Chapter 170 - Hanya Seperti Ini

45 6 3
                                    

Meja makan telah ditata di halaman belakang. Odette membentangkan kain renda di atas bangku kayu tua yang berada di bawah naungan pohon. Di tengah meja, bunga-bunga telah diletakkan begitu semua peralatan makan tersusun rapi.

Bastian turun ke bawah sebelum dipanggil. Dia tak ingin berdiam lebih lama di kamar yang pengap itu. Saat keluar, dia mengambil sebotol air dan segelas minuman.

"Makanannya belum siap," kata Odette seperti seorang ibu yang hendak menegur anaknya.

"Aku tahu, tapi aku butuh udara segar. Kamarmu agak pengap," jawab Bastian dengan tenang, lalu duduk di kursi di dekat jendela dapur.

Sinar lembut matahari senja mewarnai dunia dengan nuansa hangat, sehangat tatapan mata Bastian ketika menatap Odette.

Bastian memperhatikan Odette yang sibuk di dapur. Setiap kali dia berdiri di dekat wastafel—entah untuk mencuci sayuran atau mengisi panci dengan air—Bastian bisa melihatnya dengan jelas, bergerak dengan lincah seolah-olah sedang menari.

Sesekali, pandangan mereka bertemu. Setiap kali itu terjadi, Odette akan berhenti sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya, menggelengkan kepalanya dengan pelan.

Bastian tak bisa mengalihkan pandangannya dari istrinya. Bahkan ketika Odette tak terlihat, dia membayangkan wanita itu masih bergerak di sekitar dapur, pikirannya tak pernah lepas darinya.

Dia tak pernah melihat kesedihan di matanya, yang menggantung di atas dirinya seperti bayangan pohon yang menaungi tubuhnya.

Baginya, Odette tetaplah cantik, dan hanya itu yang penting.

*.·:·.✧.·:·.*

Piring disajikan di atas meja tepat ketika matahari musim panas mulai tenggelam di cakrawala. Penuh dengan hidangan lezat—sayuran segar dari kebun, ayam yang baru saja dipanggang, dan roti yang baru keluar dari oven. Tak terbayangkan, semua itu dipersiapkan dengan tergesa-gesa.

"Silakan makan," ujar Odette, melepas apron dan duduk di seberangnya dengan hanya beberapa sisa sayuran di piringnya.

"Mengapa kau tidak makan? Apa karena aku?" tanya Bastian, dahinya berkerut.

"Aku menikmati pesta teh tadi, jadi aku tidak lapar," jawab Odette sambil menuangkan air untuk dirinya sendiri.

Angin sepoi-sepoi merayap di antara mereka, menggerakkan dedaunan di pohon. Odette merasakan tatapan Bastian yang terus-menerus padanya. Dengan terpaksa, dia mulai menyantap sayuran panggang sementara Bastian makan dengan lahap. Dia bukan tipe orang yang pemilih dalam makanan, dan cara Bastian melahap makanannya tanpa banyak perhitungan agak mengganggu pikirannya.

Setelah keterkejutan awal karena kedatangan Bastian mereda, Odette menyadari ada perubahan pada dirinya. Kali ini Bastian bertindak berbeda dari semua kesempatan sebelumnya ketika dia merasa telah mengkhianatinya. Bastian tak berusaha mengurung atau mengutuknya, dan tak ada niat yang jelas untuk menghukumnya.

Tapi kenapa? Sepanjang makan malam itu, perasaan cemas terus menggelayuti dirinya, menanti saat di mana Bastian akan menarik semua ini darinya. Dia pikir sudah bisa menebak tujuan Bastian datang jauh-jauh ke pedesaan ini.

“Aku tak pernah tahu kalau keterampilan memasakmu begitu hebat,” kata Bastian setelah membersihkan piringnya.

“Aku yang bertanggung jawab atas makanan keluarga. Aku senang kalau kau menyukainya,” jawab Odette sopan.

Odette bergerak cepat di sekitar meja, mengambil piring kotor Bastian dan peralatan makannya, lalu pergi untuk mengambil hidangan penutup—pie plum yang baru dipanggang. Ini adalah percobaan keduanya, yang pertama berakhir bencana, tapi yang satu ini memiliki warna keemasan sempurna pada kulitnya. Dia meletakkan sepotong besar dengan sedikit krim di depan Bastian.

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang