39-Rumah Aman

754 70 12
                                    

"...Nice dream, kak Dunk!"

"Lo juga!"

Pintu jendela tertutup, Dunk baru saja bertegur sapa dengan Fourth si tetangga kamar yang masih berkabung atas kepergian sahabatnya itu, namun kini sudah lebih baik. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk pelan, disusul suara lembut yang cukup berat itu.

"Masuk, dad,"

Singto muncul dari celah tersebut, dengan segelas susu hangat kebiasaan si sulung sebelum tidur, "Kamu belum minum susu, nanti nggak bisa tidur," Ujar Singto seraya meletakkan gelas tersebut di atas meja kerja Dunk.

Sementara si sulung tersenyum, "Sekarang udah bisa tidur tanpa minum susu, tapi gapapa, Dunk minum susunya,"

Singto terkekeh, tiba-tiba ia menyadari sesuatu, "Anak Daddy udah besar, ya? Sekarang udah bisa serius mikirin nikah," Tutur Singto lembut, ia lalu duduk di kasur Dunk dan mengamati sekeliling kamar anaknya. Nuansa kamar yang tak memiliki banyak tempelan itu begitu kontras dengan nuansa kamar Dunk hampir sepuluh tahun yang lalu, saat Dunk masih berada di sekolah menengah, kamar Dunk penuh dengan stiker monumen terkenal di dunia, Dunk ingin sekali berkeliling di usianya yang telah dewasa nanti.

"Aku bertumbuh, dad, aku juga udah punya alpha, wajar dong kalo aku mikirin nikah?" Komentar Dunk menyahuti Singto.

Sang kepala keluarga mengangguk setuju, "Padahal seinget Daddy, kamu masih suka ngerengek minta dianter Daddy, walaupun kamu udah SMA, tapi liat sekarang, yang anter-jemput udah bukan Daddy lagi," Singto tersenyum pada Dunk yang kini duduk di sebelahnya, "Anak daddy udah dianter-jemput alpha lain, Daddy jadi sedih,"

Sepertinya setelah pembahasan mengenai pernikahan dimulai saat makan malam tadi, Singto menjadi sedikit banyak merasa sendu, anak yang ia besarkan selama ini telah menemukan masa depannya.

Dunk yang mengerti perasaan sedih sang ayah itu segera memeluknya, "Aku masih anak Daddy sama papi, sampai nanti aku punya cucu sekalipun,"

"Kalo nanti kamu udah nikah dan ikut sama Joong, sering-sering main ke rumah ya, kak? Kasian papi kamu sendirian, ditinggal kuliah Phuwin sama Gemini," Tutur Singto berusaha tegar.

Yang lebih muda lantas tertawa, "Papi atau daddy yang kesepian?" Tanya Dunk meledek, "Papi kan tiap hari ngegosip sama Fourth sama om New, mana ada papi kesepian?"

"Kamu nih, ya!"

Sepasang ayah dan anak itu tertawa bersama, menikmati nuansa hangat yang tercipta. Sudah lama rasanya Singto tidak berbicara berdua saja dengan Dunk, selalu ada Krist atau adik-adik Dunk yang lain saat pembicaraan berlangsung.

"Inget ini Dunk, sejauh apapun kamu pergi, inget Daddy sama papi ya, nak? Kalo kamu butuh apapun, kami bakalan selalu ada buat kamu," Tutur Singto sambil menepuk kepala Dunk pelan-pelan.

"Dad, kenapa daddy sama papi izinin Dunk nikah sama mas Joong?" Tanya Dunk kemudian.

Bukannya menjawab, Singto justru bertanya, "Kenapa kamu yakin sama Joong?"

Dunk seketika tak tahu harus bagaimana berucap. Perjalanan cinta yang tidak mulus ini terkadang membuat Dunk ragu, terkadang juga membuat Dunk yakin terhadap alpha yang lebih tua darinya beberapa bulan tersebut.

"Aku pun bingung, dad, apa mungkin karena susah senengnya aku selalu sama dia, ya?

"Terus kalo sama Daddy, papi, dan adik-adik? Susah terus? Atau seneng terus?"

Omega itu kembali terdiam. Sejatinya jika mempertanyakan perasaan Dunk saat ini sudah sangat terlambat, keduanya dudah berjalan sangat jauh, mereka bahkan hampir berada di tahap pernikahan.

Dunk mendongak, menatap lurus sang ayah, "Dad, Dunk nggak tau kenapa Dunk yakin sama mas Joong, karena dia pun banyak kurangnya sama kaya Dunk. Dia ceroboh, suka telat bangun sampe kita berdua telat masuk kantor, kalo di bilang ganteng, itu karena mas Joong selalu aku ajak perawatan, jago masak? Nggak juga, pinter, nggak terlalu pinter, tapi..." Dunk menjeda, merasa telah menemukan jawabannya, "Setiap kita ada masalah, mas Joong jadi orang pertama yang selalu ajak komunikasi dan mau jalan bareng sama aku, mas Joong sama kaya Daddy, nggak sempurna, tapi hatinya tulus, sayang sama Dunk apa adanya, apa alesan itu cukup, dad?"

Singto hampir menangis mendengarkan isi hati anaknya, bocah yang dulu selalu merengek karena Singto lupa membelikannya makanan ringan sepulangnya mengajar, kini sudah sedewasa itu untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

"Dunk, alesan itu lebih dari cukup, buat Daddy sama papi kasih kalian izin untuk menikah," Tutur Singto menjawab pertanyaan Dunk di awal, "Joong sayang kamu dan mau berjuang bareng sama kamu, itu sangat lebih dari cukup buat Daddy relain anak omega Daddy yang lucu ini menikah," Lanjutnya, setelah itu Singto mengecup pucuk kepala putranya, "Daddy bakalan bicara sama Gemini biar kalian nggak perlu nunggu dia lulus buat nikah, walaupun kalian belum pasti mau menikah kapan. Nah sekarang kamu istirahat, ini udah larut,"

Singto pergi begitu saja setelah berucap, menegarkan hatinya sampai ia masuk ke kamarnya sendiri dan menangis dihadapan Krist. Alpha itu terisak dalam dekapan omeganya, terlalu sendu karena memikirkan sulungnya yang mungkin satu atau dua tahun lagi akan menikah.

"Krist, anak kita udah gede," Ujar Singto sambil terisak.

Sang omega terkekeh pelan melihat kelakuan alphanya, "Iya, anak kita udah gede, bapaknya aja yang masih nangis ga jelas kaya anak kecil," Ledeknya.

"Biarin! Ini kan tandanya aku sayang sama anak aku!" Seru Singto membela diri.

Dan akhirnya Krist mengalah, "Iya deh iya..."


















Bersambung, berapa lama Vee nggak update kesini, ya?

Rumah CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang