44-Nyonya Edelweis

812 69 3
                                    

Nyonya Edelweis, wanita usia 60 tahun yang berjiwa 30 tahun, begitu enerjik dengan senyum hangatnya membuat aura positif di dalam dirinya menguar. Ia adalah wanita kuat yang telah merawat anak-anaknya sepenuh hati, meskipun hatinya telah disakiti berkali-kali.

Omega itu kehilangan suaminya di usia 30 tahun, ketika bungsunya mengakui telah menghamili seorang omega. Dan anak dari omega itu kini telah lahir dan tumbuh dewasa dengan cantiknya, mewarisi kecantikan dari nyonya Edelweis.

"Nenek!"

Meskipun ia adalah wanita tangguh, tapi omega mana yang sanggup melihat orang yang menjadi penyebab kematian alphanya sendiri?

Sampai hari ini, hatinya hanya mampu menerima si bungsu Gemini di dalam garis keturunannya. Karena dengan hadirnya Dunk, alphanya mengalami serangan jantung dan meninggal, mengharuskan putra pertamanya langsung menjabat sebagai ketua Klan menggantian mendiang ayahnya. Sedangkan Phuwin, anak hasil selingkuhan itu benar-benar tidak bisa diterima.

"Mana Gemini?" Tanya Nyonya Edelweis ketika ia baru sampai di kediaman Ruangroj.

Dunk tersenyum lembut menyambut sang nenek, "Gemini lagi latihan band sama Fourth, udah lama nggak latihan katanya," Jawab Dunk sekenannya, ia mencoba akrab dengan sang nenek, "Biar Dunk bantu,"

Namun nyonya Edelweis mengabaikan presensi cucu pertamanya, "Kit, ibu mau istirahat, dimana kamar ibu?"

Suasana semakin canggung, Dunk diabaikan dan Krist yang merasa tidak enak dengan sulungnya.

"Eum, ayo ikut Kit, bu,"

Sudah biasa, Dunk hanya bisa mengendurkan bahunya lelah. Seumur hidupnya ia tak pernah menerima kasih sayang dari neneknya sendiri. Sebenarnya apa salahnya? Ia hanya seorang anak yang dilahirkan ke dunia, seorang cucu yang meminta sedikit dari curahan kasih sayang yang dimiliki sang nenek.

Kemudian Singto masuk dengan membawa satu koper milik nenek Edelweis. Alpha itu melihat pancaran sedih dari putranya, ia paham, sangat paham. Namun yang bisa Singto lakukan hanyalah menyemangati putranya, "Gapapa ya, nak? Nenek udah mau dateng ke pernikahan kamu aja udah syukur," Tutur Singto menenangkan.

Sementara Dunk hanya mengangguk pasrah.

***

"Kit, duduk sini,"

Sang menantu menurut, omega itu duduk di samping nyonya Edelweis yang telah bersiap untuk beristirahat. Nyonya Edelweis mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran kecil dengan ukiran rumit yang pastinya benda itu bernilai tinggi, Krist jamin itu.

Lalu dibukanya kotak tersebut, nyonya Edelweis bermaksud menunjukkannya pada Krist, "Menurut kamu gimana?" Tanya nyonya Edelweis dengan senyum merekah, meminta pendapat sang menantu.

Krist ikut tersenyum, "Indah banget, bu! Modelnya nggak pasaran," komentarnya.

"Ini buat hadiah pernikahannya Dunk, kira-kira dia suka nggak, ya?"

Mendengar hal itu, Krist tersenyum lembut seraya menggenggam tangan mertuanya, "Ibu masih gengsi sama Dunk? Padahal dia dari kecil udah nungguin perhatian neneknya, loh? Dia ngira ibu belum rela sama almarhum ayah, dia masih merasa bersalah sampe sekarang," Tutur Krist memberikan penjelasan.

Nyonya Edelweis menyimpan kotak tersebut kembali ke tempatnya, "Ibu juga merasa bersalah sama cucu ibu satu itu, dia nggak salah apa-apa tapi malah ibu perlakukan nggak baik," Ujarnya sendu, "Ibu malu sekali sama Dunk, nak,"

Sebenci apapun nyonya Edelweis tentang kematian alphanya, nyatanya ia juga seorang nenek yang mencintai cucunya. Sudah lama sekali nyonya Edelweis ingin berbicara dengan sulung Singto itu, namun rasa gengsi dan bersalahnya masih tinggi.

"Dunk sekarang cantik banget, ya? Manis, ganteng, persis kaya papinya," Komentar nyonya Edelweis sendu.

Krist mengangguk setuju, "Hatinya juga cantik, dia pasti mau maafin neneknya ini," Tutur Krist menambahi, "Belum telat buat ibu ngobrol sama Dunk, pernikahannya masih dua hari lagi," Bujuk Krist.

Lama berpikir, akhirnya Nyonya Edelweis mengangguk juga, "Ibu akhirnya bisa berdamai sama Singto dan kamu, kenapa sama Dunk dan Phuwin enggak?" Ujar nyonya Edelweis, "Panggil Dunk kesini, ibu mau tidur sama dia di sini,"

***

Dunk telah berdiri di depan kamar sang nenek dengan gugup, berkali-kali ia mencoba mengetuk pintu, namun ia berkali-kali juga ragu. Padahal sang papi telah berkata tidak apa-apa, nenek sudah berdamai dengan masa lalunya.

"Dunk..."

Si sulung berjengit kaget ketika bahunya ditepuk pelan, sang papi menemaninya di sana, memberikan afeksi positif pada putranya, "Gapapa, masuk aja," Titah Krist lembut.

Hingga akhirnya Dunk mengetuk pintu tiga kali sampai mendapat izin dari siempunya kamar.

Ia di sambut hangat, sangat kontras dengan keadaan sore tadi, dimana sang nenek tak menatapnya sama sekali. Hal ini membuat Dunk menjadi sedikit ragu, apakah ini neneknya atau bukan.

Yang lebih tua menepuk sisi kasurnya yang kosong, meminta Dunk agar duduk di sebelahnya.

Dengan canggung, Dunk duduk di sebelah sang nenek yang kini tersenyum sendu membelai wajahnya, mengamati dengan haru, seakan lama tak bertemu.

"Kamu cantik, manis, mirip sama papi kamu," Komentar sang nenek pertama kali. Dengan Dunk yang masih terdiam mencerna apa yang tengah terjadi.

"Maafin nenek, ya? Selama ini selalu diemin kamu," Ucap nyonya Edelweis selanjutnya, menggenggam kedua tangan Dunk mencari maaf dari cucunya, "Maaf karena nenek baru bisa berdamai sama masa lalu, dan kamu sama Phuwin yang jadi korbannya,"

Dunk mencium feromon bunga Edelweis yang lembut. Seperti namanya, nyonya Edelweis memiliki feromon bunga tersebut yang menenangkan. Keraguan sedikit demi sedikit terkikis, Dunk akhirnya bisa tenang, "Gapapa, nek. Dunk juga minta maaf karena Dunk bikin kakek pergi,"

"Enggak! Kakekmu pergi karena emang udah waktunya, sayang. Dia pergi karena takdir, bukan karena kamu," Sang nenek menyanggah segera, lalu membelai lembut wajah cucunya, "Sekarang tolong lupain tentang itu, ya? Yang ada sekarang cuma nenek yang sayang sama kamu,"

Suasana mencair, Dunk dan neneknya berpelukan sayang. Hal yang seumur hidupnya Dunk harapkan, hari ini tercapai juga. Sang nenek menyayanginya tanpa syarat, tak ada lagi rasa canggung diantara dirinya dan sang nenek, kebahagiaan Dunk bertambah.

"Oh iya nenek punya sesuatu!" Buru-buru nyonya Edelweis meraih sesuatu dari meja kecil di sebelah ranjangnya. Menunjukkan pada Dunk sebuah kotak kecil berukiran rumit di luarnya.

Ketika di buka, sebuah liontin emas dengan tali rajutan khusus itu berkilau indah, hadiah pertama nyonya Edelweis untuk Dunk.

"Kamu suka?" Tanya nyonya Edelweis yang diangguki antusias oleh cucunya. Lalu nyonya Edelweis mengambil liontin tersebut, "Sini nenek pakein,"

Dunk menurut, ia berbaik arah untuk memudahkan sang nenek memakaikan liontin tersebut padanya. Begitu dipakaikan, rasanya liontin tersebut diciptakan hanya untuk Dunk semata.

Sang nenek tersenyum haru, "Cocok banget sama kamu, dipake terus, ya?"

Sementara itu Dunk memandangi liontin yang baru saja dipakainya, ia menangis, "Bakal aku pake terus, makasih banyak nenek,"

"Sama-sama cucuku,"

Lalu keduanya berpelukan untuk pertama kalinya. Dunk jadi berpikir, oh jadi begini rasanya mempunyai nenek? Apakah ini yang Gemini rasakan selama ini? Akhirnya Dunk merasakan hal yang sama.


























Bersambung, gimana chapter ini guys? Bakalan triple up ya!

Rumah CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang