Kayla memanaskan mesin motornya, niatnya ingin pergi ke minimarket terdekat. Namun, kembali ponselnya berbunyi. Mau tidak mau, Kayla mematikan kembali mesin motornya.
"Saranku, lebih baik datang saja ke rumah sakit, supaya ponselmu berhenti berbunyi. Berisik sekali." Saran Hasbi yang tengah duduk di kursi plastik berwarna hijau tosca di teras rumah.
Kayla menoleh, menimbang sejenak saran dari Hasbi, adiknya.
"Mau ku antar?" Tanya Hasbi menawarkan diri.
"Eh, apa? Tumben, ada angin apa tiba-tiba baik begini." Seloroh Kayla menaruh curiga.
"Lagi baik. Bagaimana?" Ulang Hasbi.
Kayla mengangguk setuju,
"Ok! Untuk kali ini aku butuh bantuanmu, adikku tersayang. Maulana Hasbi Assegaf." Ujar Kayla.
"Cih, dasar. Sana siap-siap, aku tunggu. Jangan lama-lama." Titah Hasbi.
Kayla melengos begitu saja tak peduli dengan Hasbi yang masih mengoceh.
Kayla dan Hasbi tinggal bersama Ibunya saja, Bapak sedang di luar kota. Beliau ada proyek membangun ruko bersama Pakde Hilman dan lima rekan kerja Bapak yang lain.
Ibu bekerja di pasar, berjualan sayuran dan bumbu-bumbu dapur. Kayla dan Hasbi masih menempuh pendidikan, keduanya berkuliah di kampus yang sama. Bapak memang bekerja sebagai buruh serabutan.
Kadangkala, Bapak ikut proyek ke luar kota. Namun, Bapak juga bisa berganti profesi sesuai kebutuhan dan keadaan, misal saja jadi tukang ojek pengkolan, jadi kuli panggul, jadi buruh di sawah, hingga ikut membantu Ibu berjualan sayuran dan bumbu-bumbu dapur di pasar.
Beruntungnya Kayla dan Hasbi menempuh pendidikan dengan beasiswa sejak keduanya masih sekolah menengah pertama. Hal ini tidak lepas dari kecerdasan yang keduanya miliki.
Kayla misalnya, sejak sekolah dasar, Kayla sudah ikut lomba menyanyi dan menggambar, juga lomba cerdas cermat antar sekolah tingkat desa hingga provinsi.
Hasbi pun sama, sejak sekolah dasar, Hasbi sudah sering ikut lomba dalam bidang olahraga dan eksak, sepakbola, bulutangkis, lari, renang, hingga olimpiade matematika.
Ibu dan Bapak mereka tentu tidak harus pusing memikirkan biaya pendidikan keduanya dikarenakan kedua anak mereka sekolah justru dibayar oleh pemerintah, bukan membayar.
Salah satu dari sekian banyak berkah yang didapatkan oleh keluarga Kayla sebagai orang golongan ekonomi menengah ke bawah.
***
Hasbi menunggu Kayla keluar dari rumah dengan duduk di atas jok motor Kayla. Sesekali Hasbi mengecek jam di tangan kanannya."Ayok." Ajak Kayla.
"Kurang lama tuan putri Kayla Azizah Madinah." Sarkas Hasbi.
"Maaf, lama. Sudah, ayok berangkat." Titah Kayla.
"Naik, cepat." Kali ini giliran Hasbi yang memerintah.
Kayla naik di boncengan, motor ini adalah hasil kerja keras Kayla sebagai pekerja paruh waktu sekaligus hasil dari berjualan online. Benda pertama yang Kayla beli dengan harga lebih dari 10 juta rupiah.
Hasbi menyalakan mesin motor Kayla, lalu melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan yang cukup ramai.
"Merepotkan saja." Gumam Kayla.
"Sudah, sudah. Anggap saja ini pertemuan terakhirmu dengan laki-laki tidak tau diri itu." Sela Hasbi menasehati Kayla.
"Tetap saja, aku rasanya malas sekali harus melihat wajahnya." Pungkas Kayla.
"Sudahlah, jangan begitu. Malah bagus kan kalau kalian putus? Coba kalau tidak? Mau memangnya ketahuan setelah kalian menikah? Lebih parah itu." Tandas Hasbi.
"Kira-kira perempuan yang akan jadi calon istrinya ada di sana tidak ya?" Tanya Kayla.
"Di sana di mana? Rumah sakit?" Tanya Hasbi sembari tetap fokus menyetir.
"Iyalah. Di mana lagi." Jawab Kayla.
"Belum tentu, bisa jadi Om Hansen hanya menghubungimu saja." Ujar Hasbi menebak.
"Masa iya?" Tanya Kayla lagi.
"Hemm. Sudah, sudah. Aku sedang fokus menyetir, jangan diajak bicara ngalor ngidul tidak penting begitu." Titah Hasbi.
"Cih. Dasar."
Sementara itu, Yuni masih diliputi kegelisahan.
"Kamu ke mana sih, Ky? Kenapa ponselmu bahkan sekarang justru tidak bisa dihubungi."
"Jangan, jangan, Rizky...."
***
Berhenti mencintai bukan berarti berhenti peduli,
Menjaga diri dan hati bukan berarti memutus silaturahmi,
Barangkali, berpisah adalah takdir terbaik dari Yaa Illahi Robbi.