Anna Wijaya, seorang wanita berusia 27 tahun yang ceria dan bersemangat, baru saja pindah ke sebuah apartemen di Jakarta. Di seberang lorong, tinggal tetangga barunya yang misterius, yang dikenal sebagai Samuel Hennessy. awalnya, Anna hanya mengangg...
Aku melipat tanganku dengan kesal, menatap Sam yang berdiri di depanku.
"Kenapa sih kamu selalu berpikir semua keputusan yang aku buat itu salah?" ujarku dengan nada kesal.
Sam menghela napas panjang, lalu membalas dengan tenang, "It's not about being right or wrong, Anna. I just don't think it's a good idea for you to keep—"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tapi ini hidupku, Sam! Aku tahu apa yang aku lakukan," potongku tajam.
Sam menatapku dengan ekspresi campuran antara frustrasi dan sebal. "You're right. It's your life. I just—never mind."
Dia mengambil jasnya dan berjalan keluar dari apartemenku tanpa sepatah kata lagi. Aku menutup pintu dengan keras, mencoba menenangkan hatiku yang sedang membara.
Aku bersandar di pintu, napas masih tersengal karena emosi. Sam selalu seperti ini—sok tahu, sok bijak, seolah-olah dia lebih paham tentang hidupku daripada aku sendiri mentang-mentang dia sudah hidup lebih lama dariku.
Aku menggeram pelan, meraih bantal sofa dan melemparkannya ke dinding. "Dasar Pak Tua bawel!" omelku sendiri.
Ya, kami berdebat tentang hal sepele tentang harus bagaimana aku memanfaatkan tabunganku. tiap kali aku berbicara pada Sam tentang akan bagaimana aku memanfaatkan tabunganku, entah aku harus membelanjakan dengan cara menyicil properti, membeli mobil untukku sendiri atau melakukan investasi.
Mungkin bagi Sam, menyimpan uang selama mungkin adalah pilihan paling masuk akal. Baginya, menabung itu seperti menunggu buah matang di pohon—tidak boleh dipetik terlalu cepat, harus sabar menanti sampai benar-benar siap. Tapi aku bukan dia. Aku tidak ingin hanya melihat angka di rekening bertambah tanpa pernah merasakan hasil kerja kerasku sendiri.
Bagiku, memiliki sesuatu yang nyata—entah itu mobil yang bisa kugunakan setiap hari, properti yang bisa menjadi investasiku di masa depan, atau bahkan sekadar portofolio investasi yang berkembang—adalah bentuk pencapaian. Aku ingin melihat bahwa jerih payahku bukan sekadar angka yang bisa hilang begitu saja karena inflasi atau keadaan tak terduga.
Tapi setiap kali aku mencoba menjelaskan, Sam selalu punya alasan untuk membantah. Katanya aku tidak perlu mobil karena transportasi umum masih bisa diandalkan. Katanya membeli properti terlalu berisiko kalau aku belum benar-benar siap. Katanya investasi bukan keputusan yang bisa diambil hanya karena ikut-ikutan.
Semuanya "kata Sam."
Lalu bagaimana dengan kata-kataku? Bagaimana dengan keinginanku?
Aku menghela napas panjang, menatap pintu yang baru saja kututup. Aku tahu dia hanya ingin aku berhati-hati, tapi aku juga ingin dia memahami sudut pandangku. Kenapa rasanya setiap percakapan dengannya selalu berakhir menjadi perdebatan?
Apa aku terlalu keras kepala, atau Sam yang terlalu protektif?
***
Pagi ini Aku duduk di mobil Sam, menatap keluar jendela sambil memeluk tas kerjaku erat. Biasanya, Sam akan memulai pagi dengan candaan ringan atau komentar sarkastis tentang sesuatu yang ia dengar di berita, tetapi pagi ini berbeda. Dia hanya diam, fokus mengemudi, seolah-olah aku tidak ada di sana.