Satu jam kemudian, aku turun ke lobi. Sam sudah menungguku di sana, terlihat asyik mengobrol dengan resepsionis hotel. Sekilas, aku bisa melihat bahwa pandangan resepsionis dan beberapa tamu remaja wanita yang sedang duduk di lobi tampak terpesona oleh penampilan Sam.
Gak salah sih, dengan penampilan dan karisma seperti itu, mereka mungkin gak tahu kalau Sam sudah berumur 50 tahunan atau lebih tua dari ayah mereka di rumah. Kalau saja mereka tahu, mungkin mereka akan terkejut.
Aku menghampiri Sam yang langsung menyapaku dengan senyum hangat. "Ready?" tanyanya.
"Ready," jawabku, meski sebenarnya hati ini masih sedikit berantakan. Aku mencoba bersikap santai dan tetap profesional.
Aku sempat bertanya, "Where's Adrian?"
Sam menjawab sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Dia nggak datang. Kita yang mendatangi Adrian."
"Okedeh, kalau gitu aku pesen taksi," kataku sambil meraih ponselku untuk membuka aplikasi taksi online.
Namun Sam menghentikanku dengan cepat. "Untuk apa taksi? Kita pakai monorail."
Aku menyela sedikit, "Tapi bukannya stasiun monorail lumayan jauh dari sini? Kita harus jalan kaki lumayan jauh, Sam."
Sam mengangkat bahu dengan santai. "Nggak masalah. Kita bisa jalan-jalan sambil menikmati udara pagi.
Apanya yang jalan-jalan menikmati udara pagi? gerutuku dalam hati.
Aku melirik ke arah Sam, merasa agak kesal dengan idenya yang tiba-tiba ingin berjalan jauh. "Tapi bukannya kamu kemarin lebih milih naik taksi daripada pakai bus atau monorail?" tanyaku, mencoba mengingatkan Sam tentang perjalanannya kemarin yang lebih praktis dan nyaman.
Sam tertawa kecil, wajahnya penuh dengan ekspresi main-main. "Kemarin itu beda," katanya sambil menyentuh ujung hidungku, yang membuatku tersentak sedikit. "Aku nggak mau kita berdesak-desakan di monorail atau bus, apalagi kalau tiba-tiba kita terpisah karena lagi marahan. Aku nggak mau nyari-nyari kamu di keramaian sambil marah-marah."
Aku mendengus pelan, setengah tertawa setengah jengkel. "Apanya yang marah-marah? Aku nggak marah kok, Sam. Aku cuma... ya, kamu tahu lah."
Sam tersenyum lebar, mengangkat alisnya dengan gaya khasnya yang menawan. "Kamu cuma apa?" tanyanya dengan nada menggoda, seperti biasa dia selalu berusaha mengangkat suasana.
Aku mencoba menjaga wajahku tetap tenang, meski dalam hati masih ada rasa sedikit jengkel. "Aku cuma mikir, kita kan bisa sampai ke sana lebih cepat dan nyaman pakai taksi."
"Kadang jalan-jalan pagi itu bagus untuk pikiran dan hati," jawab Sam sambil mengedipkan mata. "Lagian, setelah apa yang terjadi kemarin, aku pikir kita butuh sedikit udara segar."
"Apa maksudmu?" tanyaku sambil menatapnya curiga, meskipun aku tahu maksudnya. Dia pasti merujuk ke obrolan emosional kemarin.
Sam menepuk pundakku pelan, lalu berjalan mendahuluiku sedikit. "Maksudku, kita butuh waktu untuk bersantai. Bukan soal pekerjaan atau perasaan yang rumit. Cuma kita, jalan-jalan, menikmati pagi tanpa beban."
Aku menghela napas panjang, berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh oleh ucapan manisnya. "Oke, Sam, kita jalan aja deh," kataku sambil mulai mengikuti langkahnya.
"Wait a minute" ujarku sebelum kami melangkah keluar.
Aku melangkah ke meja resepsionis dengan niat meminjam payung, membayangkan terik matahari yang mungkin menyengat nanti. Namun, sebelum aku sempat meminta, Sam dengan cepat menghentikanku. Dia tersenyum, lalu berkata, "Nggak usah, Anna. Kamu butuh cahaya matahari pagi. It's good for you."
![](https://img.wattpad.com/cover/369659802-288-k532786.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Sam
RomanceAnna Wijaya, seorang wanita berusia 27 tahun yang ceria dan bersemangat, baru saja pindah ke sebuah apartemen di Jakarta. Di seberang lorong, tinggal tetangga barunya yang misterius, yang dikenal sebagai Samuel Hennessy. awalnya, Anna hanya mengangg...