketemu Irish, cewek itu nggak akan bisa ketemu Phuwin selamanya," Jelas Krist seraya menunduk.

"Sekarang apa? Anak lo bakalan keinget terus sama jati dirinya, dan nggak akan bisa berdamai sama masa lalu dia,"

Lagi-lagi Krist terdiam, mencerna kata-kata New yang seratus persen benar. Lebih dari dua puluh lima tahun Phuwin bersikeras melupakan mimpi buruk pengalaman masa kecilnya. Namun semua trauma itu rasanya belum usai lagi. Apalagi perasaan dikucilkan ketika ia bertemu keluarga sang ayah, Phuwin hanyalah angin yang tak dianggap.

Traumanya belum sembuh.

"Singto tau?" Tanya New lagi, dan Krist menggeleng pelan.

New tidak tahu lagi harus berkata apa lagi untuk tetangga dekatnya yang bodoh ini.

***

Alpha yang berstatus Kepala keluarga Ruangroj itu baru saja tiba di rumah pukul tiga sore. Biasanya Phuwin tengah duduk di sofa dengan gawainya menemani Krist yang menonton serial di televisi. Namun kali ini kosong, rumahnya sangat sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan selain Momon kucing Fourth yang selalu diizinkan untuk berkeliaran juga di rumah ini.

Tetapi pintu utama hanya di tutup saja, tidak di kunci. Itu tandanya masih ada orang lain di dalam rumah. Akhirnya Singto berinisiatif mendatangi kamar putranya yang berada di lantai dua.

Pikirnya Phuwin sedang tidur, dan Krist mungkin ada di kamar mereka.

"Mas pulang... Eh?"

Kamarnya pun kosong, tak ada tanda kehadiran Krist di dalamnya. Kemana dia?

Singto tidak merasa jika Krist sudah meminta izinnya untuk pergi ke luar atau apapun itu. Karena biasanya, Krist selalu memberitahu kemanapun ia pergi kepada sang alpha.

Lalu alpha itu beralih ke kamar Phuwin, dan akhirnya mendapati kedua kesayangannya terlelap berpelukan di sana. Singto menghela nafas, tersenyum lega karena melihat anak dan omeganya di sana.

Sesuatu yang biasa namun tidak biasa. Phuwin memang sangat manja kepada Krist, namun tidur di jam begini bukanlah kebiasaan mereka. Apa terjadi sesuatu? Singto bertanya-tanya. Namun akan ia tanyakan nanti saat makan malam.

***

Di meja makan malam hari ini, ada Dunk yang ikut bergabung karena ia sendirian di tinggal sang alpha meliput sebuah berita pembunuhan yang sedang ramai di bicarakan di media. Namun lupakan, Dunk tidak takut sendirian, ia lebih takut akan suasana meja makan yang terasa mencekam. Papi dan Phuwin yang tak membuka suara sama sekali sangat tidak mungkin. Karena mereka berdua adalah pasangan orang tua dan anak yang sangat pas dalam hal membuat obrolan di meja makan.

Suasana malam ini menjadi lebih sepi, sang kepala keluarga pun tidak berkomentar apapun, mungkin obrolan malam ini akan lebih sensitif jika di bahas selagi makan. Tapi, apa sebenarnya yang sudah terjadi?

Dunk menyelesaikan makan malamnya dan duduk terdiam menunggu anggota keluarganya yang lain.

"Ini sebenernya ada apa, sih? Kenapa semua pada diem?"

Pertanyaan Dunk diangguki oleh sang kepala keluarga, "Papi sama Phu ada masalah?  Perasaan tadi siang Phu tidur dikelonin papi?"

Phuwin seketika membelalak dan memberikan tatapan nyalang kepada sang kakak yang tertawa mengejeknya, "Udah gede kok tidur masih dikelonin papi," Ujar Dunk meledek.

"Biarin, wlekk!"

"Papi... ada yang mau dijelasin ke kita?" Sela Singto dengan nada serius kepada omeganya, membekukan lagi suasana yang sempat hangat itu. Kemudian Singto menatap anak tengahnya, "Atau abang?"

Krist terdiam sejenak memilah kata-katanya, "Tadi siang... Phuwin..." Omega itu terbata.

"Tadi ibu Irish dateng ke rumah buat ketemu abang, Dad, terus abang agak ke-trigger sih sama ingatan masa lalu," Sela Phuwin dengan kekehan recehnya, menganggap kejadian yang hampir membuatnya pingsan siang tadi bukanlah apa-apa.

Alis Dunk menukik tajam penuh amarah, "Emang dia pantes di sebut ibu? Nggak ada ibu atau orang tua yang tega bikin anaknya trauma setiap ngeliat mereka!" Seru Dunk tidak terima.

"Kak..." Sela Singto lembut menenangkan putranya.

Awalnya, Dunk adalah orang pertama yang tidak menerima Phuwin dan membenci omega tersebut. Namun karena Krist sering memberi hukuman pada Dunk agar mengantar jemput Phuwin dari sekolah ketika Dunk tidak memperlakukan Phuwin dengan baik, maka ikatan persaudaraan tercipta kuat diantara mereka seiringan waktu. Kini Dunk adalah orang pertama yang akan melindungi Phuwin. 

Krist mengangguk, "Iya, Irish dateng ke sini. Maaf karena dia dateng seizin papi,"

"Papi?! Aku kira papi orang yang paling ngertiin Phuwin?" Cerca Dunk lagi, "Terus Phu udah tau?" Tanya Dunk pada sang adik yang mengangguk menjawabnya.

Dunk menggelengkan kepalanya, "Papi tau sendiri kalo Phu masih trauma sama masa kecilnya, apa papi lupa kalo Phu pernah pingsan karena suara teriakan seniornya waktu ospek? Emangnya papi lupa kalo Phu... udahlah!" Dunk menatap orang tuanya tidak percaya.

"Kak, dengerin papi dulu!" Sela Krist memohon.

Sang sulung akhirnya menunduk jengah.

"Papi cuma kasihan sama dia yang mohon-mohon sejak beberapa bulan lalu buat ketemu Phuwin. Dia cuma mau deket sama anaknya, karena Phu anak satu-satunya dia. Papi nyoba posisiin diri papi buat ada di posisinya dia, yang kehilangan suami dan anaknya dan sebatang kara, itu aja. Dia janji cuma mau ketemu dan deket, nggak sampe mau rebut Phu dari kita," Jelas Krist panjang lebar dengan lirih dan perasaan bersalah untuk Phuwin yang ia tahu masih belum pulih keadaannya. Sekarang keadaannya ia yakin akan memburuk.

"Papi, itu karma dia nggak sih? Karma karena telantarin Phuwin sampe bikin Phuwin trauma," Komentar Dunk yang masih belum reda amarahnya.

Phuwin tersenyum, "Phu mau kok ketemu ibu Irish, tadi mungkin agak kaget aja, besok kita coba lagi," Ujarnya menenangkan semua orang di meja makan.

"Kakak temenin, atau enggak usah ketemu sama sekali,"







Bersambung

Rumah CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang