empty

30 4 0
                                    

Pagi ini aku bangun lebih pagi, duduk sendiri di balkon restoran hotel sambil memeriksa beberapa pekerjaanku dari laptopku.

Setelah kejadian kemarin, aku pulang bersama Sam tanpa berbicara dengannya selama sepanjang perjalanan kembali ke hotel.

Sebenarnya Sam mencoba berbicara denganku, namun aku pura-pura tertidur sepanjang perjalanan kembali ke hotel.

Sebelum kami berpisah di pintu kamar kami masing-masing, Sam mengatakan dia akan menjemputku untuk makan malam setengah jam lagi.

Aku hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Dan, saat waktu janji temu yang dimaksud Sam tiba, aku memilih untuk tidak mengheraninya. Hingga ketukan ketiga di pintu, Sam tak lagi memanggilku keluar. Aku tahu dia pasti kecewa, tapi aku juga butuh waktu untuk meredakan perasaanku.

Kini, dengan suasana pagi yang sepi dan hanya suara burung berkicau yang menemani, aku mencoba fokus pada pekerjaanku dan melupakan kejadian kemarin.

Seseorang pelayan mendatangiku menanyakan apa aku ingin dimainkan lagu apa, aku berkatap lagu apapun untuk seseorang yang patah hati, lalu pelayan itu berkata bagaimana dengan lagu All out of Love dari Air Supply, aku tak menolak lalu pelayan itu pergi.

"Morning, Anna," ujar seseorang yang sedang menarik kursi di depanku tanpa ku persilahkan. Rupanya dia Sam.

"Morning, Sam," balasku.

"Semalam aku ke kamarmu untuk ajak kamu makan malam, tapi kayaknya kamu sudah tidur. How's your sleep? You sleep well?" tanyanya dengan senyumnya yang menawan itu, seolah tidak ada yang terjadi di antara kami.

Aku mengangguk mengiyakan. Ya, memang iya. Aku tidur terlalu nyenyak semalam karena kenyang menangis semalaman setelah masuk ke kamarku meratapi semua perbuatan bodohku kemarin.

"That's good to hear," katanya, masih dengan senyumannya. "Aku khawatir karena kita nggak sempat bicara lebih banyak kemarin."

Aku menatap layar laptopku, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku cuma butuh waktu buat merenung, Sam. Everything is fine." jawabku dengan senyum simpul.

Sam mengangguk, wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran. "Anna, aku cuma mau pastiin kamu tahu kalau aku nggak bermaksud nyakitin perasaanmu. Aku cuma mau kita tetap profesional dan menjaga hubungan baik."

Aku menghela napas, mencoba menenangkan diriku. "Aku ngerti, Sam. Aku juga mau kita tetap profesional. Maaf kalau kemarin aku buat kamu ngerasa gak nyaman."

"Aku bener-bener nyesal soal kemarin" tambahku.

"Menyatakan perasaan bukan sesuatu yang salah, and you dont deserve feel guilty" balas sam sambil tersenyum memandangi wajahku dengan lembut.

Mendengar ucapan Sam, bisa-bisanya aku merasa tersipu. No, Anna, kamu harus tau diri, batinku.

"No, Sam. Just forget it. Kamu boleh anggap aja aku melantur karena masih mabuk atau anggap sesukamu, I didn't deserve you, Sam."

Sam memegang tanganku di atas meja, membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Anna, aku ngerti perasaanmu. Tapi kita harus realistis. Bukan karena kamu nggak layak untukku, tapi sebaliknya. and i'm not saying this to make you feel better"

Aku menatap tangan Sam yang menggenggam tanganku, merasakan campuran emosi antara kebahagiaan dan kesedihan.

"Aku mungkin nggak sebanding sama waktu yang kamu habiskan setelah kehilangan mendiang istrimu. Kamu juga benar, mungkin kalau kamu balas perasaanku, sepuluh tahun dari sekarang aku bisa aja ninggalin kamu. Aku nggak layak buat orang yang habisin waktunya merana untuk orang yang benar-benar dia sayang. Jadi lupain aja, aku bodoh dan nggak waras," jawabku emosional, suara mulai bergetar.

Sam menarik napas panjang, jelas merasa frustrasi. "Kalau kamu maksa, fine. Aku juga minta maaf," balas Sam.

"Dan lupain aja," tambahku, mencoba menenangkan diriku sendiri.

Sam menatapku dengan penuh kebingungan dan sedikit kesal. "Are you sure you want to forget it?" tanyanya, sambil mengintip wajahku yang menunduk.

"Are you sure you don't want to talk about this with a cool head so there won't be any problem later?" Tambahnya.

Aku terdiam sejenak, merasa bingung dan sakit hati. Lagipula buat apa dibicarakan lagi, toh nggak ada gunanya, semuanya nggak bisa ditarik lagi.

"Sam, aku udah mikirin ini berkali-kali. Aku nggak bisa pura-pura kalau perasaanku nggak ada. Tapi aku juga nggak mau jadi beban buatmu," ujarku dengan suara rendah, nyaris berbisik.

Sam menghela napas panjang, menatapku dengan campuran frustasi dan keprihatinan. "Alright, kalau itu maumu," ujarnya sambil menepuk punggung tanganku.

"And whenever you want to talk about it, atau kamu merasa ganjal, kamu bisa temuin aku kapan aja," tambahnya dengan nada tulus.

"Thanks, Sam," balasku, meskipun sebenarnya aku tidak ada niatan melakukan itu.

"So, dimana Adrian? Apa kita mau pergi sekarang aja?" ajakku pada Sam, mencoba mengalihkan pembicaraan kami.

Sam mengangkat alis dan kemudian tersenyum kecil menunjuk ke arah meja kami dengan matanya.

"Aku belum sarapan, Anna," ujarnya memelas yang dibuat-buat, membuatku hampir tertawa meski suasana masih canggung.

"Oh, oke. Kamu bisa makan dulu. Aku siap-siap, kita ketemu di lobi satu jam lagi, oke?" balasku sambil mendorong kursi untuk meninggalkan Sam.

Sam mengangguk setuju. "Oke, sounds good. See you in an hour."

Aku bangkit dari kursi, namun Sam memegang tanganku saat aku hendak berjalan meninggalkannya. "Anna," ucapnya. "I'm really sorry" 

"You don't need to be sorry, Sam. After all, you've already apologized, and everything you said makes sense. Aku cuma milih buat lupain. That's better. Lagian aku mikirin apa sih? Kamu kan bosku."

"Supaya kamu tenang, i wont tell Nicholas."

"Thanks, Sam," balasku. Rasanya aku ingin mengatakan sesuatu untuk menekannya agar tidak mengatakan pada siapapun, tapi aku masih terlalu malas memperpanjang percakapan kami.

"Jadi kita nggak ada ganjalan lagi?" tanya Sam.

"Nggak ada," ujarku tegas dengan senyum yang kupaksakan.

"Are you sure?" tanyanya sambil mengangkat kedua alisnya

"A hundred percent," balasku.

Sam tertawa dan mengatakan, "Benar kan? Kamu mungkin bahkan nggak serius sama sekali sama ucapanmu, kan?"

I'm so fucking serious, Sam. Mungkin aku terlalu grasak-grusuk, tapi I'm a hundred percent serious with my feelings, ujarku dalam hati.

"You need to be punished, Anna, because you're making fun of a man of my age!" ujar Sam sambil tertawa kecil.

"See you in an hour, Sam," jawabku singkat.

Sam terdiam sejenak karena aku tidak merespon candaannya. "See you later, Anna," ujarnya terasa kosong.

Aku meninggalkan meja dan berjalan kembali ke kamar, mencoba mengatur pikiranku. Di dalam hati, aku merasa sakit karena tidak bisa mengungkapkan perasaanku dengan cara yang benar. Tapi aku tahu bahwa ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

Dear SamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang