confession

50 5 0
                                    

Sam masih berdiam tak menjawab maafku membuatku lebih frustasi namun aku tak berani mengeluarkan suara, aku menulis kata maaf berulang-ulang di kertas jurnalku.

"No, not that easy," ujar Sam yang ternyata membaca tulisan maafku. "Kamu sudah mempermainkanku, semaumu seperti seolah-olah aku bonekamu. Bahkan kamu nggak menghargaiku seperti pria yang umurnya dua kali lipat dari umurmu," tambah Sam memperjelas.

"Apa kamu sebegitu bencinya padaku? Apa kamu menyimpan dendam padaku selama ini?" ucap Sam.

Aku menyangkal semua ucapan Sam dan bersikap defensif. "Aku menghormatimu Sam," ujarku tegas.

Sam menghela napas panjang. "Kamu nggak membalas pesanku waktu aku tanya apa kamu mau nonton Casablanca yang kamu bilang mau kamu tonton? Bahkan kamu sendiri yang beberapa kali tanya apa aku sudah nemuin film itu," ujar Sam dengan nada sebalnya.

Aku sedikit terkejut mendengar Sam mengungkit kejadian itu, kupikir dia tidak akan pernah mempermasalah itu.

"Dan kamu bahkan menciumku seolah aku bonekamu yang kamu jadikan pelampiasan saat kamu nggak sadar," ujar Sam dengan suara yang dipelankan merujuk pada kejadian semalam.

"Siapa suruh kamu nggak seperti pria selayaknya umurmu, Sam," ujarku meninggikan suaraku, memuntahkan isi hatiku.

Mulut Sam menganga lebar pandangannya membulat. "Jadi ini tetap salahku?" ujar Sam, nadanya penuh kekesalan.

"Enggak, Sam, ini salahku. Waktu di bandara kamu bilang semoga perjalanan kita menyenangkan, jadi aku kira kamu mau bersenang-senang sama aku."

Sam kehilangan kata-kata.

"Kamu mungkin cuma mau pekerjaan berjalan lancar sambil refreshing di sini, tapi aku..." Aku menggigit bibirku, Sam melipat tangannya dan memasang telinganya menunggu kalimatku berikutnya.

Aku menyusun kalimatku baik-baik, memilah-milah kata apa yang sebaiknya kugunakan karena aku tahu ini adalah kalimat yang sangat beresiko untukku.

Aku merasa ini waktu yang tepat untuk mengatakan ini, toh numpung kami sedang bertengkar, numpung kami di Malaysia, numpung dia belum pulang ke negara asalnya.

"I think I like you," ujarku.

"I think I like you, Sam," ujarku dua kali memperjelas ucapanku.

Bodohnya aku bukannya meralat ucapan dan beralasan salah bicara aku malah memperjelasnya.

Wajah Sam membeku seketika, matanya yang semula tenang kini membelalak lebar, Aku menutup mataku dan membatin, aku pasti di tolak, kan?

"Well..." ujar Sam gelagapan.

"I like you too, Anna."

Kata-kata Sam membuat mataku yang sebelumnya berkaca-kaca kini berbinar-binar. "Really?" tanyaku dengan penuh harapan.

"Of course, I like you," ujar Sam, tersenyum lembut.

"You like me too? Ini like seperti yang ku maksud kan?" tanyaku, memastikan.

Sam dengan sedikit panik. "No, Anna, bukan like yang seperti itu!" ucap Sam cepat, membuatku merasa kecewa.

"Anna, did you say something that means what I'm thinking right now?" tanya Sam, tampak cemas.

Aku merasa terjebak dalam perasaan dan tidak bisa mundur lagi. "I fell in love, Sam," jelasku dengan penuh keyakinan.

Sam nampak membeku, aku mencoba mendekatinya dengan harapan dia akan memahami perasaanku lebih baik kalau aku berada di sebelahnya. Namun, Sam dengan cepat menolak.

"Tetap di situ, jangan mendekat. Aku mau kamu habiskan makananmu dan merenungkan ucapanmu baik-baik sambil aku menyelesaikan sisa pekerjaan bersama Adrian," ujarnya tegas.

"Tapi, Sam..." aku mencoba memprotes.

"Tidak ada tapi-tapian. Kamu pikir lucu mempermainkan perasaan pria sepertiku?" Sam menjawab dengan nada marah.

Aku terdiam mendengar ucapannya. Siapa yang mempermainkan perasaannya? Seandainya aku bisa mengatur-atur perasaanku, aku mungkin tidak akan mengungkapkan perasaanku seperti ini. Rasanya sakit dan menyebalkan mendengar tuduhan Sam, namun aku tahu dia berhak merasa seperti itu.

Sam menarik nafas dan berkata, "Oke, aku akan ninggalin kamu di sini, biar kamu fokus sama makananmu. Siapa tahu dengan perut yang kenyang kamu bisa mikir lebih jernih dan melupakan apa yang kamu katakan barusan. Aku anggap kata-katamu tadi cuma melantur karena pengaruh alkohol semalam."

"Tapi, Sam..."

"Gak ada tapi-tapian, Anna," ujar Sam tegas.

"Tapi ada tapinya, Sam!" ujarku dengan nada tinggi.

Sam menatapku tajam. "Tapi apa, Anna?"

"Tapi aku gak mabuk!" jawabku dengan penuh keyakinan.

Sam menghela napas panjang, menatapku dengan mata yang penuh pertimbangan. "Anna, kamu tahu aku jauh lebih tua darimu. Aku nggak mau kamu berpikir kalau aku bisa jadi lebih dari sekadar bos dan teman."

Mendengar ucapannya pandanganku menjadi kabur, masa aku mau menangis?

"Aku tahu," kataku pelan, menahan air mata yang mulai menggenang. "Tapi aku nggak bisa mengabaikan perasaanku."

Sam menyebut nama tuhan penuh sesal, melihat air mataku yang mulai berjatuhan. "Anna, kamu tahu kan kalau aku pasti bilang tidak."

Aku mengangguk dan menunduk sambil mengatakan, "Ya, aku minta maaf."

Sam terlihat makin frustasi melihatku. Aku tahu dia tidak ingin menyakitiku dan dia mencoba terus mencari penjelasan agar tidak membebaniku.

"Anna, kamu masih muda," ujar Sam. "Kamu cuma perlu membuka hati untuk menerima cinta. Sedangkan aku? Masa mudaku sudah lewat jauh. Apa yang kamu harapkan dariku?"

"Aku menghargai perasaanmu, Anna. Tapi aku juga harus realistis. Perbedaan usia kita terlalu besar, dan aku nggak mau kamu terluka cuma karena perasaan ini." tambah Sam.

Aku mengangguk mengerti mendengar ucapan Sam namun air mataku tidak kunjung berhenti.

"Sebaiknya kita pulang besok," ujar Sam.

Aku menggeleng menolak. "Bakalan jadi masalah kalau kita pulang di luar jadwal."

"Ya, Niko juga pasti bakalan marah kalau tahu aku buat sahabat tersayangnya nangis," ujar Sam.

Sam menghela napas. "Aku gak tahu bagaimana pandanganmu terhadap Nicholas, tapi dia peduli banget sama kamu. Aku anggap semua ini nggak pernah terjadi biar Niko enggak khawatir, oke?" kata Sam.

Aku mengangguk. "Iya, Sam. Iya, tentu."

Kemudian Sam beranjak dari tempat duduk berjalan menuju pintu keluar meninggalkanku dan menemui Adrian untuk menyelesaikan sisa pekerjaan tanpaku.

Aku menghabiskan makananku sambil menyesali pengakuanku pada Sam, merasa kebingungan dengan perasan tak berbalas.

Dear SamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang