Satu jam berlalu aku menuruni lift dan menemui Sam yang sudah ada di lobi menungguku,
Tak banyak bicara tanpa basa basi dan berbicara padaku Sam berjalan keluar dan menghentikan taksi yang melewati kami.
Aku dan Sam memasuki taksi yang di hentikan Sam, Sam memakai kacamata hitamnya dan tak berbicara sedikitpun padaku.
Setelah beberapa menit dalam keheningan di taksi, kami tiba di tempat tujuan. Aku melihat banyak kedai street food yang berjejer, membuatku meneguk liur karena belum makan sejak semalam. Namun, Sam tetap tidak berhenti untuk menawariku mencicipi makanan-makanan yang menggoda ini.
Saat kami melewati salah satu kedai es krim, Sam singgah dan membeli satu es krim untuk dirinya sendiri tanpa membelikan satu untukku. Aku merasa semakin tidak nyaman dengan sikap dinginnya.
Sam tetap berjalan di depanku, dan aku mengikutinya. Tak lama kemudian, kami disambut oleh seorang pria Chinese yang penampilannya sedikit lebih muda dari Sam.
"Hey Sam! long time no see," ujar pria itu.
"Adrian!" balas Sam, merujuk pada pria itu. Sam memperkenalkanku pada Adrian.
Adrian melihatku dan berkata, "Wah, tipemu selalu luar biasa, Sam." Godanya pada Sam.
Sam segera menyangkal ucapan Adrian dan menjelaskan, "Hei jangan sembarang, Anna ini rekan kerja. Kami di sini untuk priksa proyek."
Adrian mengangguk, terlihat sedikit canggung. "Oh, sorry, i misunderstood. anyway, welcome. Saya yang bertanggung jawab atas proyek disini" jelasnya.
Aku tersenyum sopan dan berjabat tangan dengan Adrian. "Nice to meet you."
Sam memulai percakapan serius tentang proyek tersebut. Adrian menjelaskan beberapa detail penting tentang kemajuan dan hambatan yang mereka hadapi. Aku mencoba fokus pada pembicaraan mereka, meskipun perutku terus mengingatkan bahwa aku belum makan apa-apa.
Setelah penjelasan Adrian selesai, Sam beralih padaku. "Ada yang mau kamu tanyakan, Anna?"
Aku menggeleng pelan. "Enggak ada, semuanya jelas."
Sam mengangguk dan mengajak kami untuk melanjutkan inspeksi proyek. Aku mengikuti mereka, berusaha mengabaikan rasa lapar dan ketidaknyamanan yang masih tersisa.
Setelah selesai inspeksi, kami berencana pindah ke lokasi lainnya.
Adrian yang berjalan di sampingku mencoba berbicara padaku dengan memanggilku dengan sebutan Amoi.
"Apa kamu sudah berbelanja selama di sini? Kita nanti akan melewati tempat kuliner dan tempat penjual pernak-pernik terkenal di Malaysia dalam perjalanan ke lokasi selanjutnya. Atau, sebelum berangkat, amoi, apa kamu mau membeli makanan terlebih dahulu?" tanya Adrian dengan ramah.
Sam yang mendengar langsung menjawab, "Aku sudah," lalu bertanya padaku, "Apa kamu mau shopping dulu?"
Aku menggerutu dalam hati. Kan yang ditanya aku, bukan kamu. Kenapa kamu yang jawab? Bukannya amoi itu sebutan orang Chinese untuk wanita muda? Lagian, bahasa 'shopping' itu tidak profesional. Sam benar-benar ingin berperang denganku rupanya.
Aku menahan diri agar tidak menunjukkan rasa kesalku dan tersenyum pada Adrian. "Aku belum belanja banyak sih, mungkin nanti setelah kerjaan kita selesai kita bisa mampir."
Sam yang mendengar ucapanku berkata, "Good choice."
Adrian yang mendengarnya membelaku, "Ayolah Sam, jangan terlalu keras padanya."
Sam menyangkal, "Aku nggak bersikap keras. Aku sudah menawarkan kesempatan dengan menanyai apa dia mau pergi shopping dulu atau tidak."
Mendengar ucapan Sam rasanya membuat seluruh darahku mendidih. Aku berdoa pada Tuhan semoga aku tidak nekat mencekiknya.
"Amoi, jangan khawatir habis ini kita shopping" ujar Adrian menghiburku.
Kami melanjutkan perjalanan dengan mobil yang dikemudikan oleh Adrian. Kami berjalan mengitari area proyek di bawah cuaca yang cukup panas. Saat berjalan, Sam melihat ke arahku dan menyadari wajahku pucat.
"Anna, kamu pucat," ujar Sam dengan nada khawatir. "Apa kamu sudah makan?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
Sam dengan nada khawatir bercampur kesal bertanya, "Kenapa kamu nggak makan?"
Aku hanya diam dan menjawabnya dalam hati, Memangnya karena siapa aku nggak jadi makan siang?
Sam dengan cepat meminta Adrian membawa kami ke restoran terdekat.
Adrian setuju dan segera mambawa kami ke sebuah restoran dengan mobilnya. Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Sam beberapa kali mencuri pandang ke arahku, terlihat jelas kekhawatirannya. Aku tetap diam, mencoba menenangkan diri dan menahan rasa kesal yang masih membara.
Sesampainya di restoran, Adrian memarkir mobil dan kami turun. Sam langsung menggandeng lenganku, memandu aku masuk ke dalam restoran. Kami duduk bersebrangan di sebuah meja.
Aku duduk berseberangan dengan Sam, berusaha memahami pikirannya yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya.
"Tolong pesankan makanan yang gak bersantan dan nggak pedas" ujar Sam pada Adrian untuk memesankan makanan untukku.
Kemudian Adrian datang dengan makanan untukku.
"Aku mau bicara berdua sama Anna sebentar" ujar Sam sekali lagi meminta Adrian memberi kami waktu untuk berbicara, dan Adrian mengerti, dia keluar dari restoran dan menunggu di mobilnya.
Setelah Adrian keluar Sam tetap duduk di sebrangku, aku hanya bisa mencuri pandang padanya, kancing kemeja bagian atas yang dia kenakan dibiarkan terbuka serta rambut-rambut kelabu di beberapa sisi seperti di sengaja tumbuh di sisi-sisi tertentu menambah pesona maskulinnya.
Sam masih diam, memegang ponselnya dan men-scroll layar ponselnya tanpa tujuan. Pantulan dari kacamata hitamnya menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar fokus pada apapun. Aku merasa frustrasi, berteriak dalam hati, Ayolah, bicara padaku, dasar pak tua pemarah.
Setidaknya kalau dia tidak ingin berbicara denganku harusnya dia tidak duduk disitu dan menganggu pikiranku dengan sikpanya, apa dia tidak tahu pikiranku kacau karnanya? bahkan saat ini hatiku menjerit memanggil namanya memintanya berbicara padaku.
Sikap diam Sam benar-benar membuatku tak nyaman. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan memberanikan diri sebelum akhirnya membuka mulut. "S-sam..." ujarku dengan penuh bujuk rayu.
Sam melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di meja. "Kenapa? Nggak enak didiamkan?" tanyanya.
Aku mengangguk dan masih menunduk menjelaskan, "Aku terbakar emosi karena nggak nyangka Niko bakalan semarah itu karena aku nggak bisa jaga imageku sebagai karyawan baik di hadapanmu."
"Itu kan masalahmu dengan Niko. Kenapa kamu harus jadikan aku target?" ujar Sam.
Sekali lagi aku menunduk dan meminta maaf. "Aku benar-benar minta maaf, Sam. Aku nggak bermaksud nyalahin kamu. Aku cuma frustrasi."
Sam menghela napas panjang. "Anna, aku paham kamu punya tekanan, aku paham kekhawatiranmu, yah walaupun aku bosmu tapi aku masih Sam tetanggamu yang kamu kenal, dan kamu harus ingat saat ini kita adalah tim. Aku butuh kamu fokus dan profesional. Bukan malah marah-marah nggak jelas."
"Maaf Sam, aku cuma frustasi" ujarku beralasan.
"Bayangkan kalau aku ini orang lain, pasti kamu benar-benar kena masalah, ditambah kamu mencerca dan meneriakiku dengan alasan yang aku gak tau" tambah Sam membuatku sadar
Aku menutup mulutku dan memasang wajah cemberut.
Sam berkata, "No, Anna gak akan mempan"
Aku mengangguk pelan, merasa bersalah. "Aku tahu, Sam. Aku minta maaf."
Sam masih berdiam tak menjawab maafku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Sam
RomanceAnna Wijaya, seorang wanita berusia 27 tahun yang ceria dan bersemangat, baru saja pindah ke sebuah apartemen di Jakarta. Di seberang lorong, tinggal tetangga barunya yang misterius, yang dikenal sebagai Samuel Hennessy. awalnya, Anna hanya mengangg...