Jenita dan Kayla menunggu kedatangan Hasbi di parkiran. Mereka berbincang banyak hal sembari menunggu Hasbi.
"Jen." Panggil Kayla pelan.
Jenita menoleh ke asal suara.
"Iya, Kay. Kenapa?" Tanyanya lembut.
"Menurut kamu, aku salah nggak ya kalau membantu Rizky?" Tanya Kayla sedikit ragu.
"Ya enggak lah Kay. Salahnya dimana coba? Kan kamu juga nggak maksain, malah kan dokter yang minta tolong ke kamu? Benar nggak? Jadi, kamu nggak salah dong." Ungkap Jenita meyakinkan Kayla.
"Tapi... aku kasihan sama calon istrinya Rizky, Jen. Aku juga nggak enak sama Ibu." Tandas Kayla tertunduk.
"Kay, dengerin aku ya. Kamu nggak perlu merasa kasihan ke perempuan gatel itu. Kamu nggak salah, kamu juga nggak ada niatan jelek ke hubungan mereka kok."
"Lagipula, bukan kamu juga kan yang jadi orang ketiga di hubungan orang? Malah sebaliknya. Yang harusnya merasa malu, kasihan, dan tau diri ya perempuan itu!"
"Tapi, Jen..."
"Kay, bukan salah kamu kalau ingatan Rizky berhenti di kamu dan hubungan kalian. Ya memang momennya mungkin nggak tepat, tapi kita bisa apa? Tuhan sendiri kan yang atur semuanya?" Pungkas Jenita.
Kayla mendengarkan dengan seksama semua yang diucapkan Jenita. Kayla membenarkan, namun juga tetap risih.
"Maaf Yun, aku nggak ada maksud apa-apa. Aku juga nggak pernah minta posisinya jadi begini. Aku juga nggak pernah minta kalau Rizky harus ingat sama aku doang, kalau aku bisa minta, aku maunya dia nggak ingat aku lagi. Aku juga nggak mau terlibat di dalam hidup dan urusan dia lagi." Ucap Kayla dalam hati.
Perasaan sungkan itu masih meliputi diri Kayla. Meski apa yang dilakukan Yuni selama ini tidak baik padanya, namun sedikitpun tidak ada rasa benci ataupun membalas perbuatan Yuni. Kayla tidak berharap menjadi orang yang sama seperti halnya Yuni memperlakukan dia selama ini.
"Eh, Kay. Itu Hasbi!" Seru Jenita menunjuk ke arah Hasbi dan motornya.
Citttt
Hasbi mengerem motornya tepat di depan Jenita dan Kayla.
"Hai, Bi." Sapa Jenita ramah kepada Hasbi.
"Hai, Jen." Balas Hasbi mencoba bersikap ramah pada Jenita, teman Kayla, kakaknya.
Hasbi melirik ke arah Kayla,
"Ayo pulang." Titah Hasbi pada keduanya.
"Ehem." Sahut Jenita, ia gegas memakai helmnya. Begitu juga dengan Kayla.
"Kamu bonceng aku Kay, biar nggak usah naik turun di tengah jalan nanti." Ujar Hasbi.
"Iya, iya..." Sahut Kayla patuh.
Jenita menyalakan mesin motornya. Tak lama, ketiganya melesat meninggalkan area tempat parkir rumah sakit Al Shad.
***
Andi berjalan santai menuju ke arah kamar mandi, sekilas ia melirik ke arah Yuni duduk saat ini. Andi menghela nafas panjang, lalu meneruskan langkahnya.
"Aku harus cari cara supaya Kayla nggak lagi diterima dengan baik di keluarganya Rizky!" Gumam Yuni.
"Mau sampai kapan kamu selalu menilai kalau Kayla yang salah Mbak." Lirih Andi.
Yuni terlihat begitu gelisah, sekaligus kesal.
Bolak-balik Yuni mengecek ponsel miliknya. Entah apa yang sedang ditungguinya, hingga mimik wajahnya terlihat sekali gusar dan gelisah. Seolah-olah ia sedang menanti suatu kabar penting di ponselnya.
Sepuluh menit berselang, Andi keluar dari kamar mandi. Ia masih melihat Yuni duduk dengan wajah gusarnya di ruang keluarga.
Andi berjalan menghampiri Yuni, ia duduk di sebelah kiri Yuni.
"Mbak, kamu kenapa sih? Kelihatannya gelisah banget begitu. Ada apa?" Tanya Andi.
Yuni menengok, tatapan matanya jelas terlihat sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu nanya-nanya begini, memangnya kamu mau bantuin mbakmu ini?" Tanya Yuni sinis.
Andi menautkan alisnya, ia tak mengerti arah pertanyaan Yuni yang seolah sedang mencoba menyelidiki sesuatu dari dirinya.
"Kamu kenapa nanya begitu mbak?"
Yuni menatap tajam manik mata Andi. Sorot matanya tajam, dalam, dan mengintimidasi.
"Kamu cuma nanyain atau mau bantuin?" Tanya Yuni.
"Nanya. Lagian maksud mbak bantu soal apa? Aku harus bantu apa?" Andi balik mengajukan tanya pada Yuni.
"Membuat nama Kayla jelek di depan mata keluarga Rizky. Sudah cukup jelas bukan?"
Andi terkejut, ia seolah tak percaya, Yuni, kakaknya akan berpikir hingga sejauh ini.
"Mbak, istighfar. Kamu itu seperti bukan Mbak Yuni yang aku kenal selama ini!" Tegur Andi.
"Apa maksud kamu??" Tanya Yuni ketus.
Andi menghela nafas, ia menatap dalam Yuni, kakaknya. Ada rasa cemas di benak Andi dengan perubahan sikap dan sifat kakaknya ini semenjak mengenal Rizky.
"Mbak, jodoh itu sudah Allah atur dengan sebaik mungkin. Kamu cukup percayakan semuanya sama Allah, apa yang baik buat kamu dan apa yang memang Allah berikan untuk kamu, itu yang terbaik Mbak. Kamu jangan begini, kamu itu berubah. Aku sama sekali nggak bisa melihat Mbak Yuni yang dulu aku kenal, kamu beda banget Mbak."
Andi mengungkapkan keresahan hatinya belakangan ini atas perubahan Yuni di matanya.
"Kamu nggak tau apa-apa Ndi! Kamu nggak tau sakitnya diabaikan dan diperlakukan nggak baik sama keluarga calon suami sendiri! Kamu nggak tau takutnya aku belakangan ini setiap kali ingat Kayla, perempuan yang pernah ada di hatinya Rizky selama satu tahun lebih!" Yuni membela diri.
"Mbak, kalau memang dia jodoh kamu, mau Kayla atau siapapun datang ke kehidupan dia, tetap akan balik ke kamu juga! Jangan jadi seperti seolah kamu itu meragukan Allah begini Mbak! Istighfar kamu banyak-banyan!" Tegas Andi.
"Lihat lagi ke diri kamu, apa yang aku ucap tadi benar atau salah. Kamu berubah Mbak!"
Andi bangkit dari kursi, berlalu begitu saja meninggalkan Yuni dengan segudang tanya dan amarah yang menguasai dirinya.
"Aku akan tetap cari cara buat bikin nama Kayla jelek di mata keluarga Rizky! Aku nggak peduli dengan semua perkataan orang-orang, termasuk kamu Ndi!"
"Kalian nggak tau rasanya jadi aku!"
Yuni mengepalkan tangannya erat, dada Yuni naik turun, emosi yang benar-benar menguasai dirinya saat ini. Kehadiran Kayla membuatnya merasa terancam.
"Rizky itu punyaku!"